MENAHBISKAN

Layangan

Aku masih ingat dengan senandung lagi yang kerap diperdengarkan setidaknya seminggu dua kali sebelum pulang sekolah. Lagu Layang Layang dengan nada beserta lirik yang mudah diingat itu begitu merasuk hingga ke kalbu. Bahkan tanpa sadar sepulang sekolah aku kerap bersenandung tanpa sadar sembari menyusuri jalan setapak menuju rumah yang berjarak kurang lebih dua ratus meter. Pada saat itu Yogyakarta belum banyak gedung pencakar langit juga aspal halus yang mempermudah transportasi. Semuanya masih serba sederhana dan tradisional, begitu pula dengan salah satu mainan yang saat itu tengah marak, apa lagi kalau bukan layang-layang.

Potongan bambu tipis dibentuk menyerupai burung atau pesawat, dengan beberapa bagian ujung yang diikat dengan benang tipis. Aku memperhatikan bagaimana saat itu Bapak membuatkanku mainan layangan dengan saksama, kemudian melapisi bagian atas dengan kertas minyak yang biasa digunakan untuk sampul buku tulis atau pelajaran. Warna merah dan kuning rupanya menjadi perpaduan yang cukup bagus meskipun terlihat sederhana.

“Pak, ini bisa mabur 'ndak, ya?”

“Coba'o kamu ke Alun-Alun bareng Mas Tama naik sepeda, nanti minta Mas buat nerbangin layangan.”

Senyum yang tertangkap pada pria berusia empat puluh tahun itu membuatku semakin bersemangat untuk menghampiri Mas Tama yang tengah sibuk mengerjakan lembar LKS PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Ada rasa haru melihat Bapak yang rela menyisihkan waktunya di tengah-tengah kesibukannya sebagai seorang petugas hukum yang selalu dituntut untuk sigap dua puluh empat jam dalam seminggu demi membuatkan sebuah mainan sederhana untukku.

Tiga puluh lima menit berlalu. Kayuhan sepeda onthel itu menepi di pinggiran alun-alun selatan dengan semak belukar yang kian meninggi. Beberapa anak-anak mulai menerbangkan mainan layangan mereka, terlihat begitu elok menjelajahi bentang biru cakrawala di atas sana. Aku yang telah diajari oleh kakak ketigaku alias Mas Tama selama perjalanan langsung mengambil gulungan benang yang melilit sebuah kaleng bekas susu. Sesaat aku menunggu datangnya semilir angin dari arah selatan sebelum berlari mengikuti pusaran angin dan menerbangkannya.

Tiga puluh sentimeter, satu meter, dua meter, hingga benda berbentuk pesawat kecil itu terbang membumbung tinggi di angkasa bersama deretan layangan lainnya. Senyum mengembang nampak pada gurat wajahku yang semula nampak lesu terkikis oleh terpaan angin dari arah berlawanan.

Setinggi apapun layang-layang berputar di angkasa, suatu saat ia akan tersangkut oleh benda yang lebih tinggi darinya. Atau mungki benang gilasan yang bisa menyayat permukaan kulit. Beristirahatlah, senja tiba bukan karena alasan. Segeralah pulang sebelum omelan Ibu semakin menjalar kemana-mana. ── Mas Tama

Yogyakarta, 1995

Nrimo Ing Pandum

Sebagai seseorang yang lahir dan besar di Jawa, saya kerap mendengar istilah nrimo ing pandum yang memiliki makna menerima dalam pemberian. Mensyukuri dan menerima apa yang telah diberikan Sang pencipta pada kita.

Menurut saya, banyak yang menyalahartikan mengenai kalimat nrimo ing pandum ini sebagai sebuah kepasrahan, minimnya bahkan tanpa usaha dalam mengatasi masalah dan hanya menerima apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Bukannya manusia diciptakan sebagai makhluk paling sempurna, memiliki derajat yang paling tinggi dibanding makhluk lainnya (bahkan setan sekaligus, namun sebagian manusia justru takut akan kehadiran mereka), juga dianugerahi salah satu kelebihan yang dinamakan dengan akal.

