MENAHBISKAN

LAYAR LEBAR

Gema suara pariwara kembali memekakan telinga di antara aroma popcorn dan minuman bersoda yang dijual oleh petugas bioksop keliling, menjajakan berbagai jenis kudapan yang layak untuk disantap (bagi mereka, itu lebih baik daripada menyelundupkan dari luar) sebelum film diputar. Penerangan masih memancar dari dua sudut ruangan bioskop, sebelum perlahan memadam dan digantikan oleh cahaya yang berasal dari layar lebar itu sendiri.

Bisikan dari deretan belakang yang membahas tentang sang lakon utama begitu membuat pusing kepala, belum dengan beberapa penonton yang datang terlambat dan menyusup pada deretan kursi tanpa permisi. Rasanya jika di dunia ini tidak ada yang namanya tata krama, mungkin aku sudah meneriakinya dengan berbagai macam makian dari (setidaknya) dua bahasa. Namun hal itu tidak berlaku jika diriku sedang kencan, membawa sosok kekasih untuk menyaksikan film bersama usai bergelut dengan kesibukan seharian. Aku tidak mungkin meruntuhkan imageku sendiri hanya karena ketidaknyamanan yang lewat sekilas bagaikan semilir angin dari pendingin ruangan.

Rupanya ia menangkap rasa gusarku akan keributan kecil yang sempat tercipta. Jemarinya menggamit telapak tanganku, menyalurkan kehangatan pada tanganku yang sudah membeku dari tadi lantaran suhu pendingin ruangan yang rupanya sedang tak bersahabat dengan tubuhku. Seulas senyum tercipta, kembali aku memandang ke sisi kanan ketika sorot mata indah itu mengamati Guy dengan saksama, sesekali ia berkomentar dengan mendekatkan wajah padaku yang menghasilkan detak jantung yang semakin tidak beraturan. Astaga, bisik-bisik dari belakang barusan membuatku ingin memaki setengah mati, namun ketika ia yang melakukan justru membuat jantungku hampir copot dengan semburat merah pada pipi yang kini tak nampak karena penerangan minimal.

“Mau nonton filmnya atau nonton aku sih, Mas?” “Nonton kamu aja boleh gak?”

Ketidakwarasan akan candu asmara itu menampilkan senyum yang tak pernah terhapus pada paras barang sedetikpun. Seolah tak jemu dengan sosoknya yang lebih mencuri perhatian di hadapan dibanding dengan sikap mengesalkan tokoh bernama Antoine, aku menyandarkan kepalanya pada bahu dan memberikan kecupan lembut pada pucuk kepala, menghirup aroma minyak wangi yang bercampur dengan bedak dan minyak telon. Rasanya seperti memiliki kekasih dan bayi dalam satu paket. Debar pada jantung kembali menghampiri beserta genggaman tangan yang makin mengerat, usapan pada ibu jari dengan gerakan pelan, beserta dengan wajah kami yang semakin dekat guna mengikis jarak. Aku dapat menangkap lekuk indah pada paras dengan bentuk hidung mancung, alis bak bulan tanggal satu, hingga bibir seperti delima yang sedang merekah. Seakan tidak perlu dikomando oleh otak, bibirku bererak mendekat hingga mendarat sempurna pada belah ranum miliknya. Napas hangat serta aroma wangi semakin merasuk, pagutan lembut diberikan selang beberapa sekon sebelum aku melepaskannya, mengakhirinya dengan sebuah kecupan pada kening. Sesederhana itu, namun sesempurna itu malamku bersamanya.

Seakan dunia milik kami berdua (untuk saat ini), aku tidak menghiraukan sorakan penonton bioskop maupun bisik-bisik yang semula membuat telinga iritasi. Biarlah aku dan dia menjadi pemeran layar lebar yang sengaja dicipta untuk kami berdua, menghabiskan malam bersama dengan asmara yang bergelayut dan menggelora di dada.

