Bergelayut Sesal

Ada pepatah yang mengatakan nasi telah menjadi bubur dengan maksud jika semuanya telah sia-sia dan tidak bisa diperbaiki lagi. Namun jika ditelusuri, bukannya beras sengaja dimasak dengan air berlebih agar menjadi lunak (dengan kata lain menjadi bubur)? Atau pepatah itu dibuat tanpa penelusuran atau riset atas proses pembuatan bubur? Namun ketika ungkapan itu telah mengakar di kehidupan masyarakat, orang-orang akan langsung menggunakannya begitu saja sebab terdengar lebih menaik dan catchy tanpa menelusuri asal-usulnya.

Ada satu hal yang berkaitan dengan makna pepatah tersebut yaitu penyesalan tiada ujung yang terus menggerogoti benak. Pengandaian yang terus terlontar di otak dan membayangkan jika A terjadi, maka akan B, dan seterusnya. Begitu terus sampai matahari terbit dari barat (tolong, ini pengandaian yang berlebihan, dan amit-amit). Sesal selalu menggelayuti hingga acapkali menyakiti diri sendiri dengan hal dan asumsi di benak yang tidak diperlukan. Saking masokisnya, meskipun aku sadar sesal tidak mampu mengubah apapun, daya dan upayaku saat itu sangat terbatas dan hanya bisa berpasrah saja

Sekali saja, bolehkah aku merasa lemah dan menyalahkan diri sendiri sebelum bangkit lalu kembali ke kenyataan?

Yogyakarta, 2018