Akal. Otak, jika ditanya penggambarannya secara fisik meskipun tidak bisa dilihat secara langsung (kau pikir kau akan berani membedah isi kepala seseorang secara harfiah?). Berpikir, sebuah kemampuan yang dimiliki manusia guna memecahkan suatu masalah, mencari jalan keluar perihal yang menghalangi tujuan.

Selama ini saya sudah cukup berusaha, bagaimana cara saya untuk lepas dari kenangan masa lalu yang mencekam. Berbagai cara saya lakukan mulai dari mendatangi psikolog, berdoa (dengan beberapa Tuhan, hingga akhirnya saya kembali pada Yesus), hingga menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Satu hal yang perlu diketahui, semakin kamu memaksa untuk mencari titik terang, kamu akan mengabaikan pesakitan-pesakitan yang seharusnya kamu rasakan, lalui, dan hadapi hingga semuanya menumpuk. Ada satu hari di mana saya merasakan sedih yang teramat sangat lantaran saya masih mengingat sosoknya hingga membuat saya tersedu-sedu usai persidangan. Seorang klien lantas memeluk saya dengan ucapan terima kasih karena turut terharu atas pembuktian saya jika ia tidak bersalah. Kesedihan saya disalahartikan sebagai rasa empati, namun saya hanya membiarkannya hingga derai air mata itu berhenti pada waktunya.

Menerima peristiwa kehilangan, kegagalan, dan lainnya sebagai akibat pasti dari hidup. Nrimo ing pandum, lalu saya akan memperjuangkan kembali apa yang masih bisa diperjuangkan, termasuk masa depan saya.

Jakarta, 2021

Kelahiran

Hening malam begitu mencekam, tidak ada suara jangkrik atau kungkung katak khas musim hujan. Akhir tahun—Desember—atau yang lebih sering disebut dengan deres-derese sumber alias hujan yang sedang deras-derasnya. Berlanjut dengan Januari dengan akronim hujan sehari-hari, Februari tanpa kepanjangan apa-apa, Maret—udane ngeret-ngeret, dan seterusnya. Aku sendiri masih tidak paham dari mana asal muasal akronim bulan masehi yang dijadikan sebagai penentu musim. Percaya tidak percaya, di bulan Desember hampir setiap hari rintik membasahi bumi atau setidaknya gerimis kecil yang acapkali membuat sakit kepala jika kau berusaha menerobosnya tanpa jas hujan. Apakah cocoklogi masih berlaku sampai menjadi salah satu penentu bahkan pedoman hidup? Apakah mereka yang hobi mencari kecocokan dan mengaitkan hal-hal remeh tidak percaya akan adanya Tuhan? Bahwasannya, garis takdir setiap manusia sudah ditentukan oleh Ia sang pencipta. Tidak ada kuasa kita sebagai manusia atau makhluk kerdil yang lemah untuk mengubah terlebih bernegoisasi (memangnya ini tawar-menawar barang?). Semuanya mengalir bak riak air sungai yang menyusuri dengan lambat dari hulu ke hilir sebelum berpulang ke laut. Berpadu dengan riuh ombak yang sama sekali tidak ramah dan siap menghantammu kapan saja.

Begitu pula sebagai manusia yang terlahir ke dunia, mereka tak mampu memilih orang tua seperti apa atau garis keturunan yang mana. Mereka harus bersyukur jika terlahir dari keluarga yang mereka inginkan dan hidup seperti apa yang dimau. Jika tidak? Struggling hampir seumur hidup, tak jarang menjadi pemberontak keluarga karena terkadang idealisme tidak berjalan seperti realita. Omong-omong, aku merupakan satu diantara berjuta bahkan mungkin satu per tujuh dari tujuh milyar orang di bumi yang wajib bersyukur. Aku bisa hidup seperti apa yang aku mau dan memiliki keluarga hangat dan suportif.

