Aroma menyengat menyambut kedatangan dua pasang tungkai yang kini berjalan memasuki pasar Bringharjo. Bukan bau sampah, bangkai tikus (apalagi manusia), atau aroma keringat orang (ini akan ditemukan di dalam pasar nanti), melainkan lilin yang merupakan bahan utama dalam pembuatan batik. Bau kuat yang kerap membuat orang menahan napas selama beberapa detik atau menutup hidung itu justru membuatku nyaman dan agak (sedikit) kecanduan, sebab aroma tak biasa itu baru pertama kali menyapa indera penciumanku. Tidak heran, ini kali pertamanya aku menyambangi salah satu pasar terbesar di kota kami untuk menemani Ibu berbelanja bahan makanan. Katanya, ia bisa memperoleh barang belanjaan dengan harga yang lebih miring dibanding pasar dekat rumah atau tukang belanja yang menggunakan sepeda atau gerobak, dengan bonus gosip para tetangga serta bumbu drama yang kerap disematkan pada kisah. Sebagai salah satu wanita karir yang terbilang sukses, Ibu kerap menghindari hal-hal tersebut hingga membuat ia (agak) dikucilkan oleh tetangga sekitar. Kendati demikian, ujung-ujungnya mereka akan mendatangi keluarga kami jika tengah dihadapkan oleh sebuah kasus yang kerap membuatku harus menahan tawa sebab perutku terasa tergelitik, pencurian jemuran atau hewan peliharaan seperti anak ayam.
Usai melewati sekumpulan penjual kain batik maupun pakaian jadi (dengan motif batik), kami melewati tangga untuk menuju penjual daging di bagian pasar seberang. Lagi-lagi aku dibuat terperangah oleh berbagai aktivitas yang dilakukan oleh mereka, para pedagang dan pembeli yang saling bersahutan dengan bahasa Jawa. Kebanyakan dari mereka akan menggunakan bahasa Krama atau halus untuk menawar, lalu setelah mendapatkan barangnya, mereka akan menggunakan krama Madya karena dirasa telah mendapatkan apa yang diinginkan.
“Mas Ndu, minta tolong bawain ini.”
Ibu memberikanku dua plastik hitam yang berisi ayam potong. Tidak ada jawaban signifikan yang keluar dari mulutku selain anggukan kepala karena masih sibuk melihat-lihat sekitar. Aku langsung teringat dengan materi pelajaran Ilmu Pendidikan Sosial yang membahas pasar yang kerap digunakan untuk transaksi jual beli, serta uang sebagai alat tukarnya.
“Mas? Kok ngelamun to? Kamu 'ndak ndengerin ibu?”
“Ngapunten, Bu. Aku lagi asik lihat-lihat orang pada motong ayam. Memangnya harus bayar pakai uang ya, Bu? Kalau pakai permen atau daun bisa 'ndak?”
Mendengar celotehan panjang lebar yang sedari tadi bergumul di pikiran, Ibu tersenyum dengan gelak tawa usai menerima dua lembar uang lima ribuan. Saat itu, mata uang lima ribuan termasuk banyak dan bisa membawa pulang berbagai macam makanan maupun barang yang diinginkan.
“Nek nganggo godhong kui yo koyok neng film'e sopo kui? Suzanna?” (Kalau pakai uang itu kayak yang di filmnya siapa itu? Suzanna?)
Sang penjual ayam potong yang mendengar percakapan kami ikut tertawa, mungkin di matanya aku terlalu polos atau bodoh karena belum mengerti tentang jual beli.
“Iya, Suzanna. Kalau yang 'ndak punya uang gimana dong? Mereka makan pakai apa?”
Lagi-lagi rasa keingintahuanku yang semakin membuncah membuat Ibuku tersenyum. Sepanjang perjalanan menuju tukang sayur, beliau menjelaskan tentang konsep jual beli dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti ketimbang harus membaca buku tebal bersampul cokelat bertulis 'Ilmu Pengetahuan Sosial' yang diberi oleh Bu Yayuk.
“Mereka harus menyesuaikan gaya hidup dengan penghasilan. Kalau 'ndak punya atau sedikit uang ya harus makan seadanya,” jawab Ibu.
“Berarti uang Ibu sama Bapak banyak? Tapi yo 'ndak heran, kita 'kan punya mobil.”
Tanpa sadar aku ikut tertawa terbawa suasana, deretan gigi putih bak biji ketimun itu terlihat dengan mata menyipit, hampir seperti garis alis namun masih terlihat dengan jelas.
“Doain Ibu sama Bapak sehat-sehat terus nggih, Nang. Biar kamu bisa sekolah juga, nanti jadi hakim kayak Om Danang atau pengacara kaya Mas Heru.”
Lagi-lagi aku hanya mengangguk sambil mencerna kata-kata asing yang pertama kali didengar. Hakim? Pengacara? Apa lagi itu? Yang aku tahu, Om Danang atau Mas Heru adalah orang sibuk yang kerap pulang malam bahkan sampai pagi. Berangkat pagi, pulang pagi juga. Aku tidak bisa membayangkan betapa sibuknya mereka hingga tidak bisa menikmati kebebasan layaknya orang-orang dengan profesi biasa. Namun di satu sisi, mereka begitu disegani oleh keluarga besar kami dan sering dielu-elukan.
Haruskah aku menuruti permintaan Ibu untuk membuat ia bangga? Pendidikan sekolah dasarpun belum lulus dan aku tidak ingin mendapatkan beban seperti itu.
Atau lebih tepatnya, haruskah aku menjadi seperti mereka agar mendapatkan perlakuan atau pengakuan dari keluarga besarku?
Yogyakarta, 1997