Aroma minyak wangi yang berasal dari lipatan tangan dan leher begitu menyengat hidung dengan setelan semi formal yang kini membalut tubuhku. Jam tangan pemberian Bapak sewaktu kelulusan menjadi simbol kebangaan yang selalu kupakai kemana-mana, termasuk dalam acara ulang tahun yang akan kukunjungi bersama Vera, salah seorang rekan seangkatan yang akan menjadi pacarku hari ini. Bukan tanpa sebab, penampilanku yang nampak rapi dibanding biasanya ini akan menentukan berapa banyak wanita itu akan menilaiku dengan pundi-pundi rupiah yang akan masuk ke dalam rekeningku.
“Mau manas-manasin siapa lagi? Mantan yang mana?” selorohku pada Vera yang terkenal hobi gonta-ganti pasangan. Pasalnya wanita itu kerap disakiti oleh kaum pria yang mana kisahnya selalu berakhir tragis, perselingkuhan dan putus sepihak.
“Kakak tingkat kita yang habis exchange dari Malaysia tuh, Kak Darren. Gue mau liat reaksi dia aja pas gue bawa cowok ke acara ulang tahunnya Lidia.” ucap Vera santai seakan tak memikirkan betapa gugupnya diriku yang akan berhadapan dengan salah satu kakak tingkat yang disegani. Aku menepis keraguan itu jauh-jauh dan meyakinkan diri ini, hanya dua jam saja bermesraan setelah itu pulang dan mendapatkan lima ratus ribu yang bisa kugunakan untuk biaya hidup selama dua minggu. Begitulah caraku dan Arjuna, salah satu rekan seperjuanganku untuk bertahan hidup selain mengandalkan uang saku beasiswa dan menjadi tutor les privat.
“Oh, oke. Ntar sampai sana, lo gandeng tangan gue. Tapi, Ver. Gue kesannya kaya cowok yang demen gonta-ganti pasangan. Bukan lo, anjir.” Tanpa sadar diriku mengumpat atas kekhawatiran yang menyelimutiku sejak tiba di depan gedung kafe daerah Depok Barat. Berkali-kali aku menghela napas panjang dengan telapak tangan yang berkeringat. Aku bukan Arjuna yang sudah sampai delapan kali menjadi pacar sewaan sehingga ia bisa bersikap santai.
“Yaelah, Ndu. Kalau ada yang naksir sama lo beneran, gak bakal mikirin lo kayak gitu kok. Udah, gue gandeng dari sini biar aktingnya meyakinkan. Gue panggil lo ... Beb. Beb aja ya, biar meyakinkan? Soalnya Kak Darren dulu manggil gue gitu juga.” pinta Vera dengan wajah memohon yang tak bisa kutolak sama sekali. Dengan merapalkan nama Bapa di dalam hati, kini aku menggenggam tangan kecil itu dengan wajah bahagia, sesekali menyapa beberapa teman Vera dan memperkenalkan dirinya sebagai pacar. Lagi-lagi aku meyakinkan diriku agar menikmati momen ini dan tidak menyalahkan diri atas patah hatinya seseorang yang dibuat atas kepentingan pribadi. Tibalah saat dimana sosok pria bernama Darren itu mendekatiku dengan wajah datar, namun aku dapat menangkap kerutan pada kening yang memperlihatkan rasa heran dan kaget. Simulasi sidang beberapa kali di mata kuliah Hukum Pidana II rupanya melatihku untuk membaca ekspresi dan gelagat seseorang setelah latihan berkali-kali.
“Ver, kamu kok ... Loh, Lindu? Kok bisa kenal──tapi selamat, ya. Jagain si Vera, soalnya tahun depan gue udah mau sebar undangan.” Pria bernama Darren itu berucap dengan nada pongah yang langsung tertangkap maksudnya. Aku hanya membalas dengan senyum simpul beserta anggukan kepala, sesekali diriku menatap ke arah Vera yang nampak patah hati. Rupanya bukan pria itu yang hancur hatinya akan sandiwara kami berdua, justru Vera yang setelah itu menangis hebat. Mau tak mau aku menenangkannya.
“MBA dia, Ver. Ngapain lo nangisin cowok begituan, untung pas sama lo gak sampai bablas gitu.” ucapku berusaha memvalidasi perasaan sang puan yang kini nampak tersedu-sedu. Lantas aku memberikan selembar sapu tangan yang sudah kusiapkan dari rumah (re: kos-kosan) untuk berjaga-jaga. Hanya ada tetes air mata tanpa suara dengan wajah semerah tomat, aku bergegas membawa dirinya untuk pulang ke rumah agar temanku yang satu itu bisa beristirahat.
Terkadang Tuhan menyelamatkan kita dengan cara yang paling menyakitkan. Kendati demikian, nikmati saja rasa sakit itu hingga semuanya baik-baik saja dan kamu tidak merasakan apa-apa lagi.
Depok, 2010