Namaku Lindu Aji Gasendra. Mulanya aku berpikir, aku akan disambut semesta dengan aroma tanah yang menyeruak dari sisa air hujan yang membasahi kota kelahiran. Namun prediksi hanya tinggal harapan belaka saja. Guncangan hebat meluluhlantakkan sebagian Yogyakarta, bangunan pencakar langit luruh dalam sekali buncang. Sukacita yang semula menyelimuti berubah menjadi teriakan mencekam yang membuatku tidak berhenti menangis. Ada apa sebenarnya?

Baru beberapa menit lalu aku merasakan segarnya oksigen di luar sana hingga membuatku menangis dan tak jarang menjerit. Sebuah hal lumrah sebab penyesuaian dalam kandungan—yang mana aku terbiasa dan bergantung dengan asupan yang Ibu makan serta oksigen yang mengalir ke dalam darah. Ajaib, seketika aku diam dan merasa tenang saat Ibu menggendongku usai dimandikan oleh salah seorang suster yang membantu proses kelahiran. Kebahagiaan itu hanya berlangsung sementara tatkala kami harus mengungsi ke gedung rumah sakit lain yang lebih aman. Puluhan pasang kaki berlarian dengan meneriakkan, “Lindu, lindu! Ayo mlayu!” yang mana aku tidak paham maksudnya.

Bencana 'kah? Atau kiamat sudah dekat?

Ada rasa syukur serta sesal ketika kelahiranku justru seakan menyongsong kejadian menakutkan yang menelan korban jiwa. Meskipun begitu, aku bahagia memiliki orang-orang baik yang merawatku dengan sepenuh hati, yang mana mereka memperkenalkan diri sebagai seorang 𝐤𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚.

─── Yogyakarta, 27 Desember 1988

Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta

Tentang Kenangan dan Melepaskan

Bahwasanya tiap orang yang datang dalam hidup kita nanti, suatu saat akan pergi meninggalkan kita. Entah puluhan tahun kemudian atau esok, tidak ada yang pernah tahu. Atau bukan sengaja meninggalkan, kesibukan yang membuat tali persaudaraan kian terkikis atau karena sudah tidak memiliki frekuensi yang sama. Begitu banyak alasan sampai kita sudah terbiasa akan datang dan perginya tiap entitas yang datang atau singgah di kehidupan kita.

Ada orang yang hadir untuk memberi kenangan, mengajarkan kita banyak hal dalam kehidupan. Dewasa dan tumbuh bersama, salah satunya ketika saya menemani dia hingga sisa hidupnya. Tidak melulu kenangan buruk, justru kenangan baik yang terkadang sulit membuat seseorang melepas ia yang dicinta. Namun di satu sisi, kenangan baik juga membuat kita bisa bertahan hingga detik ini.

Semua yang terjadi atau yang disebut sebagai garis takdir Tuhan memiliki makna sendiri. Kita juga memiliki keterbatasan dalam mengatur siapa yang orang yang hadir dan memasuki hidup kita. Hendak memilih atau menolak sosok yang dihadirkan beserta kenangan yang dibawa? Agaknya sulit dilakukan. Kenangan itu sudah jadi bagian yang menempel dan mengiringi langsung hidup kita.

Terkadang sulit bagi kita untuk menolak atau mengenyahkan hadirnya seseorang dalam hidup kita. Tapi kita selalu punya pilihan siapa yang layak untuk kita perjuangkan dan pertahankan.

Menjadi denial merupakan respon pertama yang saya lakukan ketika kehilangan ia saat itu. Saya selalu berharap jika semua ini adalah mimpi belaka, dan saya harus bangun dari mimpi itu untuk bisa bertemu dengannya lagi. Kenapa harus ada kehilangan? Kenapa kita harus melepaskan? Kenapa Tuhan menciptakan rasa sakit berkepanjangan? Banyak pertanyaan-pertanyaan yang ingin saya ketahui jawabannya setelah saya berhasil mengumpulkan kewarasan pada saat itu.

