MENAHBISKAN

FOTOKOPIAN

“Bang, fotokopi bolak-balik diperbesar. Sepuluh kali, diambil jam tiga siang ya!”

“Bisa jilid spiral nggak? Sekalian mau print cover ya, Bang.”

“Masa di sini nggak jualan ATK? Toko seberang aja jual tipe-x lho..”

Sudah dua minggu lebih aku mengisi waktu luang usai berkuliah dengan mengais pundi-pundi demi sesuap nasi, kadangkala aku membelikannya bensin dua liter untuk transportasi seminggu. Kata Ibu, aku boleh bekerja sambilan apa saja selagi halal (sesuatu yang diperbolehkan atau diizinkan menurut peraturan, tanpa terikat dengan aturan keyakinan tertentu) dan tidak merugikan orang lain.

Ruangan dengan cat putih beserta dua mesin fotokopi nampak memenuhi bagian dekat pintu, sehingga sedikit menyulitkanku untuk masuk dari pintu depan. Ketika matahari sudah mulai condong ke barat dan membakar bumi dengan galaknya, disitulah aku mulai menumpahkan seluruh fokusku untuk bekerja di tempat itu. Namanya Fotokopi Yoga, padahal pemiliknya sendiri berbeda dengan nama yang dicantumkan.

Aku mengenalnya sebagai Bang Rian, salah seorang senior kampus tingkat akhir sekaligus pemilik fotokopi yang merupakan hadiah dari Babe sebagai investasi. Kata Bang Rian, babe begitu pintar membaca peluang bisnis dengan mendirikan usaha fotokopi di sekitar kampus, yang mana kemungkinan besar akan dibutuhkan oleh mahasiswa.

“Kalau motong kertas tuh beberapa tumpuk jadi satu, tapi harus lurus, Ndu. Lo nggak silindris kan matanya?” Bang Rian bertanya padaku usai memberikan contoh bagaimana memotong kertas HVS dalam sekali kerja. Jika dihitung, itu ada dua puluh tiga dan dipotong sekaligus.

“Minus doang, Bang. Tapi masih aman kalau nggak pakai kacamata. Berarti nekennya harus kenceng dong?” tanyaku lagi sebelum menggoreskan pisau silet di atas tumpukan kertas yang sudah dibatasi oleh penggaris besi. Beliau yang kutanyai hanya memberikan respon anggukan kepala, sebab masih ada pekerjaan lain yang harus dilakukan yaitu jilid soft cover. Dalam hatiku berkata, jadi begini cara kerjanya sebuah makalah atau proposal bisa tertata rapi meskipun hanya berakhir di tumpukan lemari atau gudang.

“Jangan ketagihan jadi tukang fotokopian, jangan molor juga kayak gue.” Tiba-tiba Bang Rian mengucap sesuatu yang membuatku langsung melemparkan pandangan ingin tahu ke arahnya. Dalam hatiku menerka, ada apa sebenarnya? Apakah hanya bualan atau basa-basi belaka, atau ini wejangan di tengah-tengah pekerjaan yang tidak sengaja terselipkan?

“Siap, Bang. Ini aja udah mau masuk simulasi sidang.” jawabku sambil merapikan kertas dengan menggunakan penjepit berukuran besar dan kembali menggandakan dokumen dengan kertas buram. Tiba-tiba saja terlintas sebuah ide mengenai apa yang kuucapkan barusan. “Bang Rian, lo nggak mau bocorin simulasi sidang itu kayak gimana?” Aku bertanya memberanikan diri. Tanpa disangka, ia datang dengan buku Dasar Hukum Acara Pidana dan berbisik.

“Traktir bakso Pak Jenggot abis ini, nanti gue bocorin

Aku mengangguk disertai tawa tak tertahankan melihat tingkah jenakanya. Kami segera menyelesaikan pekerjaan sebelum adzan sore berkumandang dan beristirahat dengan menyantap semangkuk bakso di bawah pohon beringin yang rindang.

