TW//Kecelakaan, kecelakaan motor Dimohon kebijakan pembaca sebelum membaca kisah ini
Hampir setiap hari kota Depok mendeskripsikan betapa padat dan sesak kota kecil itu mulai dari matahari merangkak naik hingga kembali ke peraduan. Bahkan kata Bang Ali, salah satu seniorku, cuaca di sini tidak seberapa dibanding Jakarta atau Surabaya yang terkenal panas. Padahal setiap hari aku mengeluh gerah dan selalu berharap AC kelas bisa menyala dan mengeluarkan angin sejuk dengan maksimal. Apa jadinya jika aku berkuliah di salah satu kota itu? Bisa-bisa tekanan darahku semakin menaik hingga harus dilarikan ke IGD, sebuah kemungkinan yang bisa terjadi dan menimpa seorang mahasiswa semester enam yang disibukkan oleh proposal skripsi serta mengurus tempat magang yang tak kunjung beres.
Daerah Margonda selalu dipenuhi oleh kendaraan besar serta motor yang menyusup ke jalur trotoar yang semula difungsikan untuk pejalan kaki dan pengguna sepeda. Maka dari itu, aku memutuskan melalui jalan kecil untuk menuju sebuah kawasan mall dengan menggunakan kendaraan roda dua. Ajakan dadakan dari Yanuar dan Hilman tidak bisa ditolak lantaran mereka akan memberitahu secuil informasi mengenai beberapa firma hukum yang masih menerima mahasiswa magang. Sebagai salah satu mahasiswa yang tengah terombang-ambing di antara rasa putus asa, aku mengiyakan ajakan mereka dan langsung bergegas dari kelas usai menghadiri kelas Hukum Pajak.
Motor Yamaha Jupiter Z berplat AB itu melintasi sebuah jalan setapak yang menghubungkan dari kawasan Pondok Cina ke Margonda dengan kecepatan sedang. Beberapa kali aku harus menginjak rem akibat pejalan kaki serta anak-anak yang berkeliaran di jalanan. Hal mengejutkan itu membuat emosiku mulai naik dan mengeluarkan umpatan pelan mengingat aku sedang terburu-buru. Aku kembali tancap gas dan melewati beberapa tikungan serta jalan menanjak hingga akhirnya pandanganku bertemu dengan sebuah jalanan besar yang nampak lengang. Sebuah kebetulan jalanan nampak lengang hingga membuatku langsung menyusup di antara mobil sedan berkecepatan sedang untuk mendapatkan kesempatan melintasi lampu hijau. Dari kejauhan, lampu kuning baru saja berganti ke hijau sehingga aku tidak ingin menyia-nyiakan atau aku harus menunggu lima menit lebih untuk melewati perempatan jalanan tersebut.
Ketidaksabaranku membuahkan peluh yang saling berlomba untuk jatuh dari tepi pelipis hingga membuat kerah jaket basah. Dari ekor mata, sekilas aku memerhatikan speedometer dengan jarum merah yang kian merangkak naik, melampaui angka enam puluh demi melintasi lampu hijau yang sebentar lagi akan kembali ke kuning dan merah secara berurutan. Beberapa kali bunyi klakson sebagai tanda peringatan menyalak tepat di belakangku usai melewati kendaraan dengan kecepatan sedang ke tinggi, menggilas aspal yang sedang panas-panasnya hingga tujuanku tercapai.
Aku berhasil melintasi perempatan jalan dengan lampu hijau yang menyala dengan angkuhnya
Dibalik rasa sombong yang masih menyelimuti, ketakutan perlahan datang saat fokusku mulai tidak stabil. Debu-debu jalanan nampak menghalangi pandangan ketika aku gagal mengendalikan kecepatan motor. Masih di gigi tiga, aku berusaha menurunkannya karena lima puluh meter lagi motor akan melintasi sebuah tanjakan. Akan berbahaya jika aku mengemudi di kecepatan tinggi di medan yang tidak stabil seperti sekarang.
Ban depan kembali melintasi jeglongan sehingga membuyarkan konsentrasiku. Bunyi klakson yang semula lenyap, kini terdengar semakin nyaring hingga hampir memecahkan gendang telingaku. Semuanya datang secara beruntutan, seakan mereka tengah berlomba untuk membalaskan dendam saat aku mengebut di jalanan besar barusan. Dari jarak belasan meter, sebuah truk melintas dengan kecepatan tinggi hingga membuat diriku semakin buyar.
CEMAS, TAKUT, MARAH.
Menurunkan kecepatan dan menyingkir dari tengah jalan agaknya sia-sia, sebab motorku menghantam pembatas jalan bersama beberapa kendaraan lainnya. Perasaan campur aduk semakin menghampiriku bersama tubuh yang kini merasakan sakit yang tak terkira kecuali bagian kepala usai terpental di pinggiran trotoar. Pandanganku berubah menjadi suram, samar-samar kerumunan orang tertangkap oleh indra pendengaran dan penglihatanku yang semakin gelap. Detik demi detik aku berusaha untuk bangkit, namun yang aku dapatkan hanyalah kesia-siaan sebab tubuh ini tidak mampu bangkit berdiri. Kesadaranku semakin menurun, hingga akhirnya aku tidak sadarkan diri dengan beberapa luka tubuh serta nyeri hati yang masih membekas.
Nasi sudah menjadi bubur. Semuanya harus dilalui dengan ketabahan hingga aku harus absen selama dua minggu untuk pemulihan.
Jika aku bisa mengendalikan diri sedikit saja, kejadian ini tidak akan mungkin terjadi
DEPOK, 2010