Sang surya selalu menunjukkan kemegahannya dengan menyinari tiap-tiap jengkal bumi khatulistiwa, tanpa pandang bulu maupun waktu. Ia hanya menjalankan apa yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta, pemegang tertinggi kuasa di alam semesta.
Betapa Maha Agungnya Ia yang bisa mengubah dan melakukan apapun dalam sekejap saja, bahkan kecepatan cahaya dan kedipan mata tidak sanggup menandinginya.
Jika Tuhan memang seagung itu, mengapa garis takdir berisi penderitaan ini harus kuterima?
Rasa marah, kecewa, dan sedih berpadu dan menyelimuti perasaanku saat ini. Emosi begitu mendominasi, akal sehat serta kepala dingin yang biasa kuperlihatkan saat berada di meja hijau seolah lenyap ditelan bumi—atau mungkin dimatikan fungsinya untuk sementara waktu. Agaknya kali ini merupakan pemakluman lantaran kesehatan fisikku yang belum begitu stabil, setelah mengalami koma hampir satu bulan lamanya.
Kecelakaan di hari (yang seharusnya) bahagia kami merenggut segalanya, termasuk eksistensinya di muka bumi ini.
Perih dan ngilu yang menggelayuti kepala beserta sebagian tubuh lain rasanya tidak ada apa-apanya dibanding dengan kepergiannya. Sesak pada dada mulai tidak terkendali, netra memerah lantaran air mata yang terus mengalir tanpa suara isak tangis. Hanya ada degup jantung yang bekerja dua kali lipat beserta amarah yang kian membuncah. Tidak ada yang bisa kulakukan dengan kondisi seperti ini selain mengikhlaskan kepulangannya ke surga.
Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang mengambilnya.
Haruskah aku mengikhlaskan kepergiannya? Jika ia yang kuanggap rumah telah tiada, kemana lagi aku harus berpulang?
Yogyakarta, 2018