Jakarta, September 2021 di sebuah bioskop kawasan Jakarta, bersamanya

RINDU YANG TAK TUNTAS

Aku kembali digoda oleh malam yang begitu lekat Bayanganmu yang selalu muncul sekelebat Wajah berseri itu selalu kuingat Usai pertemuan singkat

Aku kembali digoda oleh kerlip bintang yang indah ibarat pancaran matanya Mengantarkan hangat, mengusir kebekuan yang selalu membuatku senang Ketika tengah bersamanya

Aku kembali digoda oleh imajinasi halusinasi yang mulai menguasai memunculkan sumringah pada wajah sebelum datang cemas serta gelisah

Suasana sepi, syahdu, rindu bergejolak lalu bersatu Ketika jawabannya adalah bertemu Tak kuasa menahan diri ‘tuk kembali ke dalam pelukan, merebah di dadamu Merasakan hangatnya napasmu atau belah bibir yang saling berpagut hingga pagi menjemput

Aku merindukanmu Tanpa batas, dan tak pernah tuntas

9 Oktober 2021 untuk sosok yang merengkuh erat dikala diri terjebak nestapa, pemilik tatapan teduh yang selalu memberikan ketenangan, serta pemberi kecupan hangat yang tidak mampu mendeskripsikan rasa sayang

SEBELAS

Hanya ada biru langit serta terik mentari yang kian sengit Kendati panasnya bagaikan matahari di atas kepala beberapa jengkal, masih ada semilir angin yang ramah, menghapus peluh walaupun tak tuntas

Adakah hari yang selalu menyambutmu tanpa syarat Tanpa lelah Tanpa keluh Tanpa polah Semua hari membuatku terengah-engah Meledaknya amarah Tanpa tahu apakah aku benar-benar salah

Bak dewa kahyangan yang diutus ke jagat semesta Kau datang hadirkan tawa dalam figur sederhana Cahaya tak pernah redup dari sepasang mata Yang kilau nan indah melebihi permata Pupus sudah sepi dan lelah yang selama ini Menggerogoti bagai benalu yang selalu menumpang Tanpa malu Dengan pilu Yang menyembilu

Adakah orang yang lebih beruntung di muka bumi ini ketika aku berhasil memenangkan hatimu? Jari-jari yang kini menggamitku Berjalan dengan ringan melintasi waktu Mencetak memori pada kanvas yang kini tertoreh di benakku Melewati hari tanpa ada rasa ragu

Selamat tanggal sebelas untuk pemilik senyum pada ranum yang selalu membuatku kagum Kiranya bahagia nan sukacita selalu menyertai engkau yang selalu lekat pada sanubari juga kucintai tanpa henti

9 Oktober 2021 digurat penuh cinta untuk Mandaka Gentala Winata

MEMANCING

Gemericik air yang berasal dari bawah, lebih tepatnya dekat telapak kakiku kembali mengalihkan perhatian ketika atensi tengah terpusat pada hamparan biru cakrawala di atas sana. Baskara tidak sehebat dua atau tiga jam lalu kala memanggang buana dengan panas-panasnya (sebagian orang mengatakan itu adalah gladi resik di neraka, memang kalian sudah pernah ke sana?). Embus angin sepoi-sepoi dari arah tenggara kembali menerpa kulit hingga membuat diriku acapkali merinding, bak pendingin ruangan yang kerap kutemukan ketika menyambangi kantor Ibu atau kulkas yang dibuka lebar-lebar oleh Mbak Ginah saat memasukkan bahan belanjaan ke dalam kulkas. Semilir yang dibawa oleh semesta yang tengah berbaik hati itu mengikis kantuk yang sempat hinggap saat tanganku tengah memegang alat pancing sejak satu jam yang lalu.

Salah satu aktivitas yang sering dihabiskan oleh Bapak, Mas Tama, dan juga aku di tempat pemancingan dekat rumah sekaligus rumah makan, Moro Kangen namanya. Aku sendiri tidak paham mengapa sang pemilik menyematkan nama sedemikian rupa, apakah ia mengharap orang-orang bertandang ke pemancingan tersebut untuk melepas rindu? Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah enam dasar. Makna kangen atau rindu sendiri bagiku masih sangat abu-abu, hanya paham ketika Ibu datang kepadaku dengan bolu kukus yang ia bawa dari kantor lalu datang menghambur ke dalam pelukanku atau Mas Tama sambil berucap, “Ibu kangen, Le.”. Kalau kata Mbak Amel, kangen merupakan sebuah perasaan ketika kita memiliki hasrat ingin bertemu dengan sesuatu (re:seseorang). Ya, mungkin kurang lebih sang pemilik tempat pemancingan berharap agar para pemancing lekas kembali ke tempat tersebut lantaran rasa rindu yang membuncah hingga membuat sesak di dada bagaikan orang yang tengah kasmaran.

