MENANGKAP AYAM

MENANGKAP AYAM

Ada yang bilang jika perayaan hari besar agama merupakan salah satu kesempatan untuk berkumpul dan bersilaturahmi antara keluarga yang sudah lama tidak bersua, saling bertukar kabar hingga memperkuat koneksi untuk keperluan bisnis. Tak sedikit pula yang menjadikannya sebagai ajang pamer keberhasilan anggota keluarga, terutama anak-anak mereka yang sukses mengenyam pendidikan tinggi atau menjabat profesi dengan tingkat yang tak main-main.

Ibu dan aku memilih untuk berada di dapur rumah eyang puteri alih-alih berkumpul dengan mereka, terlebih untuk membicarakan hal-hal yang berpotensi menyakitkan hati. Bagi beliau, asal sudah setor muka saja sudah lebih dari cukup. Tidak ada yang berani mencapnya sombong meskipun Ibu sengaja memberikan batasan agar tidak terlalu sering membicarakan hal pribadi, toh nantinya mereka akan mendatangi Ibu untuk diminati kemudahan dalam urusan sidang maupun hal-hal yang berbau tuntutan di pengadilan.

“Bu, opornya mau dimasak jam berapa? Nanti malam sudah ibadah, lho. Gereja saya beda sama yang lain, mesti antar ibu juga ke GKJ untuk urus persembahan. Punapa badhe dimasak sakniki?” (Apa mau dimasak sekarang?)

“Oh, kui arep tak masak saiki tapi iwak pitik'e kurang. Kudu lungo neng pasar sek tuku iwak.” (Oh, itu mau dimasak sekarang, tapi ayamnya kurang. Harus pergi ke pasar dulu buat beli ayamnya)

Sosok wanita berpakaian semi kebaya batik dengan rambut yang seluruhnya telah memutih itu sejenak membuang pandangan ke luar dapur usai meletakkan pisau di atas talenan. Seakan baru saja mendapatkan ide cemerlang, senyumnya nampak merekah pada paras penuh keriput yang memperlihatkan mata sipitnya.

“Kui ono pitik neng pekarangan. Mengko aku tak ngongkon Indra nyembelih iwak.” (Itu ada ayam di pekarangan. Nanti saya nyuruh Indra buat sembelih ayamnya)

Nama itu tak asing di telingaku mengingat istri dari Om Indra adalah adik dari Ibu. Maka aku menoleh ke ruang tamu untuk mencari nama yang diucap oleh eyang puteri, niatnya membantu memanggilkan. Namun hasilnya nihil, hanya ada budhe dan tante yang tengah bercengkerama dan memamerkan bisnis barunya.

“Gak ada, Mbah. Kayaknya tadi lagi pergi sama Atha dan Mbah Kakung.” ucapku bermaksud membantu eyang puteri yang akan meminta bantuan pada menantunya.

Hening kembali mengisi ruangan, kecuali suara api kompor yang tengah memasak lontong untuk disantap esok pagi. Sesaat eyang puteri memandangku dan memintanya untuk duduk lebih dekat. Ada firasat tak enak saat beliau menyuruhku tiba-tiba, padahal semula ia tak sadar akan keberadaanku yang sedari tadi membantu untuk mengupas bawang.

“Ndu, tangkep itu ayamnya pakai kurungan. Ayam jago, jangan yang babon, masih punya anak.”

Beberapa sekon napasku tercekat dan berhenti di tenggorokan, bersamaan dengan gerak tanganku yang mematung untuk beberapa saat. Sekarang aku tahu mengapa Mas Tama lebih suka mengurung diri di dalam kamar dengan komik Jepangnya atau Tanya yang bepergian ke luar untuk bermain betengan bersama anak-anak lain. Aku merasa terjebak di antara situasi pelik seperti ini. Hanya ada satu laki-laki di rumah yang bisa dimintai tolong, yang tak lain adalah aku. Namun jika aku menolak, mau ditaruh di mana mukaku? Rupanya aku memiliki gengsi yang tinggi untuk ukuran anak berusia sebelas tahun di saat itu.

“Nggih, Mbah.

Sebuah keputusan dibuat dengan seluruh keberanian dan tekad bulat. Aku bergegas untuk mencuci tangan dan meletakkan pakan ayam di dekat kurungan kandang untuk menjebaknya.

“Kur...kurr...”

Aku menirukan bagaimana eyang kakung memanggil peliharaan mereka saat hendak memberi makan. Meskipun tidak bisa sama persis, rupanya beberapa dari mereka datang mendekat ibarat masyarakat yang berbondong-bondong mengantre untuk mendapatkan bansos. Aduh, bukan yang ini. Mereka hanya ayam remaja nanggung yang gemar menyerobot jatah makanan temannya hingga kantong makanannya terlihat membesar hingga kesulitan berjalan.

“Hus ... hus! Lungo koe!” (Hus ... hus! Pergi kamu!)

Aku tidak suka menunggu lama hingga jatah kesabaranku semakin menipis. Kini kedua tanganku membawa kurungan ayam dan tempat makan untuk diletakkan di dekat seekor ayam jantan yang sedari tadi tidak mendengar panggilanku. Aku memberi jarak dengan mundur beberapa langkah agar ia lebih leluasa untuk mendekat dan masuk dalam perangkap. Ya Tuhan, semoga kali ini berhasil agar aku bisa langsung masuk dan mencicipi kue bolu buatan eyang puteri karena sudah merasa lapar.

Dengan langkah mengendap-endap, aku langsung meraih kurungan ayam dan mengurungnya saat makan. Yes, berhasil! Namun ada yang janggal tatkala ada seekor anak ayam kecil yang ikut masuk ke dalam perangkap. Suara kotekan ayam menyapa rungu begitu kencang, beriringan dengan cuitan anak ayam yang kian memekakan telinga. Aku berbalik badan. Seekor ayam betina dengan wajah garang berlari mendekat ke arahku dengan bulunya yang nampak tebal dua kali lipat dibanding biasanya. Aku yang masih belum paham dengan keadaan hanya membisu bagaikan orang bodoh, hingga sebuah patukan mendarat tepat pada kakiku yang membuat aku langsung menangis terseduh-seduh.

“IBUUUUUUU! HUWAAA AYAMNYA NAKAL, BUUU!”

Persetan dengan ayam jantan di dalam kurungan beserta seekor anak ayam lainnya yang terus mencicit, aku langsung bergegas lari dan menghampiri ibuku dengan wajah memerah. Air mataku mengalir tiada henti, merasakan sakit dan ngilu meskipun lukanya tidak parah. Namun dari kejadian itu membuatku cukup trauma dengan ayam betina dan lebih berhati-hati; terlebih disaat mereka baru saja menetaskan anak ayam. Sungguh mengerikan, semoga hanya ayam betina saja yang bertingkah semenakutkan itu.

Yogyakarta, 1999


GLOSARIUM

Ayam babon : Ayam betina Ayam jago : Ayam jantan Iwak pitik : (lauk) ayam *(orang Jawa suka menyebut lauk dengan imbuhan kata iwak. Entah itu iwak tempe, iwak tahu, iwak sapi, dan lain-lain)