Helaan napas gusar berkali-kali berembus dari belah bibir dengan segumpal pemikiran yang tidak kunjung menemukan solusi. Entah apa yang merasuki saya, ketika dalam kondisi sulit seperti ini justru saya memilih untuk menyaksikkan film dokumenter yang membahas tentang perjuangan warga Indonesia hampir dua puluh empat tahun silam.
Pada masa itu, saya sering melihat Bapak mondar mandir keluar kota bahkan jarang berpamitan kepada keluarga (mungkin hanya dengan Ibu saja) guna menunaikan tugasnya. Rupanya ia tengah menunaikan tugas negara yang tak bisa ditawar apalagi dihindari, mengingat sumpah yang telah terucap harus ditepati.
Bulan Mei, tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan. Salah satu sejarah yang ditoreh oleh Bangsa Indonesia untuk memperjuangkan demokrasi dan keadilan, melawan pemerintahan yang saat itu bisa dibilang sebagai diktator.
Kalau A ya harus A, atau nyawamu nanti yang hilang.
Jika aku tahu konsekuensinya akan seperti itu, aku akan merengek kepada Bapak agar tidak keluar rumah dan bertugas. Apadaya pada saat itu yang aku tahu hanya di pertengahan bulan Mei, sekolah diliburkan dengan alasan belajar di rumah saja.
Bapak, ratusan tentara lain yang bertugas, mahasiswa yang turun ke jalan untuk menyuarakan keadilan adalah saksi hidup sejarah pada saat itu, di mana mereka saling bahu membahu untuk memperjuangkan satu kata: keadilan. Meskipun begitu, ada hal yang membuat saya miris hingga saat ini, bahwa keadilan tidak bisa dirasakan oleh semua orang. Kalau kata netizen Twitter: Keadilan sosial bagi rakyat goodlooking atau memiliki uang. Salah satu keresahan akan keadilan adalah keadilan akan hukum di negeri ini.
Faktanya kepastian hukum semakin hari hari semakin tidak menentu, keadilan yang segala-galanya menjadi segalau-galaunya. Yang berjuang mati-matian tidak mendapatkan apapun sedangkan yang biasa saja mendapatkan banyak. Hidup kadang selucu itu.
Tumpul keatas dan tajam menghujam kebawah. Layaknya sebuah permainna pada panggung sandiwara, keadilan dan hukum terus berjalan, yang salah bisa benar begitu pula sebaliknya. Jika seperti itu, apa guna Yang Terhormat Ibu atau Bapak Hakim, Jaksa, dan Pembela jika keadilan bisa ditukar dengan uang?
Sampai akhirnya saya berada di satu titik: apakah yang saya lakukan saat ini suda benar? Apakah saya bisa membantu mereka yang tak bersala atau bersalah untuk memperoleh keadilan hukum di negeri ini?
Jakarta, 2022. Sebuah pergumulan pikiran yang ditulis dengan secangkir kopi sambil menatap rak buku.