Kami bertiga tidak melulu datang untuk mendapatkan ikan gurame dengan berat dua kilogram atau paling apesnya sandal jepit putus, kami menghabiskan rata-rata dua sampai tiga jam untuk ngobrol ngalor ngidul mengenai apapun yang bisa kami bicarakan. Sesaat aku menyukai suasana dimana kami bisa saling tertawa renyah ketika membicarakan kebodohan masing-masing hingga terlontar nasihat dari Bapak agar aku bisa menyikapi semuanya lebih bijak lagi.

“Prakaryaku kemarin dibilang jelek sama Bu Guru. Padahal aku susah cari bahannya dimana-mana, sampai aku akhirnya ke Bringharjo sendirian.”

Sebagai anak keempat, aku terbiasa menggerutu ketika mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan. Mutung, istilahnya pada saat itu. Tanganku kembali memainkan pancingan ikan, mengamati ember milik Bapak dan Mas Tama yang sudah terisi sekitar beberapa ikan dengan ukuran sedang. Boro-boro mendapatkan ikan, kailku justru menangkap empat plastik dan sampah yang dibuang sembarangan oleh para pengunjung yang tidak bertanggung jawab. Oh, bisakah aku mendapatkan ikan sebagai pelipur lara, setidaknya satu kali saja?

“Kamu sudah melakukan yang terbaik, Le. Iya 'ndak, Tam? Lindu itu jago bikin prakarya begituan. Cuma Bapak kasih tahu nggih, Le. Kita gak bisa memuaskan atau membuat senang semua orang. Jadi semisal ada yang mencela pekerjaan kamu, jangan diambil hati sepenuhnya.”

Bagaikan tanah kering yang disirami rinai hujan, aku mengalihkan seluruh atensiku pada Bapak. Aku suka bagaimana beliau mengucapkan kalimat yang terasa teduh di kalbu tanpa ada sarat penghakiman seperti yang dilakukan oleh orang tua kebanyakan.

“Bukan berarti Bapak ngajarin kamu nggak terima kritikan lho, ya. Kalau ada yang membangun, ya diambil. Tapi kalau mengarah ke hal pribadi ya mending 'ndak usah diambil hati.”

Seulas senyum menghiasi gurat wajah lelah pria yang berhasil membuatku tenang dan meredakan gemuruh yang sempat menggelayuti pikiran. Aku tidak tahu seberapa besar efek ucapan bapak yang terasa magis bagiku, seakan aku sudah tidak menginginkan hewan air itu untuk memakan umpan yang kuberikan.

“Oalah, si Lindu ngelamun. Wes, ojo mutung. Nanti tak ajarin biar bikinnya lebih bagus, kamu ya mau ujian tho?”

Mas Tama yang sedari tadi mematung dengan pandangan yang fokus pada benang dan kail kini mendekatkan jaraknya padaku dengan menggeser posisi duduk, lantas memperhatikan letak pancingan yang sedari kupegang tanpa digerakkan.

“Sini, tak ajarin cara megangnya.”

Aku hanya diam dan pasrah saat alat pancingku diambil. Dengan sigap, Mas Tama menggerakkan alat pancing itu hingga kail bergerak di titik yang lebih jauh dari sebelumnya. Ia memberikan alat tersebut padaku usai mengajarkan bagaimana cara menggerakkan, terutama saat kail tersambar oleh entitas air di bawah sana.

Gerakan menyentak bagaikan sebuah pemberontakan dapat terasa hingga tanganku hampir tertarik. Aku memutar reel dan menarik alat pancingku dengan sekuat tenaga. Tunggu, ini terasa lebih berat bahkan dua kilogram tidak ada apa-apanya. Tidak mungkin ada ikan paus atau lumba-lumba tersasar di sini 'kan?

