Pukul setengah dua siang. Matahari sedang ganas-ganasnya hingga hampir membakar kulit, seakan benda langit maha besar itu tengah meluapkan kemarahannya pada jagat semesta yang semakin hari semakin sesak oleh entitas manusia. Tidak ada yang spesial di hari ini selain harus mengerjakan tugas Geografi dari Pak Bimo, dimana para siswa diwajibkan untuk mencari proses revolusi bumi yang cukup menyulitkan sebab materi itu belum ada di perpustakaan umum. Mungkin ada, tetapi buku itu kosong (stoknya tidak ada) dan sedang dipinjam oleh rombongan belajar mahasiswa UGM yang membutuhkan materi itu untuk mengerjakan tugas. Jika tahu akan seperti itu, aku akan menyimpan satu buku diam-diam di sebuah tempat rahasia agar bisa kugunakan untuk mengerjakan tugas.
Predeksi dan asumsi tak sesuai realita, lantas Pak Bimo menyuruh anak-anak untuk mencari materi tersebut di warung internet. Katanya kita bisa menemukan apa saja yang diinginkan melalui mesin pencarian. Keingintahuanku semakin tergugah, mengingat ini kali pertamanya aku mengetahui adanya warung internet di dekat sekolah. Bersama Radit dan Bayu, kami berdua pergi menuju salah satu warung internet (usai mendapatkan info warnet termurah dari Mas Dion) untuk mengerjakan tugas.
“Oh, ngene to seng jenenge warnet. Apa bisa nyari kayak gitu dari komputer?”
“Yo iso wae, Dit. Mosok koe gak percoyo karo Mas Dion?”
Tiga orang berseragam abu-abu dengan wajah ingin tahu dan bingung yang berpadu menjadi satu itu berjalan memasuki sebuah rumah bercat putih dengan pintu terbuka di bagian depan menampilkan papan sederhana bertuliskan Warnet 24/7. Kata orang-orang, tempat ini buka full 24 jam dan setiap hari, mungkin itulah makna 24 sebagai jumlah jam dalam sehari dan angka 7 sebagai jumlah hari dalam tiap minggunya. Aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya sang pengelola warnet yang terus berjaga tanpa jeda, belum dengan aliran listrik yang digunakan. Bisa dipastikan tagihannya akan membengkak setiap bulan dan rawan anjlok.
Keriuhan yang didominasi oleh tawa nan cekikik para remaja berseragam abu-abu itu saling bersahutan dengan lagu Dear God yang mengalun dari speaker berukuran besar. Kami bertiga memilih bilik nomor dua yang memiliki ukuran luas dengan dua komputer dalam satu bilik.
“Eh, sopo sing iso nganggo komputer? Aku sering lihat Mas Tama pake, tapi saiki wes lali. Masku yo saiki wes kuliah neng luar kota.”
Aku, Radit, dan Bayu saling melempar pandang. Mungkin kedua temanku itu mengira akulah yang paling pandai, padahal sebetulnya sama saja. Dengan sigap Bayu mengambil posisi dudukku dan berada di tengah, menekan tombol melalui mouse saat layar menampilkan gambar lumba-lumba serta penghitung waktu.
“Ini tuh langsung klik aja, masukin namanya di sini.” ucap Bayu begitu kalem dan bergegas untuk login. Layar menampilkan halaman mesin pencarian yang bertuliskan Yahoo, aku mengambil inisiatif untuk membuka buku Geografi dan membacakan tugas untuk dicari, sementara Radit membeli minuman Okky Jelly Drink untuk pengganjal perut selama mengerjakan tugas.
Setelah mempelajari beberapa trik dari Bayu, aku mengajukan diri untuk gantian membantu dan mencari informasi di mesin pencarian. Kami mencatat beberapa potongan informasi pada artikel, sementara sebagian akan di print untuk dijadikan makalah. Baru saja aku menekan tombol save, suara gaduh kembali mengusik konsentrasiku. Aku beranjak berdiri dan mengntip dari balik bilik, mencari sumber suara yang membuat fokusku buyar. Tidak ada yang mencurigakan selain sepasang muda-mudi beseragam putih abu-abu (tidak mungkin dari Kolese De Britto) yang rupanya tengah bercumbu di bilik sebelah.
“Asu! Ono seng ambung-ambungan!”
BRUK! Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku hingga tubuhku jatuh saat kaki merasa kesemutan. Bayu dan Radit menjadi korban dimana tubuhku limbung hingga mengenai mereka.
“Ndeso koe, Ndu. Neng warnet ki wes biasa nggo pacaran. Paling yo bar nonton bokep kui.” Radit berbisik hingga membuatku memukul mulutnya yang berbicara menggebu-gebu.
“Yo koe kui seng tukang pacaran neng warnet.” selorohku tak mau kalah.
“Pacaran piye su, sekolahane dewe isine batangan kabeh. Hahahaha, wes ayo ngeprint tugas!” Radit berkilah dan membantuku untuk berdiri tatkala kaki sebelah kiri masih merasa kesemutan. Dasar aku, lima belas tahun sudah hobi kesemutan. Seperti nenek-nenek saja!
Setelah membayar untuk sewa internet dan print, kami pulang ke rumah masing-masing. Peristiwa barusan tidak membuatku kapok, justru aku ingin mencari lebih banyak lagi melalui benda ajaib itu untuk belajar hal-hal yang baru. Semoga saja Ibu memberikanku uang saku lebih atau aku harus menabung tiga hari untuk sewa internet selama satu jam.
YOGYAKARTA, 2003