Sebelum berhasil melepaskan (jangan mengikhlaskan, karena sudah beda tahapan), pasti ada yang namanya kehilangan. Sebelum kehilangan itu terjadi, pasti ada rasa kepemilikan dalam diri. Jika saya boleh memberi contoh, saya akan menganalogikan dengan kehilangan mobil atau surat-surat berharga. Sesuatu yang saya raih dengan berbagai macam usaha, tiba-tiba raib. Hilang ditelan bumi begitu saja. Kemana perginya mobil saya? Kenapa bisa hilang, apa saya meninggalkan kunci? Hingga ada fase dimana saya kerap menyalahkan diri sendiri atas kehilangan atau kepergian mereka.

Kehilangan sosok kekasih membuat saya belajar bahwa hadir tiap manusia tak akan pernah selamanya dan setiap yang hilang pasti akan ada gantinya. Pemahaman atas fakta itu sedikit banyak memberikan reasuransi untuk hati—bahwa tak apa bersedih untuk sesuatu yang hilang hari ini, karena pasti akan ada penggantinya lagi. Atau ... mungkin tidak pernah ada gantinya jika saya terus lekat oleh kenangan baik yang ia bawa.

Usai kepergiannya, saya bertemu banyak wanita dalam hidup ini. Tidak jarang pertemuan itu berakhir dengan perpisahan serupa, kehilangan yang sama, fase-fase menyedihkan yang sama sebelum akhirnya harus kembali merelakan juga. Dan saya rasa, satu-satunya kenangan tentang dia yang pada akhirnya membuat saya berani untuk merelakan ialah perasaan sedih berkepanjangan karena kehilangan itu sendiri. Saya belajar bahwa setiap fase kehilangan itu patut dirasakan. Kemudian setelah rasanya cukup untuk bersedih atas semuanya, paham bahwa akan ada hari baik setelah badai adalah langkah kecil untuk menerima dan melepaskan sepenuhnya. Tapi sebelum saat itu tiba, memang ada baiknya setiap kesedihan atas kehilangan harus dirasakan saja.

Manusia akan selalu datang dan pergi di hidup ini. Tiap mereka akan selalu meninggalkan jejaknya pada akhir hari, sekecil apa pun bagian itu dalam hati. Dan tentu saja, sebagai seseorang yang menerima kehadiran, kita harus siap pula ditinggalkan.

Jakarta, di tengah malam yang masih larut akan kenangan bersamanya

Tentang Mimpi dan Ekspektasi

Masih lekat dalam ingatanku akan mimpi-mimpi yang kita susun dalam sebuah agenda kecil. Angan-angan tentang masa depan yang akan dilakoni bersama hingga rambut beruban, pandangan tak lagi sejelas dahulu, kerut yang menghiasi bagian wajah, hingga sifat yang kembali seperti anak-anak. Seorang pemimpi yang mengharap bahagia dengan merajut asa bersama orang yang dicinta, namun kandas bahkan sebelum kami memulai babak baru dalam kehidupan.

Aku masih berharap bangun dari mimpiku dan kembali ke kenyataan, seolah selama ini aku tertidur panjang sehingga tidak dapat bertemu dengannya. Kembali ke realita dan melanjutkan hidup layaknya manusia biasa yang mendamba hidup sederhana dan sukacita. Namun kenyataan berkata lain, justru ia yang tertidur. Selamanya.

Definisi kalah sebelum berperang. Bahkan sebelum mengikat janji suci dan mengarungi bahtera rumah tangga, aku sudah dipisahkan olehnya yang kini berpulang pada Sang Pencipta. Kandas sudah rancang rencana yang kami susun bersama, yang kini hanya menjadi kenangan semata. Terkikis oleh waktu yang terus menggilas dan mendorongku agar tetap terus berjalan, menghadapi kenyataan yang ada.