Dibantu oleh Bapak dan Mas Tama, kami bertiga menarik kail dengan sekuat tenaga. Seekor mujair besar tertangkap oleh mata, tubuh lemahnya terlihat menggelepar dengan mulut terbuka dan mata melotot, seakan ia siap membalaskan dendamnya pada kami. Rasa senang tidak dapat terbendung hingga aku melompat dan berteriak begitu keras, tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang kini mengamati kami dengan tatapan sinis (atau mungkin tidak peduli), tapi aku berhasil membuat mereka iri.

“Ibu, Bapak. Malam ini kita makan gulai mujair, ya!”

Yogyakarta, 1999

KITA

Sebagian besar orang akan memberikan kesan apik pada pertemuan atau kencan pertamanya dengan seseorang yang disukai. Rambut klimis rapi, pakaian baru tanpa kusut pada setiap sudut, hingga wewangian kolonye yang sengaja disemprotkan dan menimbulkan aroma khas dalam beberapa jam kedepan (jika itu tidak bercampur dengan keringat). Rasa gugup bagaikan hendak menghadapi ujian skripsi menyelimuti diri, berusaha menghafal tips dan trik dari teman dekat yang jago tentang percintaan. Apa yang harus dilakukan sebelum berpamitan? Bagaimana cara mencairkan suasana di tengah senyap yang tercipta secara tidak sengaja? Dan masih banyak pertanyaan perihal kencan pertama yang harus dipelajari oleh newbie seperti hendak masuk jurusan baru.

Sebagai orang yang pernah beberapa kali pacaran (yang jelas tidak sampai tiga kali), aku cukup familiar dengan yang namanya kencan pertama. Aku tidak membutuhkan tutorial atau harus tampil spesial di hadapannya yang nanti akan kutemui. Semuanya kulakukan secara alami tanpa melebih-lebihkan, namun tetap berusaha memberikan yang terbaik sebab kesan pertama adalah hal yang terpenting.

Angin malam di luar sana begitu melahap ganas kehangatan yang sedari tadi tercipta pada genggaman jemari kami yang saling bertautan satu sama lain. Lantas ibu jariku mengusap punggung tangannya untuk memberikan rasa hangat yang lebih. Seulas senyum tercipta pada paras yang kini menjadi candu tersendiri bagiku. Rasa gugup yang membuncah di dada terasa semakin sesak, berpadu dengan bahagia yang tidak mampu kuungkapkan dengan kata untuk saat ini. Pandangan kami menyusuri jalanan Ibukota yang seakan tak pernah beristirahat barang sedetikpun, menggilas jalanan aspal tiada henti demi menyambung hidup.

Saat pikiranku larut dalam senyap, kau memecah keheningan dengan celotehan yang membuatku merasa gemas. Aku ingat bagaimana dirimu begitu antusias menceritakan penjiwaan sang tokoh di layar lebar (yang kami tonton dua jam lalu) dengan menggebu-gebu, seakan kau menumpahkan seluruh emosimu dengan mata membelalak serta nada kesal yang jarang kudengar dari bibirmu.

Hal itu tak berlangsung lama, sebab aku menanggapi dengan gelak tawa yang memecah ketegangan beberapa sekon lalu. Guyonan sederhana dengan logat khas daerah kembali menyapa rungu, membuatku tergelak oleh selera humormu yang tidak pernah terduga sama sekali. Langkah kami terus beriringan menyusuri jalan, dengan tangan kanan yang kini merangkul pinggang untuk mengikis jarak yang sedari tadi tercipta di antara kami. Saling menghangatkan dan menjaga, juga menguatkan disaat lara menerpa.

Di bawah remang penerangan jalanan, aku merengkuh tubuhmu sembari membisikkan kata-kata yang membuat hatiku turut merasakan hangat dan bahagia. ️️️ ️️ “Terima kasih selalu ada untuk aku.”

Dwinetraku memejam dengan sempurna tatkala rasa hangat itu semakin menjalar pada tubuh. Aku dapat merasakan lembutnya birai yang selama ini mengucap kalimat manis dan meneduhkan kini mendarat sempurna pada milikku. Saling bertaut satu sama lain, melepas rindu bercampur nafsu yang selama ini tersimpan di kalbu. Semesta dan keramaian jalanan Ibukota menjadi saksi tatkala kami saling mengikat janji di malam ini untuk saling menjaga dan bertumbuh bersama-sama.

