SIDANG PERTAMA

Semasa kecil saya sering bertanya pada Ibu yang sedang disibukkan dengan berkas-berkas tuntutan yang kerap membuat beliau lembur sampai pukul dua pagi: apa itu hukum? Apa fungsinya? Apa akibatnya jika orang tidak dihukum?

Ibu yang saat itu mendengarkan deretan celotehan saya menjawab dengan satu kata yang tidak dimengerti hingga saat menginjak usia lma belas tahun. Katanya, hukum itu ada untuk menegakkan keadilan. Memberikan keadilan bagi orang yang bersalah agar menerima konsekuensi atas apa yang dilakukan, memberikan rasa lega dan nyaman meskipun perasaan sebelumnya tidak akan kembali sepenuhnya bagi para korban.

Setelah mengenyam pendidikan profesi dan menjalani serangkaian test sebelum disahkan menjadi seorang pengacara, ini adalah pertama kalinya saya menghadiri sebuah persidangan setelah hampir dua minggu disibukkan mempelajari kasus pembunuhan, yang mana saya berada di pihak korban untuk membantu dalam menuntut keadilan. Meskipun nyawa sang korban tidak akan pernah kembali, setidaknya keluarga yang ditinggalkan memperoleh rasa nyaman dan lega atas hukuman yang kelak akan diberikan oleh pihak pengadilan, sama persis dengan yang Ibu katakan belasan tahun lalu.

Kedatangan hakim yang masuk ke dalam ruang sidang membuat semua orang yang hadir segera berdiri untuk memberikan hormat, dilanjut dengan suara ketukan palu sebanyak tiga kali berturut-turut sebagai pertanda bahwa sidang akan segera dimulai. Tibalah giliran saya untuk membacakan tuntutan kepada terdakwa sesuai kasus dan tuntutan yang (menurut saya) pantas diberikan untuknya.

“Berdasarkan barang bukti yang ada di TKP beserta kesaksian orang-orang di sekitar korban maupun terdakwa, juga menindaklanjuti tuntutan dari Jaksa, saya meminta terdakwa dijatuhi pasal 338 KUHP dengan hukuman pidana lima belas tahun penjara. Demikian yang bisa saya sampaikan.”

Ada rasa lega setelah berhasil mengucapkan kalimat yang saya hafal belasan bahkan puluhan kali dari semalam lantaran tidak ingin salah dalam mengucapkan tuntutan. Namun bagi saya, apakah lima belas tahun cukup untuk mengobati kesedihan keluarga maupun teman-teman dari korban yang ditinggakan?

Dari ekor mata, saya dapat menangkap keluarga korban yang kembali terisak saat potretnya ditunjukkan pada layar LCD ketika pengacara dari pihak terdakwa membacakan pembelaannya. Ada amarah serta sumpah serapah yang terucap, bahkan tak jarang beberapa di antara keluarga korban menyumpahi sang pengacara dengan kalimat kotor. Saya tidak bisa membayangkan jika ada di posisinya, namun suatu saat pasti saya akan ada di posisi itu.

Pemeriksaan silang usai. Hakim akan mengumumkan hasil sidang satu minggu kemudian setelah mendapatkan laporan tertulis maupun pembacaan pembelaan seperti yang diucapkan barusan. Saya bergegas menghampiri keluarga korban dan menjabat tangannya, berusaha menguatkan mereka meskipun saya tidak memiliki kapasitas untuk melakukan hal itu. Kata salah seorang rekan senior saya: tunjukkanlah sisi kemanusiaanmu meskipun kamu tidak bisa menunjukkannya karena pengacara harus objektif, tidak terlibat oleh perasaan secara emosional. Kedua orang tua korban lantas memeluk saya dan mengucap terima kasih, perasaan hangat kembali menjalar hingga tanpa sadar saya tersenyum saat kembali menjabat tangan mereka.

Sekarang saya paham akan makna kalimat Ibu (lagi). Hukum memberikan rasa lega dan nyaman kepada keluarga korban yang ditinggalkan, meskipun hal itu tidak bisa membuat korban hidup lagi.

JAKARTA, 2013