FOTOKOPIAN

“Bang, fotokopi bolak-balik diperbesar. Sepuluh kali, diambil jam tiga siang ya!”

“Bisa jilid spiral nggak? Sekalian mau print cover ya, Bang.”

“Masa di sini nggak jualan ATK? Toko seberang aja jual tipe-x lho..”

Sudah dua minggu lebih aku mengisi waktu luang usai berkuliah dengan mengais pundi-pundi demi sesuap nasi, kadangkala aku membelikannya bensin dua liter untuk transportasi seminggu. Kata Ibu, aku boleh bekerja sambilan apa saja selagi halal (sesuatu yang diperbolehkan atau diizinkan menurut peraturan, tanpa terikat dengan aturan keyakinan tertentu) dan tidak merugikan orang lain.

Ruangan dengan cat putih beserta dua mesin fotokopi nampak memenuhi bagian dekat pintu, sehingga sedikit menyulitkanku untuk masuk dari pintu depan. Ketika matahari sudah mulai condong ke barat dan membakar bumi dengan galaknya, disitulah aku mulai menumpahkan seluruh fokusku untuk bekerja di tempat itu. Namanya Fotokopi Yoga, padahal pemiliknya sendiri berbeda dengan nama yang dicantumkan.

Aku mengenalnya sebagai Bang Rian, salah seorang senior kampus tingkat akhir sekaligus pemilik fotokopi yang merupakan hadiah dari Babe sebagai investasi. Kata Bang Rian, babe begitu pintar membaca peluang bisnis dengan mendirikan usaha fotokopi di sekitar kampus, yang mana kemungkinan besar akan dibutuhkan oleh mahasiswa.

“Kalau motong kertas tuh beberapa tumpuk jadi satu, tapi harus lurus, Ndu. Lo nggak silindris kan matanya?” Bang Rian bertanya padaku usai memberikan contoh bagaimana memotong kertas HVS dalam sekali kerja. Jika dihitung, itu ada dua puluh tiga dan dipotong sekaligus.

“Minus doang, Bang. Tapi masih aman kalau nggak pakai kacamata. Berarti nekennya harus kenceng dong?” tanyaku lagi sebelum menggoreskan pisau silet di atas tumpukan kertas yang sudah dibatasi oleh penggaris besi. Beliau yang kutanyai hanya memberikan respon anggukan kepala, sebab masih ada pekerjaan lain yang harus dilakukan yaitu jilid soft cover. Dalam hatiku berkata, jadi begini cara kerjanya sebuah makalah atau proposal bisa tertata rapi meskipun hanya berakhir di tumpukan lemari atau gudang.

“Jangan ketagihan jadi tukang fotokopian, jangan molor juga kayak gue.” Tiba-tiba Bang Rian mengucap sesuatu yang membuatku langsung melemparkan pandangan ingin tahu ke arahnya. Dalam hatiku menerka, ada apa sebenarnya? Apakah hanya bualan atau basa-basi belaka, atau ini wejangan di tengah-tengah pekerjaan yang tidak sengaja terselipkan?

“Siap, Bang. Ini aja udah mau masuk simulasi sidang.” jawabku sambil merapikan kertas dengan menggunakan penjepit berukuran besar dan kembali menggandakan dokumen dengan kertas buram. Tiba-tiba saja terlintas sebuah ide mengenai apa yang kuucapkan barusan. “Bang Rian, lo nggak mau bocorin simulasi sidang itu kayak gimana?” Aku bertanya memberanikan diri. Tanpa disangka, ia datang dengan buku Dasar Hukum Acara Pidana dan berbisik.

“Traktir bakso Pak Jenggot abis ini, nanti gue bocorin

Aku mengangguk disertai tawa tak tertahankan melihat tingkah jenakanya. Kami segera menyelesaikan pekerjaan sebelum adzan sore berkumandang dan beristirahat dengan menyantap semangkuk bakso di bawah pohon beringin yang rindang.

DEPOK, 2009