Sebuah pemandangan tak biasa menjadi pembuka di awal pekan ketika kelas kami mendapatkan giliran simulasi sidang di gedung baru yang difungsikan sebagai ruang praktik persidangan mahasiswa jurusan Ilmu Hukum. Beberapa di antaranya nampak tengah mematut diri di depan cermin, memastikan riasan maupun jubah yang dikenakan tidak miring. Sementara sisanya berperan sebagai pengunjung sidang serta beberapa saksi.
Semilir angin pendingin ruangan nampaknya gagal berfungsi sedemikian rupa pada pagi hari ini, sebab bulir keringat seukuran biji jagung itu tetap menetes melalui tepi kening dan rambut yang mulai basah. Peranku sebagai seorang jaksa akan lebih menuntutku untuk berbicara cukup banyak dan menghafalkan dialog template di luar kepala dan selebihnya adalah improvisasi. Jika tidak menggantikan Hilma atau Arya, mungkin aku akan mendapatkan peran pengacara atau penyidik yang memiliki role lebih menantang.
Mulanya aku cukup memandang sebelah mana profesi jaksa, terlebih aku cukup mengetahuinya dari kisah yan sering diceritakan oleh Ibu. Mereka hobi mencecar dan memojokkan, bahkan ada juga yang sengaja membuat barang bukti demi tidak mempermalukan nama Kantor Kejaksaan. Salah satu sisi gelap yang belum ada apa-apanya dibanding yang sudah dialami oleh Ibu.
Kini aku telah menempati kursi jaksa bersama Firda. Dengan volume suara lirih, kami kembali mendiskusikan apa yang hendak disampaikan kepada Hakim maupun Terdakwa. Sesekali aku mengoreksi bagian dialog yang dirasa kurang pas untuk diucapkan dan menggantinya dengan kata lain.
“Majelis Hakim memasuki ruang sidang, hadirin dimohon berdiri.”
Suara dari panitera yang tak lain adalah Arya menggema ke seluruh ruang sidang. Seluruh mahasiswa yang berperan sebagai pengunjung, terdakwa, saksi, penyidik, hingga jaksa berdiri untuk memberikan hormat kepada Hakim yang diperankan oleh Pak Dadang. Beberapa saat kemudian seluruh peserta di ruangan duduk di tempat masing-masing setelah dipersilakan kembali.
“Pada hari ini akan dilaksanakan Sidang Perkara Lingkungan Hidup atas nama terdakwa Malik Hermawan, maka dari itu diingatkan kepada seluruh peserta sidang untuk menonaktifkan segala alat komunikasi dan tidak melakukan hal-hal yang dapat mengganggu jalannya persidangan.” Sang hakim memberikan peringatan untuk mematikan ponsel dan tidak mengabadikannya dalam bentuk video, kecuali dua videografer yang memang sudah ditugaskan untuk keperluan dokumentasi.
Sidang dibuka dengan ketukan palu sebanyak tiga kali. Hampir saja Firda mengeluarkan tepuk tangan hingga aku menepis tangannya agar tidak menimbulkan kegaduhan dari meja jaksa. Dalam keheningan, seorang pria yang memerankan terdakwa memasuki ruangan dan didampingi oleh dua orang polisi. Sementara sang pengacara tetap berada di mejanya untuk menyampaikan pembelaan.
Gugup dan tegang semakin melanda, namun aku berusaha fokus dengan apa yang disampaikan pembela atau pengacara yang diperankan oleh Bima. Setelah dipersilakan, aku dan Firda melakukan pemeriksaan silang dengan menunjukkan barang bukti yang ditampilkan di proyektor. Memastikan alibi terdakwa adalah tugas Firda, sementara diriku mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengonfirmasi agar tidak terjadi kesalahan.
“Apakah Anda yakin pada pukul 14.15 tidak berbicara melalui telepon seperti yang diungkapkan barusan? Rekaman telepon pada hari dan jam yang sama menunjukkan nomor telepon Anda sedang melakukan panggilan pada seseorang yang Anda suruh. Berikut adalah percakapannya.”
Hampir saja aku mengucap “Jika pengacara merasa keberatan, silakan mengajukan eksepsi.” namun berhasil ditahan karena gugup yang sedai tadi menyelimuti belum hilang juga. Kendati demikian, seduai dugaanku pihak terdakwa mengajukan keberatan dengan membacakan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan yang diberikan oleh pihak jaksa.
ADUH, MAMPUS! Yang kutakutkan ternyata terjadi juga
“Penuntut Umum, apakah ada tanggapan mengenai nota keberatan yang telah dibacakan oleh pengacara dari terdakwa?” Suara Pak Dadang kembali mengintimidasi serta mengacak-acak keberanianku yang sedikit demi sedikit terkumpul. Aku dan Firda terdiam beberapa saat sebelum berdiskusi dengan saling memberikan kode.
“Ada, Pak—maksud saya Hakim. Saya akan membacakannya jika dipersilakan.” ucap Firda sebelum menyuruhku untuk berdiri. Astaga anak ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi kali ini. Aku berdeham beberapa saat sebelum maju ke depan untuk membacakan tanggapan yang telah ditulis secepat kilat.
“Menanggapi nota keberatan dari pengacara pihak terdakwa, kami berpendapat bahwa surat dakwaan kami sudah memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 143 KUHAP mengenai syarat sahnya penyusunan surat dakwaan. Maka dari itu kami tetap pada dakwaan kami.” Aku berucap dengan mimik wajah tenang meskipun dalam diri ini rasanya ingin protes hingga menggelindingkan diri di depan. Tanganku meremas ujung jubah sembari memperhatikan perubahan mimik wajah Hakim yang sama sekali tidak bisa dibaca. Mereka nampak berunding setelah menjauhkan mikrofon sebelum melanjutkan ucapan.
“Berdasarkan hasil musyawarah majelis Hakim, sidang akan dilanjutkan 7 hari ke depan yaitu pada hari Senin tanggal 2 Maret 2009 dengan agenda sidang Pembacaan Putusan atas nota keberatan oleh Hakim. Untuk itu diingatkan kepada jaksa penuntut umum untuk hadir dan menghadapkan terdakwa pada sidang berikutnya, begitu pula dengan penasihat hukum. Pemberitahuan ini merupakan panggilan resmi dan tidak untuk dipanggil kembali.”
Sidang ditutup dengan ketukan palu sebanyak tiga kali sebelum hakim meninggalkan ruangan. Riuh tepuk tangan tak terelakkan, bahkan beberapa di antara kami bersorak hingga melepaskan jubah di tempat lantaran rasa senang dan bahagia yang tak terkira...
Sebab Pak Dadang memberikan kami semua nilai A pada simulasi sidang hari ini
DEPOK, 2009