Aku mencintaimu, lagi dan lagi.

Jakarta, Agustus 2021

teruntuk inisial M.G.W (untuk kedua kalinya. Jangan bosan dengan tulisanku, ya.)

NELONGSO

Bagi sebagian orang, ada yang mengatakan jatuh cinta itu luar biasa dan berjuta rasanya, atau biasa saja bagi mereka yang kerap merasakan sebuah kejenuhan dalam hubungan. Namun bagi saya, justru patah hatilah yang terasa tidak biasa-biasa saja. Saat ini, patah hati merupakan salah satu babak paling menyakitkan dalam hidup.

Saya sendiri tidak mengerti, apakah ada penyembuh dari patahnya hati tiap insan lantaran berakhirnya hubungan percintaan mereka (yang sesungguhnya tidak ingin diakhiri).

Mereka hanya mengikuti waktu yang menggiring dan berpasrah (serta berharap) mencari solusi, apakah ada penyembuh dari luka batin itu.

Saat ini, saya tengah mengalami nelongso, kalau kata orang Jawa. Bagaikan ditelan bumi, gairah serta semangat hidup yang semula membara ibarat api obor olimpiade entah hilang kemana. Hilang arah pula setelah semua rancang rencana yang sudah sekian lama dibangun lesap begitu saja dalam hitungan detik. Saya seperti tengah merasakan penderitaan cinta yang digambarkan oleh lagu, puisi, novel, atau roman picisan. Dunia seakan runtuh, semuanya sudah berakhir begitu saja.

Namun akhirnya saya sadar akan alasan luka batin tersebut adalah bentuk denial atau penolakan dari ketidakmampuan saya untuk menekan ego. Selama ini saya membohongi diri, dengan menjadikan lenyapnya gairah hidup itu sebagai kambing hitam atas ketidakproduktifan saya selama beberapa bulan pasca kecelakaan.

Betapa egoisnya saya seolah merasa paling menjadi korban dari perpisahan ini. Padahal ada sebuah keluarga di seberang sana yang tengah merasakan duka mendalam atas berpulangnya salah satu anak perempuan mereka ke pangkuan Bapa. Seolah saya menafikan, toh mereka juga merasakan hal yang sama.

Setidaknya saya tidak sedih sendirian.

Hey, sedih kok ngajak-ajak, sih? Separah itu 'kah luka benturan kepalamu hingga membuatmu hilang akal dan turut senang di atas penderitaan orang?

Egosentrisme merongrong diri ini dan mengalahkan akal logika, seakan saya tengah menuntut dunia untuk memahami kondisi yang sedang lemah. Padahal, bisa jadi apa yang saya alami saat ini tidak seberapa dibandingkan milik orang lain.

Saya akhirnya menyadari bahwa seberapapun kuatnya kita berusaha mempertahankan sebuah hubungan, bila memang sudah dipisahkan oleh maut, mau berkata apa?ㅤ

Bukan karena segalanya telah selesai, justru inilah saat saya mulai mengusahakan sesuatu untuk bangkit Meskipun pada akhirnya saya harus jujur dan mengakui, semesta sudah tidak merestui hubungan kita lagi.

Yogyakarta, 2018

PASAR

Aroma menyengat menyambut kedatangan dua pasang tungkai yang kini berjalan memasuki pasar Bringharjo. Bukan bau sampah, bangkai tikus (apalagi manusia), atau aroma keringat orang (ini akan ditemukan di dalam pasar nanti), melainkan lilin yang merupakan bahan utama dalam pembuatan batik. Bau kuat yang kerap membuat orang menahan napas selama beberapa detik atau menutup hidung itu justru membuatku nyaman dan agak (sedikit) kecanduan, sebab aroma tak biasa itu baru pertama kali menyapa indera penciumanku. Tidak heran, ini kali pertamanya aku menyambangi salah satu pasar terbesar di kota kami untuk menemani Ibu berbelanja bahan makanan. Katanya, ia bisa memperoleh barang belanjaan dengan harga yang lebih miring dibanding pasar dekat rumah atau tukang belanja yang menggunakan sepeda atau gerobak, dengan bonus gosip para tetangga serta bumbu drama yang kerap disematkan pada kisah. Sebagai salah satu wanita karir yang terbilang sukses, Ibu kerap menghindari hal-hal tersebut hingga membuat ia (agak) dikucilkan oleh tetangga sekitar. Kendati demikian, ujung-ujungnya mereka akan mendatangi keluarga kami jika tengah dihadapkan oleh sebuah kasus yang kerap membuatku harus menahan tawa sebab perutku terasa tergelitik, pencurian jemuran atau hewan peliharaan seperti anak ayam.