Nyatanya, kamu yang pergi terlebih dahulu. Tanpa pamit atau firasat, namun ada satu kata yang masih aku ingat saat ini hingga meninggalkan penyesalan terdalam.

Kamu melemparkan sebuah candaan yang menyiratkan kata pamit. Aku tidak pernah menganggapnya serius, hingga aku tersadar kamu benar-benar pergi meninggalkanku.

Pada akhirnya, mimpi dan ekspektasi tidak pernah berjalan sesuai apa yang dikehendaki manusia. Aku yang masih bergelayut dengan sesal dan pilu masih berusaha mengikhlaskan kepergianmu dan kembali melanjutkan hidup dengan terseok-seok. Tidak ada yang tahu akan kenestapaan yang melanda, dibalik gurat senyum yang selalu kutunjukkan bahwa aku sudah baik-baik saja.

Maaf, kamu telah masuk dalam perangkap sandiwaraku. Aku belum baik-baik saja, hingga detik ini.

Jakarta, 2019

Bergelayut Sesal

Ada pepatah yang mengatakan nasi telah menjadi bubur dengan maksud jika semuanya telah sia-sia dan tidak bisa diperbaiki lagi. Namun jika ditelusuri, bukannya beras sengaja dimasak dengan air berlebih agar menjadi lunak (dengan kata lain menjadi bubur)? Atau pepatah itu dibuat tanpa penelusuran atau riset atas proses pembuatan bubur? Namun ketika ungkapan itu telah mengakar di kehidupan masyarakat, orang-orang akan langsung menggunakannya begitu saja sebab terdengar lebih menaik dan catchy tanpa menelusuri asal-usulnya.

Ada satu hal yang berkaitan dengan makna pepatah tersebut yaitu penyesalan tiada ujung yang terus menggerogoti benak. Pengandaian yang terus terlontar di otak dan membayangkan jika A terjadi, maka akan B, dan seterusnya. Begitu terus sampai matahari terbit dari barat (tolong, ini pengandaian yang berlebihan, dan amit-amit). Sesal selalu menggelayuti hingga acapkali menyakiti diri sendiri dengan hal dan asumsi di benak yang tidak diperlukan. Saking masokisnya, meskipun aku sadar sesal tidak mampu mengubah apapun, daya dan upayaku saat itu sangat terbatas dan hanya bisa berpasrah saja

Sekali saja, bolehkah aku merasa lemah dan menyalahkan diri sendiri sebelum bangkit lalu kembali ke kenyataan?

Yogyakarta, 2018

Bergelayut Sesal

Aroma teh melati dan bolu pisang menyapa indera penciuman, kenop kompor yang diputar terdengar bunyi berkali-kali. Bukan hal yang disengaja untuk memecah keheningan atau mencari perhatian semata, namun kompor biru itu sudah mulai menurun fungsinya sejak dua bulan lalu. Aku belum sempat memperbaikinya lantaran kesibukan mengurus pekerjaan beserta persiapan pernikahan yang akan dilaksanakan lusa. Belum dengan bimbingan pra nikah yang harus kuikuti, setidaknya seminggu sekali.

“Bawa ke tukang service saja. Atau kalau sudah 'ndak bisa dipakai ya 'ndak apa-apa. Kita beli yang baru lagi.”

Raga beranjak dari kursi rotan dengan belasan berkas persidangan di atas meja yang belum diperiksa, bergegas menuju dapur untuk membantunya yang kini tengah berkutat dengan kompor macet.

“Kalau masih bisa diperbaiki, ya diperbaiki aja. Uangnya buat yang lain.”

Sang dara berucap dengan esem manis yang tak pernah jemu untuk kupandang. Bahkan dalam keadaan yang menjengkelkan seperti sekarang, ia masih tersenyum menatapku. Rasa lelah nan penat lantaran pekerjaan barusan terhapus begitu saja, membuatku makin bersemangat untuk membantunya.

