KALI PERTAMA

Bel berbunyi tiga kali, dengan jeda dua detik pada setiap bunyinya. Derap langkah siswa laki-laki dengan balutan seragam putih abu-abu keluar dari kelas berhamburan ke berbagai arah, ada yang berbelok ke perpustakaan untuk mengembalikan buku, sebagian ada yang pergi ke kantin Bu Wagiman yang terkenal akan soto ayamnya. Waktu itu, dengan harga seribu rupiah kita sudah bisa menikmati seporsi soto ayam berukuran besar dan es teh, ditambah dengan satu sate usus dan gorengan yang berupa tahu isi.

Entah ada angin apa kali ini aku tidak merasa lapar, justru suntuk menerpa setelah pelajaran Matematika yang begitu menguras otak. Sebagai orang yang lemah dalam mata pelajaran hitung-hitungan, aku selalu berharap setiap detiknya akan berlalu dengan cepat. Namun empat puluh lima menit bukanlah waktu yang sebentar, mengingat sebagian waktu diisi dengan mengerjakan soal dan diskusi mengenai rumitnya mencari determinan dan invers matriks. Suara menguap saling bersahutan di deretan kursi belakang, justru salah satu temanku di bangku paling pojok bisa menyenderkan kepala di atas meja sekitar sepuluh menit hingga meninggalkan air liur pada LKS nya.

“Edan, nguantuk banget. Pengen mbolos rasane.” Tanpa sadar aku meloloskan kekesalanku di hadapan Radit beserta Bima yang keluar dari kelas, kemudian mengayunkan tungkai dengan langkah gontai menuju pojokan kelas X-B.

“Mending ngudud bareng. Pas razia rokok kemarin tak umpetin di kaos kakiku lho.” ucap Radit dengan bangga sembari memperlihatkan satu bungkus rokok berwarna merah beserta pemantik dengan warna senada. Dahiku mengernyit kala rasa heran menghinggapi. Dalam hati, apa yang bisa kita nikmati dari sebatang rokok? Namun bukan namanya Lindu Aji Gasendra alias diriku jika tidak memiliki rasa penasaran yang tinggi. Aku sendiri tidak pernah melihat Mas Tama atau Bapak merokok di hadapan, meskipun beberapa kali aku kerap mendapati abu rokok atau aroma bakaran tembakau di teras rumah.

“Ayo lah, nyoba satu tok. Mesti langsung enteng tuh kepalamu.” Bima menambahkan dengan bangga. Sebagai sosok yang dikenal perokok aktif, ia sudsh terbiasa dengan rokok dan kopi di umur belasan tahun.

Perlahan keyakinanku mulai goyah dengan godaan yang muncul dari Radit atau Bima. Bahkan Bapak atau kakakku sendiri mungkin melakukan hal yang sama. Memangnya sebagai seorang laki-laki aku tidka boleh melakukan hal serupa?

Atau mungkin merokok adalah salah satu cara menunjukkan kemaskulinan seorang pria di hadapan keluarga dan lingkungan masyarakat?

Aku tidak banyak bicara dan lekas memberikan anggukan kepala. Pojok kelas X-B yang berdekatan dengan juntaian pohon bambu membuat sinar matahari terhalang sehingga tempat ini terlihat lebih gelap. Sebatang rokok telah terapit di antara jari telunjuk dan tengah, kemudian Radit membantuku untuk menyalakan korek api gas sebelum kuhirup asap dan aromanya yang sangat asing di indera penciuman.

“Uh—uhuk! Aduh, kok rasane ngene yo?” Hampir saja aku membuang lintingan tembakau dan menginjaknya, namun aku menghargai pemberian Bima yang dibeli dengan uang.

“Coba mbok sesep meneh. Alon-alon, Ndu.” Bima membantuku dan memberikan contoh bagaimana menghisap rokok, menikmati setiap aromanya yang membuat paru-paruku hampir terbakar.

Aku kembali terdiam sebelum menirukan apa yang dilakukan oleh Bima dan Radit. Perlahan aku menyesap batang dengan gabus di bagian ujung yang memiliki rasa manis. Aroma tembakau yang sudah mulai bersahabat dengan anggita tubuhku perlahan menyusup masuk dari mulut menuju tenggorokan, kepulan asap kecil keluar dari celah bibir dengan senyum bangga di hadapan kedua temanku.

Akhirnya aku merokok juga, untuk pertama kalinya.