Bagi sebagian orang, ada yang mengatakan jatuh cinta itu luar biasa dan berjuta rasanya, atau biasa saja bagi mereka yang kerap merasakan sebuah kejenuhan dalam hubungan. Namun bagi saya, justru patah hatilah yang terasa tidak biasa-biasa saja. Saat ini, patah hati merupakan salah satu babak paling menyakitkan dalam hidup.
Saya sendiri tidak mengerti, apakah ada penyembuh dari patahnya hati tiap insan lantaran berakhirnya hubungan percintaan mereka (yang sesungguhnya tidak ingin diakhiri).
Mereka hanya mengikuti waktu yang menggiring dan berpasrah (serta berharap) mencari solusi, apakah ada penyembuh dari luka batin itu.
Saat ini, saya tengah mengalami nelongso, kalau kata orang Jawa. Bagaikan ditelan bumi, gairah serta semangat hidup yang semula membara ibarat api obor olimpiade entah hilang kemana. Hilang arah pula setelah semua rancang rencana yang sudah sekian lama dibangun lesap begitu saja dalam hitungan detik. Saya seperti tengah merasakan penderitaan cinta yang digambarkan oleh lagu, puisi, novel, atau roman picisan. Dunia seakan runtuh, semuanya sudah berakhir begitu saja.
Namun akhirnya saya sadar akan alasan luka batin tersebut adalah bentuk denial atau penolakan dari ketidakmampuan saya untuk menekan ego. Selama ini saya membohongi diri, dengan menjadikan lenyapnya gairah hidup itu sebagai kambing hitam atas ketidakproduktifan saya selama beberapa bulan pasca kecelakaan.
Betapa egoisnya saya seolah merasa paling menjadi korban dari perpisahan ini. Padahal ada sebuah keluarga di seberang sana yang tengah merasakan duka mendalam atas berpulangnya salah satu anak perempuan mereka ke pangkuan Bapa. Seolah saya menafikan, toh mereka juga merasakan hal yang sama.
Setidaknya saya tidak sedih sendirian.
Hey, sedih kok ngajak-ajak, sih? Separah itu 'kah luka benturan kepalamu hingga membuatmu hilang akal dan turut senang di atas penderitaan orang?
Egosentrisme merongrong diri ini dan mengalahkan akal logika, seakan saya tengah menuntut dunia untuk memahami kondisi yang sedang lemah. Padahal, bisa jadi apa yang saya alami saat ini tidak seberapa dibandingkan milik orang lain.
Saya akhirnya menyadari bahwa seberapapun kuatnya kita berusaha mempertahankan sebuah hubungan, bila memang sudah dipisahkan oleh maut, mau berkata apa?ㅤ
Bukan karena segalanya telah selesai, justru inilah saat saya mulai mengusahakan sesuatu untuk bangkit Meskipun pada akhirnya saya harus jujur dan mengakui, semesta sudah tidak merestui hubungan kita lagi.
Yogyakarta, 2018