Ruangan kelas nampak lebih sunyi dibanding biasanya meskipun diisi oleh tiga puluh lima mahasiswa yang sedang bercokol dengan pikirannya masing-masing. Bagaimana tidak? Mata kuliah Hukum Administrasi Negara yang dikenal memiliki banyak hafalan dan penalaran dibanding mata kuliah yang sudah kami geluti sampai tiga semester. Bahkan Hilman, ketua kelas yang terkenal memiliki nilai tertinggi pada tiap mata kuliah masih terlihat terpaku dengan lima soal pada selembar kertas yang diagihkan oleh Pak Budiono, dosen mata kuliah HAN (Hukum Administrasi Negara) yang terkenal lebih sering memberikan diskusi dibanding materi. Menurut beliau, ilmu berupa materi tertulis bisa didapatkan dimanapun, mulai dari buku perpustakaan hingga internet dengan sumber yang kredibel. Namun sebagai mahasiswa Ilmu Hukum, kita harus dilatih untuk berdiskusi dan memecahkan sebuah masalah dalam sebuah kasus dibanding menghafal sederetan pasal—yang mana hal itu menjadi sebuah stereotipe jika: jurusan hukum banyak hafalannya, pusing.
Padahal kau saja yang malas belajar. Di mana-mana, semua jurusan pasti ada hafalannya!
Aku masih berusaha memecahkan soal nomor dua tentag deviasi perbuatan pemerintah yang dimulai dari pelanggaran hukum, detournement de pouvoir, daad van willekiur, sampai dengan sanksi administratif serta kumulatif yang dicontohkan pada sebuah kasus. Bagaimana aku harus menjabarkan enam puluh persen hafalanku di dalam otak untuk menjelaskan ini semua? Belum lagi dengan istilah bahasa Latin yang tidak boleh salah sehurufpun atau satu nomor akan salah semua.
“Tiga puluh menit lagi. Kala sudah, silakan letakkan lembar jawaban di atas meja saya!”
Ingin rasanya aku melontarkan umpatan maupun sumpah serapah yang tidak mungkin dikeluarkan saat ini. Dua nomor saja belum dikerjakan, waktunya sudah mau habis? Bagaimana waktu bisa berlalu secepat ini? Atau kami saja yang sedari tadi buang-buang waktu dengan menatap pada nomor tertentu saja? Padahal jika sulit, aku bisa melompatinya dengan mengerjakan soal nomor empat yang meminta penjabaran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), sebab bagian itu masuk dalam hafalanku semalam.
Jika aku sedang berada di layar kaca televisi, animasi berupa lampu bohlam benderang akan muncul seketika di atas kepala beserta senyum sumringah. Aku segera menuliskan jawaban pada soal nomor empat dalam waktu singkat, mengingat waktu yang kami miliki sudah hampir habis.
“Pak, nggak ada perpanjangan waktu?”
Galilea, salah satu siswa penerima beasiswa yang memiliki indeks prestasi tertinggi ketiga setelah Hilman dan diriku mengacungkan tangan disaat kami sedang menumpahkan seluruh fokus pada lembar jawaban. Sontak seluruh pandangan—tiga puluh lima raut wajah termasuk Pak Budiono tertuju padanya tanpa ekspresi yang bisa dideskripsikan.
“Ya sudah, sepuluh menit lagi. Jangan lama-lama, ya. Habis ini saya ada pertemuan dekan.”
Pak Budiono menjawab tanpa menoleh ke arah Galilea dan memilih untuk berkutat dengan buku HAN miliknya yang nampak usang termakan oleh waktu dan rayap pada bagian ujung sampul. Sedangkan diriku kembali berkutat pada soal nomor dua setelah empat nomor berhasil diselesaikan dengan cepat.
Kini aku menggunakan jurus the power of kepepet dan menuangkan seluruh isi pikiranku ke dalam selembar kertas HVS yang mulai nampak lusuh oleh tinta berserta cairan pengoreksi (Tipe-X) pada lembar bagian belakang, sehingga kadang menimbulkan aroma yang kuat dan seakan berhasil membiusku. Katanya, itu sejenis narkoba murah.
Empat puluh menit berlalu. Seluruh mahasiswa mengumpulkan lembar jawaban termasuk diriku yang sudah pasrah dengan keadaan. Aku hanya berharap semoga nilaiku tidak turun, atau semisal stuck juga tidak masalah. Aku hanya tidak ingin beasiswaku dicabut hanya karena satu mata kuliah saja.
Semoga Tuhan mendengarkan doa hamba sahaya yang sudah bersusah payah dan berjuang untuk ujian semester hari ini.
DEPOK, 2008