Usai melewati sekumpulan penjual kain batik maupun pakaian jadi (dengan motif batik), kami melewati tangga untuk menuju penjual daging di bagian pasar seberang. Lagi-lagi aku dibuat terperangah oleh berbagai aktivitas yang dilakukan oleh mereka, para pedagang dan pembeli yang saling bersahutan dengan bahasa Jawa. Kebanyakan dari mereka akan menggunakan bahasa Krama atau halus untuk menawar, lalu setelah mendapatkan barangnya, mereka akan menggunakan krama Madya karena dirasa telah mendapatkan apa yang diinginkan.

“Mas Ndu, minta tolong bawain ini.”

Ibu memberikanku dua plastik hitam yang berisi ayam potong. Tidak ada jawaban signifikan yang keluar dari mulutku selain anggukan kepala karena masih sibuk melihat-lihat sekitar. Aku langsung teringat dengan materi pelajaran Ilmu Pendidikan Sosial yang membahas pasar yang kerap digunakan untuk transaksi jual beli, serta uang sebagai alat tukarnya.

“Mas? Kok ngelamun to? Kamu 'ndak ndengerin ibu?”

Ngapunten, Bu. Aku lagi asik lihat-lihat orang pada motong ayam. Memangnya harus bayar pakai uang ya, Bu? Kalau pakai permen atau daun bisa 'ndak?”

Mendengar celotehan panjang lebar yang sedari tadi bergumul di pikiran, Ibu tersenyum dengan gelak tawa usai menerima dua lembar uang lima ribuan. Saat itu, mata uang lima ribuan termasuk banyak dan bisa membawa pulang berbagai macam makanan maupun barang yang diinginkan.

“Nek nganggo godhong kui yo koyok neng film'e sopo kui? Suzanna?” (Kalau pakai uang itu kayak yang di filmnya siapa itu? Suzanna?)

Sang penjual ayam potong yang mendengar percakapan kami ikut tertawa, mungkin di matanya aku terlalu polos atau bodoh karena belum mengerti tentang jual beli.

“Iya, Suzanna. Kalau yang 'ndak punya uang gimana dong? Mereka makan pakai apa?”

Lagi-lagi rasa keingintahuanku yang semakin membuncah membuat Ibuku tersenyum. Sepanjang perjalanan menuju tukang sayur, beliau menjelaskan tentang konsep jual beli dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti ketimbang harus membaca buku tebal bersampul cokelat bertulis 'Ilmu Pengetahuan Sosial' yang diberi oleh Bu Yayuk.

“Mereka harus menyesuaikan gaya hidup dengan penghasilan. Kalau 'ndak punya atau sedikit uang ya harus makan seadanya,” jawab Ibu.

“Berarti uang Ibu sama Bapak banyak? Tapi yo 'ndak heran, kita 'kan punya mobil.”

Tanpa sadar aku ikut tertawa terbawa suasana, deretan gigi putih bak biji ketimun itu terlihat dengan mata menyipit, hampir seperti garis alis namun masih terlihat dengan jelas.

“Doain Ibu sama Bapak sehat-sehat terus nggih, Nang. Biar kamu bisa sekolah juga, nanti jadi hakim kayak Om Danang atau pengacara kaya Mas Heru.”

Lagi-lagi aku hanya mengangguk sambil mencerna kata-kata asing yang pertama kali didengar. Hakim? Pengacara? Apa lagi itu? Yang aku tahu, Om Danang atau Mas Heru adalah orang sibuk yang kerap pulang malam bahkan sampai pagi. Berangkat pagi, pulang pagi juga. Aku tidak bisa membayangkan betapa sibuknya mereka hingga tidak bisa menikmati kebebasan layaknya orang-orang dengan profesi biasa. Namun di satu sisi, mereka begitu disegani oleh keluarga besar kami dan sering dielu-elukan.

