PENGUMUMAN

PENGUMUMAN

Biasanya orang-orang akan merayakan sebuah momen terpenting dalam hidupnya dengan berbagi kebahagiaan dan tawa, meskipun hanya sekadar minum kopi serta pisang goreng sebagai kudapan di warteg. Berbincang ngalor ngidul dengan disisipi jokes ala tongkrongan yang membuat suasana menjadi pecah. Jangan lupakan sebatang rokok meskipun hanya disesap sebentar untuk menikmati sensasi manis pahit pada kandungan lintingan tembakau.

Hari ini adalah pengumuman kelulusan. Bapak Kepala Sekolah mengumandangkan melalui pengeras suara usai doa pagi jika seluruh siswa kelas tiga lulus. Riuh tak terbendung, semuanya menumpahkan sukacita di dalam kelas hingga berhamburan ke kantin atau tempat makan terdekat. Tidak ada konvoi terlebih acara corat-coret baju seperti tahun lalu, sebab penjagaan yang dilakukan oleh petugas polisi lebih ketat dan kata Bapak Kepala Sekolah, “Kalian pilih corat coret atau tidak lulus?”. Ciutlah jiwa bebas beberapa di antara mereka yang sudah membeli pilok untuk memberikan kenang-kenangan berupa tanda tangan pada seragam bagian belakang atau kata mutiara (kau pikir kau ini artis?).

Sebuah kebetulan bahwa pengumuman kelulusan bertepatan dengan pengumuman masuk kampus; orang-orang menyebutnya dengan SNMPTN. Ada tiga kampus yang aku daftar, bayangkan saja betapa gugupnya diri ini yang sedari tadi menahan rasa penasaran yang hendak membuncah di dada. Bagaimana jika aku tidak lulus di tiga kampus itu? Apakah aku harus masuk kampus swasta, mengikuti ujian masuk lain, atau menunggu tahun depan? Jujur saja, mengandalkan nilai rapot dan beberapa piagam masih membuatku pesimis untuk mendaftarkan diri di kampus negeri yang memiliki reputasi terbaik di Indonesia. Kini aku hanya bisa berpasrah, berdoa sembari mondar-mandir di depan ruang BP untuk menunggu pengumuman bersama belasan siswa lainnya yang mengikuti ujian masuk kampus.

“Kamu daftar di UGM to? Di sana passing grade buat jurusan sosial lebih tinggi lho. Katane tahun ini cuma nerima 70 siswa aja.”

“Kayake kalau aku gak keterima, mau nunggu tahun depan aja. Ibuku pengen banget aku di ITB, biar sama kayak Bapak.”

Beberapa obrolan yang menyapa telinga semakin membuat perasaanku tidak karuan. Entah sudah berapa kali aku mengusap telapak tangan yang dingin dan basah akan keringat lantaran saking gugupnya.

Sosok Pak Budiman, guru BP kami keluar dengan selembar kertas yang ditempelkan di kaca. Seketika kami langsung mengerumuni kaca depan ruangan BP bagaikan semut yang baru saja menemukan gula. Pengumuman yang baru saja dicetak satu menit lalu langsung dipasang, menampilkan beberapa nama kami yang lolos masuk deretan kampus negeri di Indonesia.

Jantungku bekerja semakin keras hingga hampir saja lompat dari tempatnya. Rasa sesak yang menggumul sedari tadi di dada seketika membuat diriku menitikkan air mata tanpa suara. Aku tidak bisa membayangkan betapa bangganya Ibu dan Bapak jika melihat pengumuman ini secara langsung. Anak kedua—anak yang memiliki stigma jarang diperhatikan dan semaunya sendiri kini berhasil membuat keluarga bangga akan hasil kerja keras selama tiga tahun.

Tuhan, terima kasih atas berkat dan pengasihanMu yang tak terkira serta sukacita yang tiada putusnya pada hari ini. Semua ini tidak akan terjadi tanpa campur tanganMu, dan aku percaya apa yang Engkau berikan akan menjadi berkat bagi diri sendiri dan orang-orang di sekitar.

Lindu Aji Gasendra, dinyatakan diterima di Universitas Indonesia pada program studi Ilmu hukum melalui jalur SNMPTM dan mendapatkan beasiswa bidik misi jalur prestasi.

YOGYAKARTA, 2006