“Ini sih Mas 'ndak bisa. Dibawa ke tukang service aja ya, Dek.”

Anggukan kepala sebagai respon diberikan. Sekali lagi aku memerhatikan gerak tangan yang lembut namun tegas ketika merapikan barang-barang di dapur.

Kami berdua menikmati kudapan sore sembari menyaksikan acara televisi yang terbilang menjemukan. Sesekali aku mengalihkan atensi pada tumpukan berkas sidang yang belum sempat terjamah.

“Kamu tuh sibuk terus, padahal lagi sama aku.”

Ia mencibir kesal, melemparkan picingan mata yang disusul dengan gelak tawa padaku. Gemas, aku mengusak rambut panjangnya dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku.

“Maaf, Dek. Lagi kejar setoran, hehehe. Ini sudah selesai kok.”

Aku memilih untuk mengalah, menomorduakan pekerjaan yang biasanya selalu kuagung-agungkan. Namun hal itu wajar, karena aku cukup jarang memiliki quality time dengan kekasihku.

“Nah, gitu dong. Nanti kalau aku pergi aja, kamu nangis, Mas.”

Ucapan dengan nada jahil itu menohok hingga ke ulu hati. Entah rasanya terdengar sakit dan membuatku mulai merasa panik dan ketakutan. Aku menghela napas panjang, kembali mengeratkan pelukam pada bahu wanitaku, menatap dwinetra kecokelatan yang tengah terpusat pada layar televisi. Tatapan teduh yang selalu berbinar, membuatku merasa tenang ketika bersamanya.

“Jangan pergi, ya. Janji.”

“Iya, aku janji. Aku akan selalu sama kamu.”

Hingga kelak maut yang akan memisahkan kita.

Aku sama sekali tidak menyadari bahwa sore itu adalah kebersamaanku yang terakhir dengannya. Ucapan dengan nada candaan yang dilontarkan seolah menyiratkan kepergiannya yang sebentar lagi akan kuhadapi.

Akankah ada penghapusan dosa bagi hamba hina yang menyia-nyiakan waktu kebersamaan bersama sosok yang dicinta? Ataukah ada kesempatan untuk menebus kesalahan dengan dipertemukan lagi dalam kondisi yang berbeda?

Yogyakarta, 2018

Bergelayut Sesal

Aroma teh melati dan bolu pisang menyapa indera penciuman, kenop kompor yang diputar terdengar bunyi berkali-kali. Bukan hal yang disengaja untuk memecah keheningan atau mencari perhatian semata, namun kompor biru itu sudah mulai menurun fungsinya sejak dua bulan lalu. Aku belum sempat memperbaikinya lantaran kesibukan mengurus pekerjaan beserta persiapan pernikahan yang akan dilaksanakan lusa. Belum dengan bimbingan pra nikah yang harus kuikuti, setidaknya seminggu sekali.

“Bawa ke tukang service saja. Atau kalau sudah 'ndak bisa dipakai ya 'ndak apa-apa. Kita beli yang baru lagi.”

Raga beranjak dari kursi rotan dengan belasan berkas persidangan di atas meja yang belum diperiksa, bergegas menuju dapur untuk membantunya yang kini tengah berkutat dengan kompor macet.

“Kalau masih bisa diperbaiki, ya diperbaiki aja. Uangnya buat yang lain.”

Sang dara berucap dengan esem manis yang tak pernah jemu untuk kupandang. Bahkan dalam keadaan yang menjengkelkan seperti sekarang, ia masih tersenyum menatapku. Rasa lelah nan penat lantaran pekerjaan barusan terhapus begitu saja, membuatku makin bersemangat untuk membantunya.

“Ini sih Mas 'ndak bisa. Dibawa ke tukang service aja ya, Dek.”

