Ada suka duka kehidupan seorang perantau yang hanya mengandalkan uang kiriman dari orang tua (yang terkadang telat) serta uang saku dari beasiswa per bulan. Sudah satu semester sejak aku memijakkan kaki di kota Depok selalu memikirkan hal ini: aku tidak bisa hanya menadahkan tangan dan menunggu uang jatuh dari langit (dalam artian lain uang pemberian).
Bersama Arjuna dan salah seorang teman lainnya yang bernama Satria, kami menjajaki dunia baru dalam kehidupan mahasiswa hanya demi mengais cuan untuk makan siang. Sepuluh ribu rupiah pada masa ini bisa untuk makan sehari dua kali kali dengan lauk yang cukup mewah. Jika ada tiga pekerjaan dalam satu minggu, maka kami tidak perlu memikirkan uang makan selama tiga hari dan bisa menghemat empat hari sisanya dengan uang pegangan.
Menjadi seorang joki tugas bukan pekerjaan haram namun tetap menimbulkan stigma miring yang sering diperbincangkan orang-orang. Katanya, orang-orang seperti kami rela menjual waktu dan kepandaiannya untuk orang malas namun berduit. Aku tidak memusingkan hal seperti itu, di zaman sekarang semuanya butuh uang. Sampai kapan aku harus mempertahankan sifat perfeksionis serta idealisme jika pada nyatanya butuh uang? Toh aku sendiri tidak memberikan seluruh kepintaranku pada mereka yang membutuhkan. Aku hanya menganggapnya sebagai bantuan dan mereka membayarku dengan uang.
“Ndu, boleh minta bantu translate jurnal ini nggak?” “Bisa minta tolong cariin referensi essay atau jurnal?” “Kerjain tugas gue yang ini dong. Nanti gue traktir seminggu. Oke?”
Biasanya aku menjual jasaku kepada mahasiswa luar fakultas maupun kampus, sebab probabilitas mereka mengenal diriku hingga kehidupan personal sangat kecil. Aku tidak perlu juga menggunakan nama samaran terlebih kucing-kucingan untuk bertemu dan melakukan transaksi.
Ada kejadian lucu yang tidak pernah terlupakan sepanjang hidupku. Melalui Satria, aku mendapatkan seorang klien yang merupakan dosen kampus lain untuk membantunya dalam mengerjakan jurnal demi keperluan disertasi. Kami akan bertemu di kantin FIB setelah jam makan siang untuk membahas materi yang akan dibantu setelah ini. Setelah tiba di tempat yang dijanjikan, aku memesan es teh dan mie ayam sambil mengerjakan tugas analisa hukum perdata yang diberikan oleh Bu Mulyani. Baru saja aku menyendokkan satu suapan berupa potongan daging dan sawi hijau, suara seorang pria menyapa rungu hingga membuat diriku menoleh ke arah sumber suara.
“Lindu ya?”
“Iya sayang sendiri. Lho, Pak Widodo──?”
“Kamu ngapain di sini, Ndu?”
“Saya mau bertemu ... Lah, Bapak yang mau minta saya jokikan?”
Aku tak kuasa menahan rasa terkejut hingga volume suaraku menaik. Beruntung tidak ada seorangpun yang memperhatkan hingga Pak Widodo mendekat untuk menarik lenganku agar jarak kami semakin dekat. Beliau adalah salah satu dosen tamu yang sedang menempuh S3 dan satu alumni di De Britto, SMA yang pernah menjadi tempatku menempuh ilmu di Yogyakarta. Sosok Pak Widodo yang terkenal dingin rupanya berbeda jauh dari yang dikatakan orang. Beliau sangat ramah, bahkan aku banyak belajar dari beliau untuk menyusun jurnal internasional. Sebagian adalah isi pikiran dari Pak Widodo, sisanya aku membantu untuk mengembangkan isi jurnal melalui referensi yang sudah beliau beri.
“Ndu, nama kamu perlu saya cantumin nggak?” “Mboten usah, Pak. Traktir saya aja kalau saya mau konsul sama Bapak. Deal?“ “Deal!“
DEPOK, 2008