Kelahiran

Hening malam begitu mencekam, tidak ada suara jangkrik atau kungkung katak khas musim hujan. Akhir tahun—Desember—atau yang lebih sering disebut dengan deres-derese sumber alias hujan yang sedang deras-derasnya. Berlanjut dengan Januari dengan akronim hujan sehari-hari, Februari tanpa kepanjangan apa-apa, Maret—udane ngeret-ngeret, dan seterusnya. Aku sendiri masih tidak paham dari mana asal muasal akronim bulan masehi yang dijadikan sebagai penentu musim. Percaya tidak percaya, di bulan Desember hampir setiap hari rintik membasahi bumi atau setidaknya gerimis kecil yang acapkali membuat sakit kepala jika kau berusaha menerobosnya tanpa jas hujan. Apakah cocoklogi masih berlaku sampai menjadi salah satu penentu bahkan pedoman hidup? Apakah mereka yang hobi mencari kecocokan dan mengaitkan hal-hal remeh tidak percaya akan adanya Tuhan? Bahwasannya, garis takdir setiap manusia sudah ditentukan oleh Ia sang pencipta. Tidak ada kuasa kita sebagai manusia atau makhluk kerdil yang lemah untuk mengubah terlebih bernegoisasi (memangnya ini tawar-menawar barang?). Semuanya mengalir bak riak air sungai yang menyusuri dengan lambat dari hulu ke hilir sebelum berpulang ke laut. Berpadu dengan riuh ombak yang sama sekali tidak ramah dan siap menghantammu kapan saja.

Begitu pula sebagai manusia yang terlahir ke dunia, mereka tak mampu memilih orang tua seperti apa atau garis keturunan yang mana. Mereka harus bersyukur jika terlahir dari keluarga yang mereka inginkan dan hidup seperti apa yang dimau. Jika tidak? Struggling hampir seumur hidup, tak jarang menjadi pemberontak keluarga karena terkadang idealisme tidak berjalan seperti realita. Omong-omong, aku merupakan satu diantara berjuta bahkan mungkin satu per tujuh dari tujuh milyar orang di bumi yang wajib bersyukur. Aku bisa hidup seperti apa yang aku mau dan memiliki keluarga hangat dan suportif.

Namaku Lindu Aji Gasendra. Mulanya aku berpikir, aku akan disambut semesta dengan aroma tanah yang menyeruak dari sisa air hujan yang membasahi kota kelahiran. Namun prediksi hanya tinggal harapan belaka saja. Guncangan hebat meluluhlantakkan sebagian Yogyakarta, bangunan pencakar langit luruh dalam sekali buncang. Sukacita yang semula menyelimuti berubah menjadi teriakan mencekam yang membuatku tidak berhenti menangis. Ada apa sebenarnya?

Baru beberapa menit lalu aku merasakan segarnya oksigen di luar sana hingga membuatku menangis dan tak jarang menjerit. Sebuah hal lumrah sebab penyesuaian dalam kandungan—yang mana aku terbiasa dan bergantung dengan asupan yang Ibu makan serta oksigen yang mengalir ke dalam darah. Ajaib, seketika aku diam dan merasa tenang saat Ibu menggendongku usai dimandikan oleh salah seorang suster yang membantu proses kelahiran. Kebahagiaan itu hanya berlangsung sementara tatkala kami harus mengungsi ke gedung rumah sakit lain yang lebih aman. Puluhan pasang kaki berlarian dengan meneriakkan, “Lindu, lindu! Ayo mlayu!” yang mana aku tidak paham maksudnya.

Bencana 'kah? Atau kiamat sudah dekat?

Ada rasa syukur serta sesal ketika kelahiranku justru seakan menyongsong kejadian menakutkan yang menelan korban jiwa. Meskipun begitu, aku bahagia memiliki orang-orang baik yang merawatku dengan sepenuh hati, yang mana mereka memperkenalkan diri sebagai seorang 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚.

─── Yogyakarta, 27 Desember 1988

Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta