Tentang Mimpi dan Ekspektasi

Masih lekat dalam ingatanku akan mimpi-mimpi yang kita susun dalam sebuah agenda kecil. Angan-angan tentang masa depan yang akan dilakoni bersama hingga rambut beruban, pandangan tak lagi sejelas dahulu, kerut yang menghiasi bagian wajah, hingga sifat yang kembali seperti anak-anak. Seorang pemimpi yang mengharap bahagia dengan merajut asa bersama orang yang dicinta, namun kandas bahkan sebelum kami memulai babak baru dalam kehidupan.

Aku masih berharap bangun dari mimpiku dan kembali ke kenyataan, seolah selama ini aku tertidur panjang sehingga tidak dapat bertemu dengannya. Kembali ke realita dan melanjutkan hidup layaknya manusia biasa yang mendamba hidup sederhana dan sukacita. Namun kenyataan berkata lain, justru ia yang tertidur. Selamanya.

Definisi kalah sebelum berperang. Bahkan sebelum mengikat janji suci dan mengarungi bahtera rumah tangga, aku sudah dipisahkan olehnya yang kini berpulang pada Sang Pencipta. Kandas sudah rancang rencana yang kami susun bersama, yang kini hanya menjadi kenangan semata. Terkikis oleh waktu yang terus menggilas dan mendorongku agar tetap terus berjalan, menghadapi kenyataan yang ada.

Nyatanya, kamu yang pergi terlebih dahulu. Tanpa pamit atau firasat, namun ada satu kata yang masih aku ingat saat ini hingga meninggalkan penyesalan terdalam.

Kamu melemparkan sebuah candaan yang menyiratkan kata pamit. Aku tidak pernah menganggapnya serius, hingga aku tersadar kamu benar-benar pergi meninggalkanku.

Pada akhirnya, mimpi dan ekspektasi tidak pernah berjalan sesuai apa yang dikehendaki manusia. Aku yang masih bergelayut dengan sesal dan pilu masih berusaha mengikhlaskan kepergianmu dan kembali melanjutkan hidup dengan terseok-seok. Tidak ada yang tahu akan kenestapaan yang melanda, dibalik gurat senyum yang selalu kutunjukkan bahwa aku sudah baik-baik saja.

Maaf, kamu telah masuk dalam perangkap sandiwaraku. Aku belum baik-baik saja, hingga detik ini.

Jakarta, 2019