Bergelayut Sesal

Aroma teh melati dan bolu pisang menyapa indera penciuman, kenop kompor yang diputar terdengar bunyi berkali-kali. Bukan hal yang disengaja untuk memecah keheningan atau mencari perhatian semata, namun kompor biru itu sudah mulai menurun fungsinya sejak dua bulan lalu. Aku belum sempat memperbaikinya lantaran kesibukan mengurus pekerjaan beserta persiapan pernikahan yang akan dilaksanakan lusa. Belum dengan bimbingan pra nikah yang harus kuikuti, setidaknya seminggu sekali.

“Bawa ke tukang service saja. Atau kalau sudah 'ndak bisa dipakai ya 'ndak apa-apa. Kita beli yang baru lagi.”

Raga beranjak dari kursi rotan dengan belasan berkas persidangan di atas meja yang belum diperiksa, bergegas menuju dapur untuk membantunya yang kini tengah berkutat dengan kompor macet.

“Kalau masih bisa diperbaiki, ya diperbaiki aja. Uangnya buat yang lain.”

Sang dara berucap dengan esem manis yang tak pernah jemu untuk kupandang. Bahkan dalam keadaan yang menjengkelkan seperti sekarang, ia masih tersenyum menatapku. Rasa lelah nan penat lantaran pekerjaan barusan terhapus begitu saja, membuatku makin bersemangat untuk membantunya.

“Ini sih Mas 'ndak bisa. Dibawa ke tukang service aja ya, Dek.”

Anggukan kepala sebagai respon diberikan. Sekali lagi aku memerhatikan gerak tangan yang lembut namun tegas ketika merapikan barang-barang di dapur.

Kami berdua menikmati kudapan sore sembari menyaksikan acara televisi yang terbilang menjemukan. Sesekali aku mengalihkan atensi pada tumpukan berkas sidang yang belum sempat terjamah.

“Kamu tuh sibuk terus, padahal lagi sama aku.”

Ia mencibir kesal, melemparkan picingan mata yang disusul dengan gelak tawa padaku. Gemas, aku mengusak rambut panjangnya dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku.

“Maaf, Dek. Lagi kejar setoran, hehehe. Ini sudah selesai kok.”

Aku memilih untuk mengalah, menomorduakan pekerjaan yang biasanya selalu kuagung-agungkan. Namun hal itu wajar, karena aku cukup jarang memiliki quality time dengan kekasihku.

“Nah, gitu dong. Nanti kalau aku pergi aja, kamu nangis, Mas.”

Ucapan dengan nada jahil itu menohok hingga ke ulu hati. Entah rasanya terdengar sakit dan membuatku mulai merasa panik dan ketakutan. Aku menghela napas panjang, kembali mengeratkan pelukam pada bahu wanitaku, menatap dwinetra kecokelatan yang tengah terpusat pada layar televisi. Tatapan teduh yang selalu berbinar, membuatku merasa tenang ketika bersamanya.

“Jangan pergi, ya. Janji.”

“Iya, aku janji. Aku akan selalu sama kamu.”

Hingga kelak maut yang akan memisahkan kita.

Aku sama sekali tidak menyadari bahwa sore itu adalah kebersamaanku yang terakhir dengannya. Ucapan dengan nada candaan yang dilontarkan seolah menyiratkan kepergiannya yang sebentar lagi akan kuhadapi.

Akankah ada penghapusan dosa bagi hamba hina yang menyia-nyiakan waktu kebersamaan bersama sosok yang dicinta? Ataukah ada kesempatan untuk menebus kesalahan dengan dipertemukan lagi dalam kondisi yang berbeda?

Yogyakarta, 2018