Belajar untuk hidup, hidup untuk belajar
Kata-kata Bapak yang sempat diucap saat saya berusia delapan tahun begitu tertancap di hati hingga saat ini. Bahkan saya tidak pernah membayangkan akan menjadi mahasiswa untuk kedua kalinya di usia dua puluh tujuh dimana sebagian orang akan lebih sibuk dengan karir hingga masalah jenjang hidup yang lebih lanjut. Bagi saya, selama saya memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan tidak mempengaruhi kerja, saya akan menjalankannya dengan penuh totalitas.
Ada yang berbeda antara kuliah di jenjang sarjana dan pasca sarjaa, sebagian besar bahkan seluruh mahasiswanya sudah bekerja sehingga mereka hanya akan fokus dengan tugas-tugas di kelas. Bercakap dan bertemu seperlunya, tidak sampai nongkrong atau main seperti saat sarjana sebelumnya. Tidak mungkin 'kan saya mengajak Pak Ferdinan, salah satu mahasiswa pascasarjana berusia lima puluh tiga tahun untuk kongkow di warmindo sambil mengerjakan tugas? Bisa-bisa kami akan disangka anak dan bapak yang sedang nyasar.
Mata kuliah Sosiologi Hukum yang diampu oleh Profesor Widjatmoko membuka kelas pertama di semester ini. Kami menyimak dengan saksama setiap penjelasan yang terucap, terutama buku-buku referensi yang digunakan mengingat tidak begitu banyak yang diterangkan saat kelas. Pada pertemuan saja langsung diberi studi kasus, hal itu membuat saya langsung tersenyum kecut dan segera membuat kelompok sesuai yang telah ditentukan. Sesuai dugaan, saya adalah anggota termuda di kelompok sedangkan sisanya adalah mahasiswa yang berusia tiga puluh sampai empat puluh lima tahun. Meskipun begitu, saya bersyukur mereka tetap aktif dan tidak segan memberikan ilmu baru kepada saya yang terbilang masih anak bawang.
Pertemuan pertama selesai pada pukul lima sore di akhir pekan bagi saya cukup mengesankan. Saya tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan kedua yang diberikan oleh Tuhan untuk terus belajar supaya bisa menjadi lebih baik lagi.
JAKARTA, 2015