Saya tiba-tiba teringat dengan pembicaraan bersama Bapak saat tengah menikmati secangkir kopi bersama pisang godhog di teras rumah eyang kakung beberapa bulan lalu. Saat itu cuaca cukup deras, rinai mengguyur bumi Yogyakarta begitu derasnya hingga kami khawatir jika akan adanya air bah yang datang tanpa permisi seperti kejadian sepuluh tahun lalu. Menurut cerita dari Bapak, bunyi kentongan terdengar di mana-mana dengan ketukan berulang kali sebagai pertanda jika kondisi desa sedang tidak aman. Sebagai orang yang merasa memiliki ikatan batin dengan daerah tersebut, saya langsung menelepon Bapak dan Ibu untuk memastikan apakah daerah sekitar rumah aman atau tidak. Beruntung air tidak sampai wilayah rumah, namun tidak ada yang lebih mending sebab lebih baik tidak terjadi sama sekali. Musibah yang menimpa seseorang maupun sebuah wilayah tidak patut dijadikan sebuah kompetisi atau persaingan.
Ada sebuah kalimat yang merupakan filosofi Jawa yang terdengar asing di telinga. Kata Bapak, tidak heran jika di era modern seperti ini manusia semakin melupakan bahasa daerah dan memilih untuk mengikuti perkembangan arus globalisasi yang berkembang tiada henti, meskipun ujung-ujungnya beliau akan menggerutu; wong Jowo sing ora njawani.
“Urip iku urup, Le. Kita sebagai manusia harus hidup dengan baik dan berperilaku baik, maka berkat baik akan datang otomatis ke kita.”
Saya justru teringat akan hukum tabur tuai yang mana memiliki aturan tak tertulis: apa yang kamu lakukan, kelak kamu akan menunaikan hasilnya, entah itu baik maupun buruk. Rupanya dua kalimat itu memiliki kaitan sebagai salah satu falsafah atau pedoman hidup manusia dari zaman ke zaman.
Jika diartikan secara harfiah, urip iku urup memiliki makna hidup itu menyala. Ibarat cahaya api yang menerangi kegelapan, sebagai manusia yang dikaruniai akal dan budi pekerti serta struktur tubuh yang sempurna dibanding makhluk ciptaan Tuhan lain, baiknya kita memberikan manfaat sekecil apapun bagi orang-orang sekitar. Bara api yang berkobar di tengah gulita bukan berarti ia kelak akan memusnahkan atau membungihanguskan sesiapa di sekitarnya, namun cahaya yang terpancar dari bara api tersebut sebagai penerang, penunjuk jalan ketika kita tengah tersesat di kegelapan.
Saya kembali merenungkan kalimat tersebut dengan segala pergumulan pikiran yang berkumpul di benak. Dengan fase hidup serta profesi yang saya emban saat ini, sudahkah saya memberikan manfaat bagi orang-orang di sekitar? Sudahkah saya menjadi penerang di tengah gelapnya orang-orang yang membutuhkan pertolongan? Sudahkah kalian melakukan satu kebaikan yang bermanfaat bagi orang sekitar di hari ini?
Jakarta, 2022