Dersik angin kembali bersanding dengan hangatnya mentari yang mulai menumpahkan sinarnya ke bumi pertiwi. Hawa panas mulai tercipta hingga menimbulkan peluh yang membasahi dahi hingga lipatan baju, namun hal itu tidak melunturkan senyum serta semangat barisan anak-anak umur tujuh hingga delapan belas tahun yang kini menapakkan kakinya di sebuah lapangan luas. Seluruh siswa dari berbagai tingkat dan sekolah berkumpul di Lapangan Upacara Balaikota kota Yogyakarta.
Ini adalah kali pertamanya aku mengenakan seragam merah putih dengan dasi yang menggantung di leher, di tempat yang berbeda dari biasanya. Setiap tanggal tujuh belas bulan Agustus atau hari Senin, biasanya kami berkumpul di lapangan sekolah maupun kecamatan untuk melaksanakan upacara bendera atau peringatan Hari Kemerdekaan. Ornamen dengan warna merah putih menghampar hampir di sepanjang jalan, mulai dari bendera plastik atau kain, hingga gapura yang dicat dengan warna serupa.
“Duh, panas.. Aku arep semaput rasane.”
Ucapan yang menyiratkan sebagai keluhan itu terdengar dari barisan kelima disaat kami tengah memusatkan konsentrasi saat upacara. Pemimpin barisan yang merupakan beberapa siswa SMP berprestasi tingkat ibukota baru saja menyiapkan barisan sebelum pemimpin barisan memasuki lapangan upacara. Dalam hatiku ingin turut mengeluhkan hal yang sama, namun berada di barisan pertama sebab tinggi badan di atas rata-rata membuat tubuhku tak mampu berkutik. Kata Ibu Guru, sebagai sosok yang berada di barisan depan, kelak akan menjadi contoh adik-adik kelas lainnya yang berada di deretan belakang. Dalam hatiku, bukankah lebih mudah mengawasi adik kelas dari belakang? Justru merekalah dengan tinggi (di bawah) rata-rata akan terhalangi oleh postur tinggi para kakak kelasnya.
Aku yang sedari tadi bergelut dengan pikiran sendiri refleks mengangkat tangan dengan menyerong untuk memberi hormat kepada sang pemimpin upacara. Badge cokelat dengan tulisan OSIS (yang jahitannya kurang rapi) itu menempel di bagian dada kiri dengan pin bendera serta nama di bagian kanan. Jika kami menonton siaran langsung upacara bendera dari rumah, Ibu akan menunjuk mereka yang mengenakan seragam dinas dengan bangga dan menyebut nama Bapak yang kerap ditugaskan untuk menjaga keamanan selama upacara. Atau lebih buruknya lagi, ia akan mengucap dengan penuh harap padaku atau Mas Tama agar suatu saat bisa menjadi pemimpin upacara di peringatan Hari Kemerdekaan.
Kini aku berada di tempat yang dimaksud oleh Ibu sebagai peserta upacara. Beberapa kamera video mengarah ke seluruh penjuru lapangan upacara yang berasal dari stasiun televisi swasta maupun nasional. Entah nantinya Ibu akan membandingkanku dengan si pemimpin barisan tersebut atau tidak, yang jelas aku sudah memenuhi kewajibanku untuk mengikuti upacara. Tidak perlu mengeluh atau membandingkan, toh semuanya sama saja. Semua orang yang berdiri di sini dengan tubuh tegap menghadap ke arah tiang bendera mendedikasikan diri untuk memperingati hari kemerdekaan serta mengenang jasa para pahlawan puluhan tahun lalu.
Kepada, Sang Saka Merah Putih. Hormat, grak!
Yogyakarta, 17 Agustus 1999