Aku masih ingat dengan senandung lagi yang kerap diperdengarkan setidaknya seminggu dua kali sebelum pulang sekolah. Lagu Layang Layang dengan nada beserta lirik yang mudah diingat itu begitu merasuk hingga ke kalbu. Bahkan tanpa sadar sepulang sekolah aku kerap bersenandung tanpa sadar sembari menyusuri jalan setapak menuju rumah yang berjarak kurang lebih dua ratus meter. Pada saat itu Yogyakarta belum banyak gedung pencakar langit juga aspal halus yang mempermudah transportasi. Semuanya masih serba sederhana dan tradisional, begitu pula dengan salah satu mainan yang saat itu tengah marak, apa lagi kalau bukan layang-layang.
Potongan bambu tipis dibentuk menyerupai burung atau pesawat, dengan beberapa bagian ujung yang diikat dengan benang tipis. Aku memperhatikan bagaimana saat itu Bapak membuatkanku mainan layangan dengan saksama, kemudian melapisi bagian atas dengan kertas minyak yang biasa digunakan untuk sampul buku tulis atau pelajaran. Warna merah dan kuning rupanya menjadi perpaduan yang cukup bagus meskipun terlihat sederhana.
“Pak, ini bisa mabur 'ndak, ya?”
“Coba'o kamu ke Alun-Alun bareng Mas Tama naik sepeda, nanti minta Mas buat nerbangin layangan.”
Senyum yang tertangkap pada pria berusia empat puluh tahun itu membuatku semakin bersemangat untuk menghampiri Mas Tama yang tengah sibuk mengerjakan lembar LKS PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Ada rasa haru melihat Bapak yang rela menyisihkan waktunya di tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang petugas hukum yang selalu dituntut untuk sigap dua puluh empat jam dalam seminggu demi membuatkan sebuah mainan sederhana untukku.
Tiga puluh lima menit berlalu. Kayuhan sepeda onthel itu menepi di pinggiran alun-alun selatan dengan semak belukar yang kian meninggi. Beberapa anak-anak mulai menerbangkan mainan layangan mereka, terlihat begitu elok menjelajahi bentang biru cakrawala di atas sana. Aku yang telah diajari oleh kakak ketigaku alias Mas Tama selama perjalanan langsung mengambil gulungan benang yang melilit sebuah kaleng bekas susu. Sesaat aku menunggu datangnya semilir angin dari arah selatan sebelum berlari mengikuti pusaran angin dan menerbangkannya.
Tiga puluh sentimeter, satu meter, dua meter, hingga benda berbentuk pesawat kecil itu terbang membumbung tinggi di angkasa bersama deretan layangan lainnya. Senyum mengembang nampak pada gurat wajahku yang semula nampak lesu terkikis oleh terpaan angin dari arah berlawanan.
Setinggi apapun layang-layang berputar di angkasa, suatu saat ia akan tersangkut oleh benda yang lebih tinggi darinya. Atau mungki benang gilasan yang bisa menyayat permukaan kulit. Beristirahatlah, senja tiba bukan karena alasan. Segeralah pulang sebelum omelan Ibu semakin menjalar kemana-mana. ── Mas Tama
Yogyakarta, 1995