Haruskah aku menuruti permintaan Ibu untuk membuat ia bangga? Pendidikan sekolah dasarpun belum lulus dan aku tidak ingin mendapatkan beban seperti itu.

Atau lebih tepatnya, haruskah aku menjadi seperti mereka agar mendapatkan perlakuan atau pengakuan dari keluarga besarku?

Yogyakarta, 1997

PERMULAAN

Dalam hidup, saya dipertemukan dengan banyak orang yang datang silih berganti; ada yang menetap, ada yang hanya singgah kemudian pergi. Semuanya berawal dari sepenggal nama serta jabat tangan. Atau beberapa pertemuan tak terduga yang awalnya menimbulkan banyak praduga hingga berburuk sangka. Ada salah satu pelajaran yang saya petik dari kisah hidup selama hampir tiga puluh tiga tahun; jangan menilai orang dari penampilan luarnya.

Salah satu pertemuan berhasil membuat hati saya berdesir, degup jantung bekerja dua kali lebih cepat sebab rasa gugup yang melanda. Bahkan perasaan buncah saat persidangan atau banding di Mahkamah Agung dulu rasanya tidak seberapa.

Tutur kata sopan dan menyejukkan, sekaligus membuat saya merasa hangat dan merasa lebih dijaga. Senyum manis yang tak pernah pudar dari raut wajah itu membuat saya selau nyaman.

Rupanya saat ini, saya sedang jatuh cinta.

Bertukar pesan dari bertanya kabar keseharian hingga tanpa sengaja saya membuka batasan yang sudah saya bangun tinggi selama ini. Seolah saya membiarkan ia masuk permisi ke dalam kehidupan saya yang lebih dalam. Beberapa kali pertemuan membuat kami semakin akrab dan saling mengenal satu sama lain. Ada perasaan asing yang hinggap ketika saya menunggu kabar tentang dirinya. Menanyakan apakah ia sudah makan atau belum? Apakah ia mengerjakan pekerjaan atau aktivitas mengajarnya dengan baik? Apakah ia akan menerima ajakan saya untuk pergi bersama meskipun hanya sekadar mencari makan?

Tanpa saya sadari, saya semakin ingin tahu semua tentang dia. Rasa ego yang kini kalah dengan logika, membuat saya menginginkan ia lebih dari sekadar teman. Seolah sudah lama tidak memberi makan nafsu yang selama ini saya kungkung, saya membiarkan perasaan itu menguasai diri saya lebih dalam lagi. Pada saat itu juga saya telah memutuskan sesuatu yang teramat penting dalam hidup saya usai digelayuti ketakutan akan membuka hati untuk orang baru.

Saya menginginkan dia untuk menjadi salah satu bagian terpenting dalam hidup.

Saya menginginkan dia.

Jakarta, Agustus 2021 teruntuk inisial M.G.W.

PERIHAL BERSYUKUR

Saya tidak ingat persis firman Tuhan yang dibaca setelah doa pagi selain Mazmur yang memang ditujukan untuk memuji Sang Pencipta atau judul lagu-lagu rohani yang kerap diperdengarkan oleh kelompok paduan suara atau band gereja dengan irama yang menggebu-gebu. Sebuah rasa syukur atas apa yang telah dilewati setelah sekian lama mencecap rasa pahit atau kegagalan dalam aspek yang diinginkan. Meskipun kegagalan adalah sebagian dari kehidupan untuk berkembang, pada dasarnya setiap manusia memiliki titik terendah yang tidak bisa disentuh bahkan ditarik oleh siapapun untuk bangkit, terkecuali dirinya sendiri.

