PEMBEGALAN

TW//Kekerasan fisik, umpatan bahasa kasar Dimohon kebijakan pembaca sebelum membaca kisah ini

Sinar oranye keemasan yang berada di ufuk barat perlahan menghilang, bersamaan dengan hamparan gelap beserta gumpalan awan sebagai pertanda jika malam ini cerah. Sebab malam tanpa awan maupun bulan merupakan alamat hujan akan segera mengguyur bumi pertiwi seperti dua hari lalu. Aku basah kuyup usai menuruni angkutan umum disaat motorku sedang masuk bengkel.

Berbeda dengan dua malam sebelumnya, kini aku pulang kantor dengan motor yang baru saja diperbaiki akibat mesin yang mulai termakan usia. Tabunganku belum cukup untuk membeli motor baru, sehingga kadang aku harus berdamai dengan keadaan yang mengharuskanku merawat motor dengan hati-hati. Usai bertemu dengan kekasihku yang masih menyelesaikan pekerjaan di kantor, kini saatnya aku kembali ke rumah untuk beristirahat dan melepas penat. Aku tidak segigih Karenina yang rela dan bahkan cenderung bahagia bermalam di kantor hanya demi sebuah kasus yang belum terpecahkan. Bahkan ia jarang bermalam di rumahnya sendiri maupun asrama yang disediakan kantornya untuk para karyawan. Gaji tidak seberapa, namun dedikasi setinggi langit.

Jalanan Jakarta masih nampak ramai dengan deretan kendaraan roda empat maupun dua yang memenuhi setiap sisi jalan. Lampu penerangan mulai dinyalakan, berpadu dengan kerlip lampu tiga warna yang mengingatkanku pada masa silam: jangan terburu-buru jika ingin selamat berkendara. Aku lebih bisa menahan keinginanku untuk mengebut jalanan usai insiden terakhir semasa kuliah. Kini aku memperhatikan lampu merah yang masih menyala disaat dari arah jalan yang berlawanan sudah mulai jalan. Kendaraan roda dua terlihat berlomba menyusup kendaraan besar lainnya agar lekas tiba di bagian jalan yang lebih longgar, sehingga mobil maupun kendaraan umum harus mengalah. Mungkin mereka belum pernah kecelakaan, atau ada keluarga yang kecelakaan sehingga bisa seanarkis itu, batinku.

Lampu kuning yang menyala beberapa detik disusul dengan warna hijau langsung membuatku bergegas tancap gas, menyusuri jalanan kecil menuju kawasan Jagakarsa yang merupakan daerah kontrakanku. Kini jalanan nampak lebih sepi, hanya ada beberapa motor yang bisa dihitung saat berpapasan denganku. Aku melirik ke arah jam tangan, masih pukul setengah sembilan malam namun suasana sudah cukup mencekam seperti ini. Motor semakin cepat melaju dan menekan klakson berkali-kali saat berpapasan dengan kendaraan ataupun belok ke arah lain.

Dari kejauhan, nampak dua orang begal sedang melancarkan aksinya untuk merampok dua orang mahasiswi dengan jas almamater hijau yang melekat pada badannya. Tatapan tajam yang dilemparkan itu selaras dengan ujung belati yang ia acungkan ke arah salah seorang mahasiswi hingga membuat dirinya mematung bak manekin di toko. Aku segera menepi dan mengunci motor, kemudian berjalan ke arah dua preman itu yang sedang mengambil ponsel serta dompet milik mahasiswi malang itu.

“Ngapain lo ikut campur? Ini wilayah gue, mau mati lo?”

“Kak, tolong kak!

Dua kalimat dengan nada kontras itu berhasil membuat emosiku mendidih, Tangan kiriku mengepal dengan kewaspadaan dua kali lipat, sebab jumlah mereka lebih banyak. Dua lawan satu, tidak mungkin aku melibatkan dua mahasiswi itu untuk membantuku 'kan?

“Lepasin mereka, atau gue telepon polisi sekarang.” Aku mengancam mereka tanpa senjata beserta kaki yang sudah membentuk kuda-kuda. Pelajaran bela diri yang sempat diambil semasa SMA rupanya baru berguna sekarang, namun sepertinya mustahil jika aku mempraktekan gerakan yang sudah lama tidak dilakukan.

“Bacot, mati lo sekarang!” Pisau belati itu melesat cepat ke arahku, namun aku berhasil menghindarinya dengan sempurna. Jarak dua sentimeter dari telinga, jika aku lengah sedikit sudah pasti aku akan terluka. Aku memerintahkan kedua mahasiswi itu untuk kabur dan meminta pertolongan, sementara tugasku menghabisi dua cecunguk yang mengganggu pandanganku saat ini.

“Heh, asu! Wani opo koe karo aku? Bapakku tentara, mati koe nek gelut ambek aku!”

Sebuah umpatan berbahasa daerah tanpa sadar terucap di tengah napasku yang tersengal, menghindari serangan dengan tangkisan serta tangan kiri yang memegang sebuah kayu balok untuk memukul mereka. Tendangan yang mengarah ke atas dada mengenai preman pertama berambut gondrong, dua pukulan dilayangkan ke atas kepala hingga membuat pria itu mengeluarkan darah dari mulutnya. Sementara preman bertubuh gempal dengan tato naga di lengan kiri itu masih bermain dengan belatinya, berkali-kali berusaha menghujamkan mata pisau ke arahku.

SRET. Permukaan jas hitam itu sobek, disusul dengan rasa ngilu serta darah yang mengucur dari lengan kiri. Aku berusaha menangkis hujaman itu lagi dengan tangan kanan agar pisau tersebut terpental dari genggaman sang preman. Usahaku berhasil, namun pria itu berhasil pula menghujani satu tinjuan pada lengan dan mukaku yang sontak membuat tubuhku terpental jatuh.

Sayup-sayup sirene polisi terdengar bersamaan langkah beberapa detektif yang langsung membawa dua preman tersebut. Sementara aku dan dua korban lain dibawa oleh petugas polisi wanita menuju sebuah klinik untuk diobati.

“Bu, motor saya gimana?” Pikiranku tertuju pada motor yang kuletakkan di tepi jalan saat hendak menolong mahasiswi tersebut.

“Biar nanti dibantu sama petugas. Kamu serahkan kunci sama kami, ya. Besok saya periksa SIM dan STNK kamu.” ucap polisi wanita tersebut saat pandanganku mulai berkunang-kunang. Kepalaku begitu nyeri, seiring dengan nyeri yang tak terelakan dari lengan kiriku.

Sebuah pengorbanan yang setara dengan prinsip yang dipegang: menolong yang lemah meskipun harus mengorbankan diri sendiri.

JAKARTA, 2013