Anggukan kepala sebagai respon diberikan. Sekali lagi aku memerhatikan gerak tangan yang lembut namun tegas ketika merapikan barang-barang di dapur.

Kami berdua menikmati kudapan sore sembari menyaksikan acara televisi yang terbilang menjemukan. Sesekali aku mengalihkan atensi pada tumpukan berkas sidang yang belum sempat terjamah.

“Kamu tuh sibuk terus, padahal lagi sama aku.”

Ia mencibir kesal, melemparkan picingan mata yang disusul dengan gelak tawa padaku. Gemas, aku mengusak rambut panjangnya dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku.

“Maaf, Dek. Lagi kejar setoran, hehehe. Ini sudah selesai kok.”

Aku memilih untuk mengalah, menomorduakan pekerjaan yang biasanya selalu kuagung-agungkan. Namun hal itu wajar, karena aku cukup jarang memiliki quality time dengan kekasihku.

“Nah, gitu dong. Nanti kalau aku pergi aja, kamu nangis, Mas.”

Ucapan dengan nada jahil itu menohok hingga ke ulu hati. Entah rasanya terdengar sakit dan membuatku mulai merasa panik dan ketakutan. Aku menghela napas panjang, kembali mengeratkan pelukam pada bahu wanitaku, menatap dwinetra kecokelatan yang tengah terpusat pada layar televisi. Tatapan teduh yang selalu berbinar, membuatku merasa tenang ketika bersamanya.

“Jangan pergi, ya. Janji.”

“Iya, aku janji. Aku akan selalu sama kamu.”

Hingga kelak maut yang akan memisahkan kita.

Aku sama sekali tidak menyadari bahwa sore itu adalah kebersamaanku yang terakhir dengannya. Ucapan dengan nada candaan yang dilontarkan seolah menyiratkan kepergiannya yang sebentar lagi akan kuhadapi.

Akankah ada penghapusan dosa bagi hamba hina yang menyia-nyiakan waktu kebersamaan bersama sosok yang dicinta? Ataukah ada kesempatan untuk menebus kesalahan dengan dipertemukan lagi dalam kondisi yang berbeda?

Yogyakarta, 2018

Bergelayut Sesal

Aroma teh melati dan bolu pisang menyapa indera penciuman, kenop kompor yang diputar terdengar bunyi berkali-kali. Bukan hal yang disengaja untuk memecah keheningan atau mencari perhatian semata, namun kompor biru itu sudah mulai menurun fungsinya sejak dua bulan lalu. Aku belum sempat memperbaikinya lantaran kesibukan mengurus pekerjaan beserta persiapan pernikahan yang akan dilaksanakan lusa. Belum dengan bimbingan pra nikah yang harus kuikuti, setidaknya seminggu sekali.

“Bawa ke tukang service saja. Atau kalau sudah 'ndak bisa dipakai ya 'ndak apa-apa. Kita beli yang baru lagi.”

Raga beranjak dari kursi rotan dengan belasan berkas persidangan di atas meja yang belum diperiksa, bergegas menuju dapur untuk membantunya yang kini tengah berkutat dengan kompor macet.

“Kalau masih bisa diperbaiki, ya diperbaiki aja. Uangnya buat yang lain.”

Sang dara berucap dengan esem manis yang tak pernah jemu untuk kupandang. Bahkan dalam keadaan yang menjengkelkan seperti sekarang, ia masih tersenyum menatapku. Rasa lelah nan penat lantaran pekerjaan barusan terhapus begitu saja, membuatku makin bersemangat untuk membantunya.

“Ini sih Mas 'ndak bisa. Dibawa ke tukang service aja ya, Dek.”

Anggukan kepala sebagai respon diberikan. Sekali lagi aku memerhatikan gerak tangan yang lembut namun tegas ketika merapikan barang-barang di dapur.

