TANYA DAN GIAN

Selama dua belas tahun menghirup udara di bumi, baru pertama kali aku merasakan gaduhnya pagi selain dengan teriakan suara lengking Tanya yang selalu menanyakan letak barang atau merengek meminta sesuatu. Ibu bukanlah sosok wanita yang suka memerintah dengan suara tinggi atau meneriaki anaknya seperti yang dilakukan para Ibu kebanyakan, beliau selalu mengasihi kami tanpa meninggalkan rasa tegas yang membuatku selalu patuh dan sungkan pada Ibu.

Sudah setahun lebih rumah kami ramai dengan suara tangisan bayi atau celotehan Tanya yang seolah tak pernah berhenti dua puluh empat jam ibarat radio rusak. Kehadiran adik perempuanku yang kedua—Giandra Mentari Danumaya—atau yang sering kupanggil dengan Gian atau Dek Tari (jujur, aku masih labil untuk menentukan panggilan) membuat suasana rumah semakin hangat usai kepergian Bapak yang sedang dinas ke luar kota. Jika membicarakan Mas Tama, ada atau tidaknya dia tidak memengaruhi ramai atau tidaknya rumah sebab dirinya larut dengan buku-buku atau manga yang sering dibeli di toko awul-awul tiap akhir pekan.

Sudah lama sekali aku ingin menggendong Gian yang sudah mulai bisa berjalan. Aku memandangi wajah bulat dengan matanya yang cerah, senyum dengan gigi yang baru tumbuh beberapa biji, serta tangannya yang mungil, lebih kecil dari tangan Tanya yang sering kuperhatikan saat menggenggam pensil warna dan menyoretkannya pada kertas buram. Dengan hati-hati aku membopong tubuh mungilnya, kedua tanganku memegang tubuh bgaian bawah serta bahu dengan hati-hati. Bagai bunga sakura di musim semi, senyum ini kian merekah kala memandangi wajahnya yang lucu dan cantik. Ia mewarisi mata bulat Ibu dan rambut kecokelatan dari Bapak, berbeda dengn Tanya yang memiliki bentuk wajah berbeda dari Bapak maupun Ibu. Kebahagiaanku bertambah dua kali lipat ketika tangannya menarik ujung baju dengan sapaan pertama kali yang membuat hatiku sangat gembira, hingga jantung ini hampir melompat dan jatuh dari tempatnya.

“Mas .. Mas Ndu!”