Di masa kecil, ada beberapa cita-cita yang kuimpikan hingga berganti beberapa kali. Dokter, guru, wartawan, hingga anggota TNI demi mengikuti jejak Bapak atas dasar keinginanku. Pada masa itu, cita-cita yang kusebutkan merupakan profesi yang 'bagus' dan sering diidamkan oleh sebagian anak-anak. Bagaimana tidak? Sederet profesi itu terdengar lebih elit dan berkelas. Bergaji tinggi, disegani oleh masyarakat luas, bahkan sampai anak maupun cucu kita akan lebih dikenal dengan nama plus profesi. Pak Dokter Tama, Bu Polisi Astuti. Aku hanya mencontohkan dua nama itu jika disandingkan dengan panggilan yang kerap digunakan di masyarakat. Tidak begitu buruk ... namun untuk apa?
Bukankah yang terpenting adalah ilmu yang didapat bisa menafkahi diri secara material dan batin, serta memberi manfaat bagi banyak orang?
Entah sejak kapan pergolakan pikiran itu muncul disaat aku menyimak sambutan dari rektor yang tengah menyampaikan sepatah dua kata serta memberi selamat bagi para wisudawan yang tengah memenuhi balairung. Hari ini adalah pembuktian hasil kerja kerasku selama lima tahun terakhir. Menimba ilmu di kota yang jauh dari tempat kelahiranku hingga harus beradaptasi dengan tempat yang memiliki kultur serta kebiasaan yang berbeda dibanding saat di Yogyakarta.
Sekilas aku memperhatikan deretan kursi yang digunakan untuk para pendamping wisudawan, mencari Bapak dan Ibu yang berada di urutan tengah. Sesuai dugaan, Ibu nampak serius menyimak sambutan sedangkan Bapak bercengkerama dengan salah seorang orang tua di sebelahnya dengan suara pelan. Mereka nampak berbahagia menyambut hari ini, mengenakan sandang terbaik serta riasan wajah yang dipoles sejak subuh. Ibu nampak seperti wisudawan S2 jika dilihat dari kejauhan karena dandanannya yang cukup mencolok, terlebih wajahnya yang begitu awet muda.
Acara demi acara berjalan dengan lancar hingga tiba saatnya pemindahan tali toga sebagai simbol kelulusan tiba. Aku masih bersantai hingga bisa bercengkerama dan berfoto ria dengan kamera milik Yanuar. Ada belasan potret yang nantinya aku tagih karena akan aku cuci cetak dan dimasukkan ke dalam foto album. Agak sayang foto berukuran besar itu tidak muat di dalam ponsel Blackberry yang saat itu masih memiliki tempat penyimpanan terbatas.
Hampir satu jam kami menunggu. Saat pengeras suara menyerukan nama 'Fakultas Hukum', kami langsung bergegas dan berdiri membentuk barisan yang sudah diatur sedemikian rupa. Langkah perlahan tercipta, tidak ada gurauan maupun tawa karena semua teman-teman termasuk diriku sedang dilanda gugup dan tegang. Satu persatu nama yang familiar di telinga beserta gelar Sarjana Hukum membuatku semakin gugup. Sudah siapkah aku menyandang gelar itu ... atau lebih tepatnya pantaskah?
“Lindu Aji Gasendra, Sarjana Hukum.”
Usai nama Kiara dipanggil, aku lekas menaiki panggung dan menjabat tangan rektor beserta dekan. Hatiku berdesir saat melihat posisi pita yang dipindah dari kiri ke kanan dengan tabung toga yang tanpa sadar kuterima dengan mata berkaca-kaca (yang berhasil ditahan). Beberapa kilat kamera dari berbagai sisi membuat diriku hampir hilang fokus, namun saat itu aku hanya mendengar ucapan selamat serta pesan dari Pak Kusnadi, sosok yang sempat kukenal. Beliau berpesan agar terus belajar dan memanfaatkan ilmu yang didapat untuk membantu orang. Aku hanya membalas dengan anggukan kepala beserta jawaban “Njih, Pak” guna mempersingkat waktu.
Aku bergegas menghampiri Bapak dan Ibu yang sudah menunggu, disusul dengan Tanya dan Tari yang baru saja datang dengan kebaya kasual khas anak muda. Ucapan selamat serta berbagai rencana sudah terlontar dari Ibu dan Bapak, mulai dari bantuan pekerjaan hingga tempat tinggal nanti. Aku tidak ingin ambil pusing dulu, aku ingin istirahat sejenak di rumah sebelum kembali ke dunia yang sesungguhnya. Bekerja, menghasilkan uang, dan membantu banyak orang dengan ilmu yang didapat.
DEPOK, 2011