Kami berdua menikmati kudapan sore sembari menyaksikan acara televisi yang terbilang menjemukan. Sesekali aku mengalihkan atensi pada tumpukan berkas sidang yang belum sempat terjamah.

“Kamu tuh sibuk terus, padahal lagi sama aku.”

Ia mencibir kesal, melemparkan picingan mata yang disusul dengan gelak tawa padaku. Gemas, aku mengusak rambut panjangnya dan merengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku.

“Maaf, Dek. Lagi kejar setoran, hehehe. Ini sudah selesai kok.”

Aku memilih untuk mengalah, menomorduakan pekerjaan yang biasanya selalu kuagung-agungkan. Namun hal itu wajar, karena aku cukup jarang memiliki quality time dengan kekasihku.

“Nah, gitu dong. Nanti kalau aku pergi aja, kamu nangis, Mas.”

Ucapan dengan nada jahil itu menohok hingga ke ulu hati. Entah rasanya terdengar sakit dan membuatku mulai merasa panik dan ketakutan. Aku menghela napas panjang, kembali mengeratkan pelukam pada bahu wanitaku, menatap dwinetra kecokelatan yang tengah terpusat pada layar televisi. Tatapan teduh yang selalu berbinar, membuatku merasa tenang ketika bersamanya.

“Jangan pergi, ya. Janji.”

“Iya, aku janji. Aku akan selalu sama kamu.”

Hingga kelak maut yang akan memisahkan kita.

Aku sama sekali tidak menyadari bahwa sore itu adalah kebersamaanku yang terakhir dengannya. Ucapan dengan nada candaan yang dilontarkan seolah menyiratkan kepergiannya yang sebentar lagi akan kuhadapi.

Akankah ada penghapusan dosa bagi hamba hina yang menyia-nyiakan waktu kebersamaan bersama sosok yang dicinta? Ataukah ada kesempatan untuk menebus kesalahan dengan dipertemukan lagi dalam kondisi yang berbeda?

Yogyakarta, 2018

Suratan Takdir

Sang surya selalu menunjukkan kemegahannya dengan menyinari tiap-tiap jengkal bumi khatulistiwa, tanpa pandang bulu maupun waktu. Ia hanya menjalankan apa yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta, pemegang tertinggi kuasa di alam semesta.

Betapa Maha Agungnya Ia yang bisa mengubah dan melakukan apapun dalam sekejap saja, bahkan kecepatan cahaya dan kedipan mata tidak sanggup menandinginya.

Jika Tuhan memang seagung itu, mengapa garis takdir berisi penderitaan ini harus kuterima?

Rasa marah, kecewa, dan sedih berpadu dan menyelimuti perasaanku saat ini. Emosi begitu mendominasi, akal sehat serta kepala dingin yang biasa kuperlihatkan saat berada di meja hijau seolah lenyap ditelan bumi—atau mungkin dimatikan fungsinya untuk sementara waktu. Agaknya kali ini merupakan pemakluman lantaran kesehatan fisikku yang belum begitu stabil, setelah mengalami koma hampir satu bulan lamanya.

Kecelakaan di hari (yang seharusnya) bahagia kami merenggut segalanya, termasuk eksistensinya di muka bumi ini.

Perih dan ngilu yang menggelayuti kepala beserta sebagian tubuh lain rasanya tidak ada apa-apanya dibanding dengan kepergiannya. Sesak pada dada mulai tidak terkendali, netra memerah lantaran air mata yang terus mengalir tanpa suara isak tangis. Hanya ada degup jantung yang bekerja dua kali lipat beserta amarah yang kian membuncah. Tidak ada yang bisa kulakukan dengan kondisi seperti ini selain mengikhlaskan kepulangannya ke surga.

Tuhan yang memberi, Tuhan pula yang mengambilnya.

Haruskah aku mengikhlaskan kepergiannya? Jika ia yang kuanggap rumah telah tiada, kemana lagi aku harus berpulang?

Yogyakarta, 2018