ULANG TAHUN IBU

Bagi sebagian orang, merayakan ulang tahun merupakan peringatan sebuah momen dimana kita menghitung hari, bulan, hingga tahun secara mundur hingga tiba di waktu pertama kali kita meraup udara di dunia. Tangis yang memekakan telinga hingga menimbulkan cemas bercampur bahagia itu akan selalu dikenang sebagai kisah klasik yang diceritakan secara turun temurun hingga saat dewasa nanti: Kita akan turut menceritakan hal serupa kepada anak hingga cucu kita.

Aku masih ingat momentum kelahiranku bersamaan dengan bencana yang membuat nyawa-nyawa tak berdosa harus dikorbankan. Tanya yang lahir ketika Ibu sedang disibukkan dengan kasus hingga harus belajar bahasa Jerman dan Perancis, hingga kelahiran Mentari yang bisa dikatakan sedikit terlambat untuk ukuran wanita empat puluh tahun ke atas pada saat itu. Namun pernahkah kalian terlintas bagaimana orang yang melahirkan kita ke dunia ini lahir dengan kenangannya sendiri?

Ibu merupakan anak keempat dari enam bersaudara. Semuanya mengenyam pendidikan hingga kuliah terkecuali anak kedua yang dipaksa untuk mengalah dan hanya bersekolah hingga jenjang sekolah dasar saja. Pada saat itu, Ibu lahir di masa paceklik di mana beras serta bahan pangan lainnya sulit hingga harganya melambung tinggi. Jangankan susu formula, dulu Ibu hanya disusui dengan air tajin yang diberi gula, beras yang dibuat bubur dan dicampur dengan pisang, serta menggunakan perlak sebagai alas tidur hingga umur dua tahun. Boro-boro popok, celana dalam saja hanya memiliki sepuluh setel yang diwariskan dari kakak kedua dan ketiganya. Sesulit itu masa kecil Ibu, hingga perlahan ekonomi keluarga Ibu berangsur pulih dan mampu melanjutkan sekolahnya sampai sekolah menengah atas.

Ketika menduduki bangku kuliah, Ibu terkenal rajin dan ulet hingga lulus dengan predikat cumlaude. Beasiswa berdatangan dan Ibu meneruskan pendidikannya ke jenjang magister demi keperluan pekerjaannya sebagai asisten jaksa saat itu. Ibu merupakan salah satu anak yang berhasil jadi orang (kalau kata Mbak Kakung) dan banyak membantu saudara serta adiknya untuk berkuliah.

Aku mendengarkan kisah itu dari telepon sambil menahan isak tangis, air mataku mendahului dengan lancangnya dan membuat pipi serta leherku basah. Dalam keadaan seperti itu, aku tetap menanggapi alkisah ibu dengan nada terbata-bata serta suara serak yang diakibatkan oleh ingus (yang datang tanpa permisi). Kisah itu semakin memompa semangatku yang masih diterjang oleh skripsi bab dua.

Ibu saja bisa melakukannya, kenapa aku tidak bisa?

Di balik watak serta raut wajahnya yang menampilkan kesan galak, beliau adalah sosok yang baik hati dan terbuka dengan anak-anak. Tidak ada di antara kami yang tidak nyaman bercerita apapun kepada Ibu termasuk hal percintaan. Suara hangat di ujung sana kembali membuatku menangis tanpa suara ketika beliau mengucapkan doa serta harapan padaku di hari ulang tahunnya. Katanya, beliau baru saja memotong tumpeng di kantor dan mengucapkan doa satu persatu pada anak-anak tercintanya.

Harusnya yang berdoa itu aku, Bu. Aku yang berdoa buat Ibu.

Seketika aku dirundung rasa bersalah karena tidak menjadi orang pertama yang mengucap ulang tahun serta mendoakan kesehatan beliau. Aku meremas ujung kaus dengan napas yang masih tersengal lantaran rasa haru yang tak tertahankan. Doa dan kasih sayang Ibu begitu tulus. Tanpa batas, dan tak terbatas.

“Bu, sugeng tanggap warsa, nggih. Mas Lindu janji bakal selesaikan skripsi tahun depan biar bisa lulus. Semoga Ibu selalu sehat dan dimudahkan dalam setiap urusannya. Lindu sayang sama Ibu, selalu...”

DEPOK, 2010