Gemericik air yang berasal dari bawah, lebih tepatnya dekat telapak kakiku kembali mengalihkan perhatian ketika atensi tengah terpusat pada hamparan biru cakrawala di atas sana. Baskara tidak sehebat dua atau tiga jam lalu kala memanggang buana dengan panas-panasnya (sebagian orang mengatakan itu adalah gladi resik di neraka, memang kalian sudah pernah ke sana?). Embus angin sepoi-sepoi dari arah tenggara kembali menerpa kulit hingga membuat diriku acapkali merinding, bak pendingin ruangan yang kerap kutemukan ketika menyambangi kantor Ibu atau kulkas yang dibuka lebar-lebar oleh Mbak Ginah saat memasukkan bahan belanjaan ke dalam kulkas. Semilir yang dibawa oleh semesta yang tengah berbaik hati itu mengikis kantuk yang sempat hinggap saat tanganku tengah memegang alat pancing sejak satu jam yang lalu.
Salah satu aktivitas yang sering dihabiskan oleh Bapak, Mas Tama, dan juga aku di tempat pemancingan dekat rumah sekaligus rumah makan, Moro Kangen namanya. Aku sendiri tidak paham mengapa sang pemilik menyematkan nama sedemikian rupa, apakah ia mengharap orang-orang bertandang ke pemancingan tersebut untuk melepas rindu? Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah enam dasar. Makna kangen atau rindu sendiri bagiku masih sangat abu-abu, hanya paham ketika Ibu datang kepadaku dengan bolu kukus yang ia bawa dari kantor lalu datang menghambur ke dalam pelukanku atau Mas Tama sambil berucap, “Ibu kangen, Le.”. Kalau kata Mbak Amel, kangen merupakan sebuah perasaan ketika kita memiliki hasrat ingin bertemu dengan sesuatu (re:seseorang). Ya, mungkin kurang lebih sang pemilik tempat pemancingan berharap agar para pemancing lekas kembali ke tempat tersebut lantaran rasa rindu yang membuncah hingga membuat sesak di dada bagaikan orang yang tengah kasmaran.
Kami bertiga tidak melulu datang untuk mendapatkan ikan gurame dengan berat dua kilogram atau paling apesnya sandal jepit putus, kami menghabiskan rata-rata dua sampai tiga jam untuk ngobrol ngalor ngidul mengenai apapun yang bisa kami bicarakan. Sesaat aku menyukai suasana dimana kami bisa saling tertawa renyah ketika membicarakan kebodohan masing-masing hingga terlontar nasihat dari Bapak agar aku bisa menyikapi semuanya lebih bijak lagi.
“Prakaryaku kemarin dibilang jelek sama Bu Guru. Padahal aku susah cari bahannya dimana-mana, sampai aku akhirnya ke Bringharjo sendirian.”
Sebagai anak keempat, aku terbiasa menggerutu ketika mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan. Mutung, istilahnya pada saat itu. Tanganku kembali memainkan pancingan ikan, mengamati ember milik Bapak dan Mas Tama yang sudah terisi sekitar beberapa ikan dengan ukuran sedang. Boro-boro mendapatkan ikan, kailku justru menangkap empat plastik dan sampah yang dibuang sembarangan oleh para pengunjung yang tidak bertanggung jawab. Oh, bisakah aku mendapatkan ikan sebagai pelipur lara, setidaknya satu kali saja?
“Kamu sudah melakukan yang terbaik, Le. Iya 'ndak, Tam? Lindu itu jago bikin prakarya begituan. Cuma Bapak kasih tahu nggih, Le. Kita gak bisa memuaskan atau membuat senang semua orang. Jadi semisal ada yang mencela pekerjaan kamu, jangan diambil hati sepenuhnya.”
Bagaikan tanah kering yang disirami rinai hujan, aku mengalihkan seluruh atensiku pada Bapak. Aku suka bagaimana beliau mengucapkan kalimat yang terasa teduh di kalbu tanpa ada sarat penghakiman seperti yang dilakukan oleh orang tua kebanyakan.
“Bukan berarti Bapak ngajarin kamu nggak terima kritikan lho, ya. Kalau ada yang membangun, ya diambil. Tapi kalau mengarah ke hal pribadi ya mending 'ndak usah diambil hati.”
Seulas senyum menghiasi gurat wajah lelah pria yang berhasil membuatku tenang dan meredakan gemuruh yang sempat menggelayuti pikiran. Aku tidak tahu seberapa besar efek ucapan bapak yang terasa magis bagiku, seakan aku sudah tidak menginginkan hewan air itu untuk memakan umpan yang kuberikan.
“Oalah, si Lindu ngelamun. Wes, ojo mutung. Nanti tak ajarin biar bikinnya lebih bagus, kamu ya mau ujian tho?”
Mas Tama yang sedari tadi mematung dengan pandangan yang fokus pada benang dan kail kini mendekatkan jaraknya padaku dengan menggeser posisi duduk, lantas memperhatikan letak pancingan yang sedari kupegang tanpa digerakkan.
“Sini, tak ajarin cara megangnya.”
Aku hanya diam dan pasrah saat alat pancingku diambil. Dengan sigap, Mas Tama menggerakkan alat pancing itu hingga kail bergerak di titik yang lebih jauh dari sebelumnya. Ia memberikan alat tersebut padaku usai mengajarkan bagaimana cara menggerakkan, terutama saat kail tersambar oleh entitas air di bawah sana.
Gerakan menyentak bagaikan sebuah pemberontakan dapat terasa hingga tanganku hampir tertarik. Aku memutar reel dan menarik alat pancingku dengan sekuat tenaga. Tunggu, ini terasa lebih berat bahkan dua kilogram tidak ada apa-apanya. Tidak mungkin ada ikan paus atau lumba-lumba tersasar di sini 'kan?
Dibantu oleh Bapak dan Mas Tama, kami bertiga menarik kail dengan sekuat tenaga. Seekor mujair besar tertangkap oleh mata, tubuh lemahnya terlihat menggelepar dengan mulut terbuka dan mata melotot, seakan ia siap membalaskan dendamnya pada kami. Rasa senang tidak dapat terbendung hingga aku melompat dan berteriak begitu keras, tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang kini mengamati kami dengan tatapan sinis (atau mungkin tidak peduli), tapi aku berhasil membuat mereka iri.
“Ibu, Bapak. Malam ini kita makan gulai mujair, ya!”
Yogyakarta, 1999