Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Jawa, saya kerap mendengar istilah nrimo ing pandum yang memiliki makna menerima dalam pemberian. Mensyukuri dan menerima apa yang telah diberikan Sang pencipta pada kita.
Menurut saya, banyak yang menyalahartikan mengenai kalimat nrimo ing pandum ini sebagai sebuah kepasrahan, minimnya bahkan tanpa usaha dalam mengatasi masalah dan hanya menerima apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Bukannya manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna, memiliki derajat yang paling tinggi dibanding makhluk lainnya (bahkan setan sekaligus, namun sebagian manusia justru takut akan kehadiran mereka), juga dianugerahi salah satu kelebihan yang dinamakan dengan akal.
Akal. Otak, jika ditanya penggambarannya secara fisik meskipun tidak bisa dilihat secara langsung (kau pikir kau akan berani membedah isi kepala seseorang secara harfiah?). Berpikir, sebuah kemampuan yang dimiliki manusia guna memecahkan suatu masalah, mencari jalan keluar perihal yang menghalangi tujuan.
Selama ini saya sudah cukup berusaha, bagaimana cara saya untuk lepas dari kenangan masa lalu yang mencekam. Berbagai cara saya lakukan mulai dari mendatangi psikolog, berdoa (dengan beberapa Tuhan, hingga akhirnya saya kembali pada Yesus), hingga menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Satu hal yang perlu diketahui, semakin kamu memaksa untuk mencari titik terang, kamu akan mengabaikan pesakitan-pesakitan yang seharusnya kamu rasakan, lalui, dan hadapi hingga semuanya menumpuk. Ada satu hari di mana saya merasakan sedih yang teramat sangat lantaran saya masih mengingat sosoknya hingga membuat saya tersedu-sedu usai persidangan. Seorang klien lantas memeluk saya dengan ucapan terima kasih karena turut terharu atas pembuktian saya jika ia tidak bersalah. Kesedihan saya disalahartikan sebagai rasa empati, namun saya hanya membiarkannya hingga derai air mata itu berhenti pada waktunya.
Menerima peristiwa kehilangan, kegagalan, dan lainnya sebagai akibat pasti dari hidup. Nrimo ing pandum, lalu saya akan memperjuangkan kembali apa yang masih bisa diperjuangkan, termasuk masa depan saya.
Jakarta, 2021