Bagi sebagian orang yang kerap menonton sinetron di televisi, masa remaja terlebih biru putih merupakan masa-masa terindah; peralihan dari anak-anak menuju remaja yang sulit mengendalikan rasa keingintahuannya. Mereka tidak malu untuk menanyakan sebab dan akibat sebuah peristiwa, bahkan cenderung kritis dan menanyakan hal-hal yang kadang tidak pernah kita pikirkan. Contoh ringan ketika Aditya tengah menanyakan kepada guru Sejarah, mengapa negara Indonesia ada atau Dito dengan segudang pertanyaannya tentang ekstrakurikuler pramuka—mengapa ada simpul ini dan itu, mengapa pasak tenda harus diikat seperti ini. Bagiku yang memiliki ketertarikan dengan sastra, aku lebih memilih untuk mencari tahu di perpustakaan sekolah atau Perpusda dengan sepeda milik Bapak, daripada bertanya kepada orang yang lebih tahu dengan maksud menguji. Toh, tidak semuanya harus dijawab, bukan? Ada pertanyaan yang bisa kita temukan jawabannya sendiri, tetapi ada juga yang perlu ditanyakan kepada ahlinya agar tidak salah arah.
Ketertarikanku pada menulis semakin terlihat ketika aku rajin mengikuti lomba menulis artikel dan cerpen tingkat kotamadya, meskipun waktu itu aku hanya mengantongi predikat lima besar, atau juara tiga seperti di kelas tujuh. Apakah cita-citaku menjadi seorang penulis atau wartawan? Aku sendiri belum pernah menetapkan cita-citaku semenjak duduk di bangku sekolah menengah pertama, sebab cita-citaku akan berubah dari tahun ke tahun. Di kelas empat sekolah dasar, aku ingin menjadi seorang anggota TNI. Namun di caturwulan berikutnya aku tertarik untuk menjadi seorang dokter dengan membaca buku 'Dasar-Dasar Pertolongan Pertama' yang ada di perpustakaan. Akhirnya aku menjalani semuanya mengalir begitu saja, jika ada yang sedang senang kulakoni, aku akan berusaha maksimal dan memberikan yang terbaik.
Tumpukan buku yang berisi kumpulan sajak Chairil Anwar bersanding dengan buku catatan yang telah digurat tiga paragraf tulisan tentang lingkungan. Untuk ketiga kalinya aku mengikuti lomba karya ilmiah atas dasar dorongan Bu Nani dan Ibuku. Beliau berkata, sebisa mungkin aku mengikuti berbagai lomba menulis baik itu puisi maupun karya ilmiah, disamping aku tetap aktif di ekstrakurikuler jurnalistik dan langsung menjadi senior setelah mengikuti pelatihan selama setengah tahun.
“Kamu yakin mau nulis ini, Ndu?” Aditya, dengan segudang rasa ingin tahunya berjalan mendatangiku, beberapa pasang mata menaruh atensi padanya dan diriku, sebagai penyebab Aditya harus berucap lantang di perpustakaan sekolah.
“Sst ... Mbok ya diam, kita lagi di perpus, lho.”
Aku menarik ujung seragam milik sang kawan, satu tangan memberi isyarat dengan telunjuk kanan berada di atas belah bibir agar temanku ini memelankan suaranya. Pulpen hitam segera kumasukkan ke dalam tempat pensil dan merapikan tumpukan buku kumpulan syair──yang entah akan kubaca kapan karena masih sibuk dengan karya tulis ilmiah.
“Oh iya, maaf. Tadi aku datang ke sini tuh mau ngapain, ya?”
Tangan Aditya mengusak anak rambutnya yang terlihat berantakan, paras rupawan itu selaras dengan nama yang disandang. Sayangnya ia tidak memiliki minat dan bakat yang sama denganku karena aku sangat ingin mengajaknya bersaing dalam hal literasi. Aku sendiri suka ndomblong ketika dia membahas tentang sejarah kerajaan dan era kolonial dengan menyebutkan tanggal dan tahun yang sangat rinci dan hanya menanggapi dengan angguk kepala dan senyum, seperti yang biasa kulakukan ketika mendengarkan dongeng Mbah Putri.
“Oh, ini ... kamu dipanggil sama Bu Nani di kantor. Suruh ikut lomba lagi kali, Ndu?” Ia berbisik di dekat telingaku dan sempat membuat ekspresi wajahku menjadi tidak karuan. Satu lomba saja belum selesai, apakah beliau tidak memikirkan hal akademis yang mana lebih penting dibanding mencari predikat yang diatasnamakan menggali potensi?
