PENENTUAN

Ada yang bilang jika Ujian Nasional merupakan sebuah penentuan hasil belajar kita selama tiga tahun di sekolah dengan empat mata pelajaran. Namun tidak sedikit pula mereka yang merasa takut dan menjadikan hal-hal tersebut menjadi momok, membuat beberapa siswa insyaf dadakan, lebih dekat dengan Sang Pencipta agar diberikan kemudahan serta hasil dengan tulisan LULUS. Jika Tuhan bisa protes seperti manusia, mungkin Ia akan berkata, “Bagaimana bisa kau mendatangiku dengan kalimat permohonan yang diselipkan puji-pujian untuk meminta kelulusan? Apakah Aku sosok yang hanya didatangi saat dibutuhkan saja?”

Pagi yang syahdu di Senin pertama dipenuhi oleh siswa kelas tiga dengan seragam abu-abu. Separuh dari mereka naik ke lantai dua, sebagian di lantai pertama dengan kelas yang diisi dua puluh siswa. Rasa gugup dan antusias bercampur menjadi satu mengingat hari pertama adalah ujian pelajaran Bahasa Indonesia yang membutuhkan penalaran serta hafalan (sedikit).

Deg-degan banget, ini soalnya kayak yang di bimbel gak ya?

Eh, mengko nek aku rak iso nggarap, aku nyonto yo.

Nanti seng ngawasin dari sekolah lain ya? Ada yang kenal nggak?

Celotehan demi celotehan para siswa menyapa rungu tatkala mataku masih mempelajari soal-soal ujian di tahun lalu. Sebagian ada yang membutuhkan ketelitian dalam membaca, namun tidak sedikit yang membutuhkan penalaran serta logika. Jika tidak ada yang mirip, setidaknya aku akan memilih jawaban yang paling mendekati.

Halah Bahasa Indonesia ki gampang. Mosok ambek bahasane dewe ora iso?

Celetukan dari salah satu siswa yang duduk di deretan depan lantas membuatku memijit dai. Bukan karena aku terlalu ambisius atau egois, ada satu dua hal yang ingin aku gapai jika pada ujian ini aku bisa lulus dengan nilai yang tinggi. Teruntuk Beni—siswa yang baru saja membuatku geleng-geleng kepala akan omong besarnya, awas saja dia membuat gaduh lantaran meminta bantuan atau jawaban pada teman-temannya.

Bel berbunyi melalui pengeras suara, disusul dengan doa pagi yang dilantunkan oleh Pak Roro, salah satu guru bagian kesiswaan. Seketika suasana hening dengan sedikit bisik-bisik yang diucap oleh mereka kepada Tuhannya. Bersamaan itu pula, seorang pengawas yang merupakan guru pria dari sekolah tetangga datang dengan dua amplop cokelat yang dibagikan usai membaca doa. Berbagai ekspresi terpampang pada paras, ada rasa puas ketika sebagian besar soal begitu familiar di otak. Ternyata tidak sulit juga, ya.

Dengan penuh kemantapan, aku membulatkan huruf demi huruf usai membulatkan nama dan nomor ujian, berharap agar rasa senang ini selalu lekat sampai soal terakhir.

Semoga hari pertama yang penuh sukacita ini adalah awal yang baik hingga hari terakhir ujian.

YOGYAKARTA, 2006