Setiap orang yang lahir di bumi ini memiliki hal yang disukai maupun tidak disukai. Hal yang bagi mereka menyenangkan ataupun hal yang ingin dihindari atau memicu trauma. Ada yang takut ketinggian, gelap, air, hewan tertentu, sampai dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Bagi saya, ketakutan-ketakutan itu merupakan perasaan tidak nyaman yang ingin divalidasi dan tidak ingin diremehkan. Jika membahas hal yang menakutkan atau hal traumatis di keluarga, saya bisa menyebutkannya satu persatu secara rinci hingga membuat kalian terperangah dan berpikir: kok bisa ya takut sama kayak gituan?
Bapak tidak suka dengan durian dan nangka, karena beliau pernah sakit dan muntaber saat kecil sehingga sampai dewasa dan memiliki empat anak, beliau tidak pernah menyentuh dua buah itu. Jangankan menyentuh, menghirup aromanya saja bisa membuat beliau langsung sesak napas. Ibu takut dengan cicak. Jika ada cicak di rumah, ibu akan menggunakan apapun yang ada di sekitarnya untuk menghantam hewan melata tersebut. Mas Tama takut dengan donat, Tanya takut dengan sawi, dan Mentari takut dengan bau obat pel yang menyengat. Sedangkan hal yang saya takutkan adalah peristiwa gempa bumi hingga pernah membuat saya muntah dan pingsan. Saya akan menceritakan salah satu kejadian di kantor yang saat itu membuat teman-teman saya tahu jika saya memiliki trauma dengan gempa bumi.
Pukul sembilan pagi di Jakarta terlihat cerah dibanding biasanya. Matahari tidak terlalu panas namun tidak mengembuskan udara dingin seperti pukul tiga atau empat sore. Saya masih beraktivitas seperti biasa dengan memeriksa dokumen klien yang baru masuk serta membantu melayani konsultasi bagi mereka yang membutuhkan. Saat itu kantor masih cukup sepi, sebab sebagian pengacara sedang ada kegiatan di luar kantor termasuk persidangan. Mengingat sidang yang akan saya hadiri masih beberapa jam lagi, saya turut mempersiapkan semua berkas salinan pendaftaran sidang serta bahan lain yang menunjang persidangan nantinya.
Dalam keheningan yang sesekali disisipi oleh suara keyboard dan tombol mouse saya merasa ada sesuatu yang aneh ketika isi cangkir kopi milik saya tiba-tiba bergoyang. Maka dari itu saya memeriksa bagian bawah meja untuk melihat apakah ada benda jatuh atau sesuatu yang membuat isi cangkir saya turut bergerak. Tidak mungkin hal ini dilakukan oleh makhluk tak kasat mata seperti yang kerap dibicarakan oleh teman-teman kantor saya 'kan? Saya bergegas menepis anggapan itu, menggeser cangkir kopi agar letaknya lebih dekat dengan laptop sehingga saya bisa mengawasi apa yang akan terjadi nantinya.
“Mas Lindu, ada gempa ya?” Suara Natasha, salah seorang pengacara yang baru saja tiba di ruangan membuat saya beranjak berdiri dan menutup laptop. Saya kembali memperhatikan sekitar termasuk letak benda-benda yang ada di meja kerja, tidak ada yang berubah kecuali isi cangkir tadi yang membuat saya sempat tidak fokus.
“Masa, Nat? Eh, bukannya lo ada vertigo 'kan? Kumat kali, udah minum obat belum?” Pertanyaan Natasha saya bantah dengan sebuah pernyataan: sakit vertigo. Rekan kerja saya yang satu itu memang kerap mengeluhkan sakit kepala hingga pandangannya berputar seperti saat gempa, hal itu bisa mereda jika sudah minum obat.
“Gue emang belum minum obat sama sarapan. Iya kali, ya?” Natasha menyangsikan perasaan yang sempat membuatnya khawatir dan bergegas menyantap sarapan berupa bubur ayam yang ia bawa dari kantin depan kantor lalu meminum obat. Dalam hati saya ikut meragukan, apakah yang dikatakan Natasha benar adanya? Lalu mengapa isi kopinya sempat bergerak seperti ada yang mengguncang dari bawah?
Menit demi menit berlalu, kami kembali ke aktivitas semula dan sesekali mengobrol dari meja masing-masing mengenai kegiatan yang akan dilakukan di hari ini. Baru saja saya merapikan isi tas, sebuah guncangan keras membuat tubuh saya sempat limbung dan terjatuh. Saya bersembunyi di bawah meja, sementara Natasha dan dua rekan lainnya keluar dari kantor untuk menyelamatkan diri. Kaki maupun tubuh saya tidak bisa bergerak, rasanya begitu kelu dan sakit. Perasaan tidak karuan kembali hingga, ada rasa sedih dan takut yang berlebihan hingga membuat saya hampir menangis tanpa suara sementara kedua tangan saya memegangi kaki meja hingga gempa mereda.
Saya lemas sejadi-jadinya. Seluruh isi perut saya keluar dalam bentuk muntahan sebelum kesadaran saya menurun dan jatuh pingsan dalam perasaan gamang dan kalut yang membalut sanubari. Mas Hendra dan Toni mengangkat tubuh saya dan bergegas membawa ke rumah sakit, namun tidak ada penyakit fisik berbahaya yang sedang saya derita. Katanya, kejiwaan saya terguncang karena teringat masa lalu yang memilukan: lahir disaat bencana gempa.
Sejak saat itu, teman-teman saya begitu mewanti-wanti jika ada bencana gempa. Mereka akan selalu siaga dan akan langsung menolong jika saya tiba-tiba tidak bisa jalan atau melakukan apapun, alias ngefreeze. Sebuah pengalaman tak terlupakan hingga rasanya ingin mengganti nama, ingin marah dan protes pada Ibu, mengapa harus memberikan nama akan hal yang membuat saya ketakutan setengah mati? Dari situ Ibu menceritakan, jika kelahiran saya di tengah-tengah musibah merupakan sebuah berkat tak terkira dan patut disyukuri. Ketakutan saya berangsur berkurang dan kini saya lebih mensyukuri, menerima trauma saya dan bahkan begitu bangga dengan nama yang diberikan oleh Bapak dan Ibu.
JAKARTA, 2013