“Karya tulisku ini belum selesai lho, Dit. Baru tiga paragraf tok, terus suruh ngumpulin besok ... Ya Tuhan...”
Aku memijat pelipis yang mulai merasakan penat dan tegang pada otot sekitar. Barang sejemang, tanganku meraih selembar kertas folio dengan tulisan karya ilmiah yang sudah ditulis ulang. Baru satu paragraf, sedangkan dirinya masih butuh sekitar delapan puluh kata untuk melengkapi minimal kata yang sesuai persyaratan.
“Kamu mau lihat?”
Aditya berdecak kagum tatkala membaca tulisanku yang begitu teoritis namun ringan, sedangkan aku menampik pujian yang dilontarkan sang kawan berkali-kali karena masih merasa kurang dan belum mendapatkan koreksi dari Bu Nani.
“Bagus banget, Lindu. Harusnya kamu masuk Social Club, yang ngajarin Mbak Icha, lho. Cantik anaknya!” Aditya berucap dengan antusias. Ujung-ujungnya, ia promosi ekstrakurikulernya lagi.
“Kapan-kapan, deh. Aku udah ikut dua ekskul, nanti aku ngebul gimana?” Aku merapikan tiga tumpuk buku perpustakaan yang baru saja kupinjam dengan sampul Krawang-Bekasi pada tumpukan paling atas, sebelum beranjak dari kursi dan merapikannya. “Aku mau ke Bu Nani dulu, suwun yo sudah dikasih tau.”
Degup jantung bekerja dua kali lipat dari sebelumnya, peluh keringat membasahi pinggir dahi hingga anak rambutku ikut basah dan lepek. Berulang kali aku mengatur napas sambil memerhatikan kertas folio yang masih berisikan satu paragraf karya ilmiah. Ada apakah gerangan? Benakku membayangkan beberapa skenario seperti Bu Nani memberikan informasi lomba baru, memberikan tugas untuk keperluan ekstrakurikuler, atau menagih karya ilmiah yang sedang kukerjakan.
Pintu kuketuk tiga kali sebelum memasuki ruang guru. Berpapasan dengan beberapa pengajar yang hendak masuk ke kelas, refleks membuatku memberi salam dan memberi hormat dengan anggukan kepala. Aku langsung menuju meja Bu Nani yang berada di barisan ketiga, tepat di belakang Pak Ahmad, guru Matematika yang terkenal galak dan killer.
“Bu Nani cari saya? Ini tulisannya belum selesai, Bu.. Mungkin saya kasih besok..”
Belum selesai berucap, Bu Ratri memberikan amplop cokelat dengan logo dan cap Dinas Pendidikan Yogyakarta yang ada di bagian depan. Sudah kuduga, lomba lagi lomba lagi.
“Lolos, Ndu. Dua minggu lagi kita ke Semarang buat lomba, ya. Nanti Ibu jelasin habis ngajar,”
Hah ... lolos? Apanya? Apakah aku pernah mengikuti ... Oh, Lomba Cipta Puisi Nasional? Terlalu banyak lomba yang kuikuti sampai aku lupa, karya apa saja yang sudah pernah kukirimkan.
Telapak tanganku seketika mendingin, detak jantung yang sedari tadi membuatku resah hampir saja membuncah dengan berteriak. Aku langsung membuka isi amplop dan membaca sekilas surat yang isinya belum bisa kupahami. Intinya, aku lolos! Aku harus segera pulang dan memberikan kabar baik ini kepada Bapak dan Ibu supaya mereka merasa bangga atas jerih payahku selama ini. Mungkin ini langkah awal bagiku untuk menjadi seorang penulis atau jalan menuju bidang jurnalistik, mengikuti langkah Om Nano yang merupakan salah satu wartawan di kantor redaksi KORAN TEMPO, Jakarta.
𝐋𝐈𝐍𝐃𝐔 𝐀𝐉𝐈 𝐆𝐀𝐒𝐄𝐍𝐃𝐑𝐀, 𝐣𝐮𝐚𝐫𝐚 𝟏 𝐋𝐨𝐦𝐛𝐚 𝐂𝐢𝐩𝐭𝐚 𝐏𝐮𝐢𝐬𝐢 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 𝐭𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐭 𝐊𝐨𝐭𝐚𝐦𝐚𝐝𝐲𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐣𝐮𝐝𝐮𝐥 𝐊𝐞𝐥𝐚𝐦 𝐌𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐘𝐨𝐠𝐲𝐚𝐤𝐚𝐫𝐭𝐚, 𝟐𝟎𝟎𝟏