Akhir-akhir ini (kurang lebih sejak awal bulan) saya merasakan bahagia yang berbeda dari sebelumnya. Mungkin saya pernah mengalami sebelumnya, namun tergilas oleh kenangan pahit yang mendominasi hingga tidak mampu merasakan apapun kecuali kehidupan yang datar dan lara. Senyum yang tergurat hampir setiap pagi hingga malam dan menutup mata untuk beristirahat. Rasa bahagia yang membuat hati hangat dan berdebar-debar hampir dirasakan setiap menit dengan penyebab yang tidak jelas pada awalnya. Saya pikir ada yang tidak beres dengan kinerja otak sebab pernah terbentur tumpukan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan KUHP hingga ngilu yang nyaris membuat saya pingsan. Namun itu kejadian empat tahun lalu saat saya berkutat dengan thesis di perpustakaan kampus. Apakah efeknya terbawa sampai sekarang?

Saya nyari gila, namun saya menikmatinya

Rupanya saya merasakan apa itu jatuh cinta, lagi.

Sebuah kenikmatan tiada tara yang membuat saya kerap menangis saat membaca Mazmur dengan mengingat betapa kasih Tuhan tiada batas. Tuhan akan selalu memberikan yang terbaik di waktu yang tepat. Rekan kantor saya akan mendapati mata basah sebelum persidangan dan saya akan memberikan alasan kelilipan atau iritasi (mengingat saya memiliki silinder mata).

Dan saya bertemu dengan kebahagiaan itu ketika saya sudah siap.

Saya percaya bahwa rasa syukur terbentuk oleh rasa terima kasih atas setiap cobaan dengan menerima itu semua sebagai salah satu bagian dari hidup, sebab ada proses dan makna yang tengah terbentuk dari rasa syukur itu sendiri.

Jakarta, 2021

𝐒𝐄𝐋𝐀𝐌𝐀𝐓 𝐔𝐋𝐀𝐍𝐆 𝐓𝐀𝐇𝐔𝐍, 𝐌𝐀𝐍𝐃𝐀𝐊𝐀 𝐆𝐄𝐍𝐓𝐀𝐋𝐀 𝐖𝐈𝐍𝐀𝐓𝐀

Bulan delapan, tanggal tujuh belas. Biasanya pada momen itu akan ramai berbagai perayaan dimana-mana, hiasan pada gapura dengan cat warna-warni, bendera plastik kecil yang membentang di jalanan, hingga hingar bingar sampai pukul dua belas malam lebih disertai sajian kopi dan kacang kulit dengan obrolan ngalor ngidul hingga menjelang pagi.

Jika menilik masa lalu, ketika kita dilahirkan sebenarnya merupakan hari pertarungan Ibu, memperjuangkan antara hidup dan mati dengan membawa nyawa baru ke bumi usai perjuangan selama sembilan bulan lebih sepuluh hari. Salah satunya adalah seorang laki-laki yang baru saja menghirup napas di dunia pada tiga puluh satu silam, Mandaka Gentala Winata.

Angka pada bulan yang sama terulang kembali di tahun berbeda, level kehidupan meningkat dan cenderung tidak menjadi lebih mudah. Semakin dewasa, ada hal yang sedikit banyak berubah. Bukan topi segitiga yang menghiasi kepala dengan pakaian atau jas baru, melainkan pikiran-pikiran menumpuk tentang esok ingin melakukan apa. Setiap kali berulang tahun, disadari atau tidak, nyatanya memang bukan hanya angka yang meningkat bilangannya, ada perubahan sikap, tingkah laku, dan pemikiran yang mengarahkan manusia semakin dewasa.

Harapan demi harapan berembus ke telinga Yang Kuasa, kini sederet lantunan doa yang disemogakan agar menjadi kenyataan.

Segala doa baik untukmu hari ini

Terima kasih karena kamu sudah menjalani hidup yang diberi dengan semestinya

Terima kasih sudah bertahan dengan terpaan angin yang mungkin menggoyahkan segala niat yang telah tertanam

Terima kasih telah mengajariku banyak hal di waktu kita yang masih sesingkat ini, juga mempercayakanku untuk menjagamu

Terima kasih telah meluangkan waktu, emosi, dan rasa yang menjadikanku kawan juga yang terkasih

Semoga kamu menjadi lebih baik, selalu bahagia dengan sekitarmu, bahkan hal paling kecil sekalipun

Semoga dengan apapun yang terjadi, kamu akan terus bertumbuh layaknya pohon yang terus menjulang tinggi dan tahan akan terpaan angin

Selamat ulang tahun, Mandaka Gentala Winata

───── Jakarta, 17 Agustus 2021