SINOLEWAH

Ada yang bilang jika bumi selalu bersanding dengan matahari dalam keadaan yang baik-baik saja, menyinari hamparan tanah secukupnya──seperlunya. Bukan membuat gersang atau kepanasan hingga hampir terpanggang, memberikan efek kepala pusing hingga haus berlebihan. Sayangnya, tidak ada negosiasi antara ciptaan Tuhan di alam semesta ini sehingga mereka hanya melakukan tugas sesuai fungsinya tanpa memandang efek dari milyaran manusia di bumi.

Sebagaimana manusia yang hanya bisa berpasrah, aku menikmati guyuran terik matahari hingga keringat bercucuran mulai dari pelipis hingga sebagian baju warna cokelat susu yang kini melekat di badanku. Sudah dua hari lamanya aku mengenakan baju yang sama, kecuali saat olahraga atau senam pagi atau sebelum tidur. Bayangkan, berapa jenis aroma yang bercampur aduk pada tiap jengkal kain cokelat dengan badge tunas kelapa di tubuhku. Bahkan aku sendiri tidak bisa mendeskripsikannya meskipun tetap rajin mandi dua kali sehari selama di bumi perkemahan.

Ini adalah hari ketigaku di Sinolewah, salah satu bumi perkemahan di Sleman yang terkenal luas dan asri meskipun tidak sedikit kisah horor yang mulanya hanya didengar dari mulut ke mulut alias kakak kelas. Asumsi pertamaku, mereka ingin menakuti adik kelas mereka agar tidak mengikuti kemah atau menangis duluan sebelum melihat perwujudan hantu jadi-jadian yang diperankan oleh para kakak pembina. Entah hatiku yang memang sudah membatu atau tidak berperasaan, saat renungan malam yang memperdengarkan kisah kematian orang tua tidak membuatku menangis. Aku mengantuk, sungguh! Rasanya ingin berteriak di depan mereka: tolong kembalikan delapan jam alias waktu tidurku.

“Posisi berdirinya yang benar, Dek. Kamu kenapa bungkuk gitu, kaya orang tua aja.” “Ini kenapa badgenya gak lengkap? Kenapa gak ada nama regunya? Kamu, push up sepuluh kali!” “Kamu, yang paling tinggi di barisan belakang. Hafalin Dasa Darma tanpa buka buku saku pramuka!”

Kak Dion, salah satu kakak pembinaku tengah 'melucuti' anggota kelompok kami satu persatu saat tiba di pos baris berbaris. Entah sengaja mencari-cari kesalahan atau tidak, mereka selalu melontarkan kalimat yang seharusnya tidak diucapkan dengan dalih melatih mental. Cukup beruntung karena aku hanya menghafalkan Dasa Darma tanpa harus push up sebab tidak bisa membayangkan aroma bajuku akan seperti apa. Bisa-bisa di hari keempat alias tiba di rumah, Ibu akan menghakimiku dengan serentet pertanyaan seperti yang ia lakukan saat memberikan pertanyaan pada terdakwa, atau memilih untuk diam dan memberikanku air kembang untuk berendam selama dua jam seperti yang ia lakukan pada Mas Tama saat pulang dari kegiatan mendaki gunung.

Di antara beberapa kawanku yang tengah push up atau melakukan posisi sikap sempurna, aku melantangkan Dasa Darma Pramuka dengan hati-hati supaya bisa menyelamatkan ketiga temanku yang terlihat kelelahan. Di baris kedua, aku memberi jeda beberapa saat hingga salah satu kakak pembina perempuan mendatangiku dan menatap dari dekat.

“Kenapa kamu? Gak hafal Dasa Darma Pramuka? Kok bisa jadi wakil ketua?

Kepalaku menggeleng lemah, kemudian melanjutkan mengucap baris ketiga hingga sepuluh dengan vokal yang tak kalah keras. Baru pos dua sudah membuat tenagaku hampir habis, untungnya Radit membawa dua liter air botol untuk diminum bersama.

Lima menit, sepuluh menit akhirnya berlalu. Setelah mendapatkan nilai dan tanda tangan oleh sang kakak pembina, mereka memberikan kami makanan dalam kotak kardus serta minuman gelas plastik untuk dinikmati bersama di pos berikutnya, mengingat lokasi pos kedua cukup terjal dan tidak cocok untuk digunakan beristirahat. Aku tersenyum, dalam hati mengucap syukur karena pos yang dibilang 'paling menakutkan' ini bisa kami lalui meskipun harus menahan sabar dan mengeluarkan banyak tenaga. Masih banyak tempat yang harus kami lalui sebelum pukul tiga sore dan kembali ke perkemahan untuk mandi dan mengikuti kegiatan selanjutnya.

SLEMAN, 2002