Gema suara pariwara kembali memekakan telinga di antara aroma popcorn dan minuman bersoda yang dijual oleh petugas bioksop keliling, menjajakan berbagai jenis kudapan yang layak untuk disantap (bagi mereka, itu lebih baik daripada menyelundupkan dari luar) sebelum film diputar. Penerangan masih memancar dari dua sudut ruangan bioskop, sebelum perlahan memadam dan digantikan oleh cahaya yang berasal dari layar lebar itu sendiri.
Bisikan dari deretan belakang yang membahas tentang sang lakon utama begitu membuat pusing kepala, belum dengan beberapa penonton yang datang terlambat dan menyusup pada deretan kursi tanpa permisi. Rasanya jika di dunia ini tidak ada yang namanya tata krama, mungkin aku sudah meneriakinya dengan berbagai macam makian dari (setidaknya) dua bahasa. Namun hal itu tidak berlaku jika diriku sedang kencan, membawa sosok kekasih untuk menyaksikan film bersama usai bergelut dengan kesibukan seharian. Aku tidak mungkin meruntuhkan imageku sendiri hanya karena ketidaknyamanan yang lewat sekilas bagaikan semilir angin dari pendingin ruangan.
Rupanya ia menangkap rasa gusarku akan keributan kecil yang sempat tercipta. Jemarinya menggamit telapak tanganku, menyalurkan kehangatan pada tanganku yang sudah membeku dari tadi lantaran suhu pendingin ruangan yang rupanya sedang tak bersahabat dengan tubuhku. Seulas senyum tercipta, kembali aku memandang ke sisi kanan ketika sorot mata indah itu mengamati Guy dengan saksama, sesekali ia berkomentar dengan mendekatkan wajah padaku yang menghasilkan detak jantung yang semakin tidak beraturan. Astaga, bisik-bisik dari belakang barusan membuatku ingin memaki setengah mati, namun ketika ia yang melakukan justru membuat jantungku hampir copot dengan semburat merah pada pipi yang kini tak nampak karena penerangan minimal.
“Mau nonton filmnya atau nonton aku sih, Mas?” “Nonton kamu aja boleh gak?”
Ketidakwarasan akan candu asmara itu menampilkan senyum yang tak pernah terhapus pada paras barang sedetikpun. Seolah tak jemu dengan sosoknya yang lebih mencuri perhatian di hadapan dibanding dengan sikap mengesalkan tokoh bernama Antoine, aku menyandarkan kepalanya pada bahu dan memberikan kecupan lembut pada pucuk kepala, menghirup aroma minyak wangi yang bercampur dengan bedak dan minyak telon. Rasanya seperti memiliki kekasih dan bayi dalam satu paket. Debar pada jantung kembali menghampiri beserta genggaman tangan yang makin mengerat, usapan pada ibu jari dengan gerakan pelan, beserta dengan wajah kami yang semakin dekat guna mengikis jarak. Aku dapat menangkap lekuk indah pada paras dengan bentuk hidung mancung, alis bak bulan tanggal satu, hingga bibir seperti delima yang sedang merekah. Seakan tidak perlu dikomando oleh otak, bibirku bererak mendekat hingga mendarat sempurna pada belah ranum miliknya. Napas hangat serta aroma wangi semakin merasuk, pagutan lembut diberikan selang beberapa sekon sebelum aku melepaskannya, mengakhirinya dengan sebuah kecupan pada kening. Sesederhana itu, namun sesempurna itu malamku bersamanya.
Seakan dunia milik kami berdua (untuk saat ini), aku tidak menghiraukan sorakan penonton bioskop maupun bisik-bisik yang semula membuat telinga iritasi. Biarlah aku dan dia menjadi pemeran layar lebar yang sengaja dicipta untuk kami berdua, menghabiskan malam bersama dengan asmara yang bergelayut dan menggelora di dada.
Jakarta, September 2021 di sebuah bioskop kawasan Jakarta, bersamanya