
Bahwasanya tiap orang yang datang dalam hidup kita nanti, suatu saat akan pergi meninggalkan kita. Entah puluhan tahun kemudian atau esok, tidak ada yang pernah tahu. Atau bukan sengaja meninggalkan, kesibukan yang membuat tali persaudaraan kian terkikis atau karena sudah tidak memiliki frekuensi yang sama. Begitu banyak alasan sampai kita sudah terbiasa akan datang dan perginya tiap entitas yang datang atau singgah di kehidupan kita.
Ada orang yang hadir untuk memberi kenangan, mengajarkan kita banyak hal dalam kehidupan. Dewasa dan tumbuh bersama, salah satunya ketika saya menemani dia hingga sisa hidupnya. Tidak melulu kenangan buruk, justru kenangan baik yang terkadang sulit membuat seseorang melepas ia yang dicinta. Namun di satu sisi, kenangan baik juga membuat kita bisa bertahan hingga detik ini.
Semua yang terjadi atau yang disebut sebagai garis takdir Tuhan memiliki makna sendiri. Kita juga memiliki keterbatasan dalam mengatur siapa yang orang yang hadir dan memasuki hidup kita. Hendak memilih atau menolak sosok yang dihadirkan beserta kenangan yang dibawa? Agaknya sulit dilakukan. Kenangan itu sudah jadi bagian yang menempel dan mengiringi langsung hidup kita.
Terkadang sulit bagi kita untuk menolak atau mengenyahkan hadirnya seseorang dalam hidup kita. Tapi kita selalu punya pilihan siapa yang layak untuk kita perjuangkan dan pertahankan.
Menjadi denial merupakan respon pertama yang saya lakukan ketika kehilangan ia saat itu. Saya selalu berharap jika semua ini adalah mimpi belaka, dan saya harus bangun dari mimpi itu untuk bisa bertemu dengannya lagi. Kenapa harus ada kehilangan? Kenapa kita harus melepaskan? Kenapa Tuhan menciptakan rasa sakit berkepanjangan? Banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin saya ketahui jawabannya setelah saya berhasil mengumpulkan kewarasan pada saat itu.
Sebelum berhasil melepaskan (jangan mengikhlaskan, karena sudah beda tahapan), pasti ada yang namanya kehilangan. Sebelum kehilangan itu terjadi, pasti ada rasa kepemilikan dalam diri. Jika saya boleh memberi contoh, saya akan menganalogikan dengan kehilangan mobil atau surat-surat berharga. Sesuatu yang saya raih dengan berbagai macam usaha, tiba-tiba raib. Hilang ditelan bumi begitu saja. Kemana perginya mobil saya? Kenapa bisa hilang, apa saya meninggalkan kunci? Hingga ada fase dimana saya kerap menyalahkan diri sendiri atas kehilangan atau kepergian mereka.
Kehilangan sosok kekasih membuat saya belajar bahwa hadir tiap manusia tak akan pernah selamanya dan setiap yang hilang pasti akan ada gantinya. Pemahaman atas fakta itu sedikit banyak memberikan reasuransi untuk hati—bahwa tak apa bersedih untuk sesuatu yang hilang hari ini, karena pasti akan ada penggantinya lagi. Atau ... mungkin tidak pernah ada gantinya jika saya terus lekat oleh kenangan baik yang ia bawa.
Usai kepergiannya, saya bertemu banyak wanita dalam hidup ini. Tidak jarang pertemuan itu berakhir dengan perpisahan serupa, kehilangan yang sama, fase-fase menyedihkan yang sama sebelum akhirnya harus kembali merelakan juga. Dan saya rasa, satu-satunya kenangan tentang dia yang pada akhirnya membuat saya berani untuk merelakan ialah perasaan sedih berkepanjangan karena kehilangan itu sendiri. Saya belajar bahwa setiap fase kehilangan itu patut dirasakan. Kemudian setelah rasanya cukup untuk bersedih atas semuanya, paham bahwa akan ada hari baik setelah badai adalah langkah kecil untuk menerima dan melepaskan sepenuhnya. Tapi sebelum saat itu tiba, memang ada baiknya setiap kesedihan atas kehilangan harus dirasakan saja.
Manusia akan selalu datang dan pergi di hidup ini. Tiap mereka akan selalu meninggalkan jejaknya pada akhir hari, sekecil apa pun bagian itu dalam hati. Dan tentu saja, sebagai seseorang yang menerima kehadiran, kita harus siap pula ditinggalkan.
Jakarta, di tengah malam yang masih larut akan kenangan bersamanya