MERANTAU
Suara mesin kereta api yang bergesekan dengan rel kembali memekakan telinga, bersamaan dengan klakson sebagai penanda jika kereta akan segera berhenti di tempat tujuan selanjutnya. Puluhan orang berbondong-bondong masuk ke dalam gerbong dengan satu atau dua tas besar yang ada di genggaman tangan, sementara ada yang menggunakan jasa porter bagi mereka yang memiliki uang lebih.
Meskipun aku tinggal di Yogyakarta, kedatanganku ke Stasiun Lempuyangan bisa dihitung dengan jari. Keluargaku lebih memilih menggunakan Stasiun Tugu (sekarang namanya Stasiun Yogyakarta) sebab jarak dari rumah lebih dekat. Sesekali aku memerhatikan betapa canggihnya kereta yang bisa berjalan di atas besi pipih yang ditata sedemikian rupa hingga membentuk sebuah jalur khusus. Berterima kasihlah kepada kakek moyang kita di zaman penjajahan dulu yang mengerahkan seluruh tenaganya untuk membangun itu semua dan berguna bagi anak cucunya.
“Mas Ndu, kalau sudah sampai kos langaung sms Ibuk nggih”
“Kalau berasnya kurang, nanti biar Bapak kirimin.”
Ucapan dari kedua orang tuaku yang tengah mengantar kepergianku sontak membuatku tertawa. Untuk pertama kalinya anak keduanya merantau ke Depok guna melanjutkan pendidikan, mungkin ini kali pertamanya mereka harus 'melepas' putra mereka dari rumah, mengingat Mas Tama hanya berkuliah di UGM sehingga bisa tetap tinggal di rumah.
“Nanti beli aja di sana gak papa, Pak. Kalau udah mapan, nanti nyari kerja sambilan. Pakai uang saku beasiswa tok ya 'ndak cukup to, Pak, Bu.” sahutku saat itu dengan nada sungkan dan tidak ingin merepotkan mereka terlalu banyak.
“Ya sudah, kamu yang paham sama kondisimu. Ibu sama Bapak cuma mendukung aja, Le. Pokoknya jangan sungkan buat minta uang jajan atau kos, ojok kerja aneh-aneh lho ya di sana.” pinta Ibu lagi dengan satu tepukan pada bahu kanan sembari berjalan beriringan menuju batas pengantar yang berjarak beberapa meter saja.
Aku membalasnya dengan sebuah anggukan kepala sebelum melewati tanda pembatas di mana kedua orang tuaku mau tak mau menghentikan langkah mereka. Inilah kali terakhirnya aku melihat Bapak dan Ibu yang tengah melambaikan tangan dengan mengucap kata-kata perpisahan serta doa agar diriku selamat sampai tujuan.
Ada rasa sedih ketika aku harus meninggalkan rumah, berpisah dengan orang tua dan saudara untuk menggapai cita-cita. Namun jika aku tidak berani mengambil keputusan ini, aku tidak pernah bisa maju karena stuck di titik yang sama alias zona nyaman. Ada pula yang harus dikorbankan demi meraih sebuah kesuksesan, bukan?
Sebuah kereta melaju perlaham dari arah timur, bersamaan itu pula suara pengumuman dari pengeras suara berkumandang dan memberitahu jika kereta tumpanganku telah tiba. Dengan hati-hati aku masuk ke dalam gerbong dan mencari nomor kursi yang tertera pada tiket milikku. Rupanya tidak butuh waktu lama untuk mencaro nomor belasan dengan angka ganjil di belakang, aku segera meletakkan dua tas besar di rak atas dan memosisikan diri untuk duduk di pinggir jendela.
Samar-samar aku melihat pantulan bayangan Bapak dan Ibu yang masih menatap ke arahku dengan lambaian tangan. Aku membalasnya dengan melakukan ha serupa meskipun dalam hati agak enggan. Pasalnya, aku masih sedih dan tidak sanggup berpisah dari orang-orang rumah.
Yogyakarta, mari kita bertemu enam bulan lagi. Tolong jangan banyak berubah, sehingga ketika aku pulang, aku tetap mengenali sosokmu yang selalu membuatku rindu dengan rumah.
YOGYAKARTA, 2006