DEPOK, 2009

JOKI TUGAS

Ada suka duka kehidupan seorang perantau yang hanya mengandalkan uang kiriman dari orang tua (yang terkadang telat) serta uang saku dari beasiswa per bulan. Sudah satu semester sejak aku memijakkan kaki di kota Depok selalu memikirkan hal ini: aku tidak bisa hanya menadahkan tangan dan menunggu uang jatuh dari langit (dalam artian lain uang pemberian).

Bersama Arjuna dan salah seorang teman lainnya yang bernama Satria, kami menjajaki dunia baru dalam kehidupan mahasiswa hanya demi mengais cuan untuk makan siang. Sepuluh ribu rupiah pada masa ini bisa untuk makan sehari dua kali kali dengan lauk yang cukup mewah. Jika ada tiga pekerjaan dalam satu minggu, maka kami tidak perlu memikirkan uang makan selama tiga hari dan bisa menghemat empat hari sisanya dengan uang pegangan.

Menjadi seorang joki tugas bukan pekerjaan haram namun tetap menimbulkan stigma miring yang sering diperbincangkan orang-orang. Katanya, orang-orang seperti kami rela menjual waktu dan kepandaiannya untuk orang malas namun berduit. Aku tidak memusingkan hal seperti itu, di zaman sekarang semuanya butuh uang. Sampai kapan aku harus mempertahankan sifat perfeksionis serta idealisme jika pada nyatanya butuh uang? Toh aku sendiri tidak memberikan seluruh kepintaranku pada mereka yang membutuhkan. Aku hanya menganggapnya sebagai bantuan dan mereka membayarku dengan uang.

“Ndu, boleh minta bantu translate jurnal ini nggak?” “Bisa minta tolong cariin referensi essay atau jurnal?” “Kerjain tugas gue yang ini dong. Nanti gue traktir seminggu. Oke?”

Biasanya aku menjual jasaku kepada mahasiswa luar fakultas maupun kampus, sebab probabilitas mereka mengenal diriku hingga kehidupan personal sangat kecil. Aku tidak perlu juga menggunakan nama samaran terlebih kucing-kucingan untuk bertemu dan melakukan transaksi.

Ada kejadian lucu yang tidak pernah terlupakan sepanjang hidupku. Melalui Satria, aku mendapatkan seorang klien yang merupakan dosen kampus lain untuk membantunya dalam mengerjakan jurnal demi keperluan disertasi. Kami akan bertemu di kantin FIB setelah jam makan siang untuk membahas materi yang akan dibantu setelah ini. Setelah tiba di tempat yang dijanjikan, aku memesan es teh dan mie ayam sambil mengerjakan tugas analisa hukum perdata yang diberikan oleh Bu Mulyani. Baru saja aku menyendokkan satu suapan berupa potongan daging dan sawi hijau, suara seorang pria menyapa rungu hingga membuat diriku menoleh ke arah sumber suara.

“Lindu ya?”

“Iya sayang sendiri. Lho, Pak Widodo──?”

“Kamu ngapain di sini, Ndu?”

“Saya mau bertemu ... Lah, Bapak yang mau minta saya jokikan?”

Aku tak kuasa menahan rasa terkejut hingga volume suaraku menaik. Beruntung tidak ada seorangpun yang memperhatkan hingga Pak Widodo mendekat untuk menarik lenganku agar jarak kami semakin dekat. Beliau adalah salah satu dosen tamu yang sedang menempuh S3 dan satu alumni di De Britto, SMA yang pernah menjadi tempatku menempuh ilmu di Yogyakarta. Sosok Pak Widodo yang terkenal dingin rupanya berbeda jauh dari yang dikatakan orang. Beliau sangat ramah, bahkan aku banyak belajar dari beliau untuk menyusun jurnal internasional. Sebagian adalah isi pikiran dari Pak Widodo, sisanya aku membantu untuk mengembangkan isi jurnal melalui referensi yang sudah beliau beri.

“Ndu, nama kamu perlu saya cantumin nggak?” “Mboten usah, Pak. Traktir saya aja kalau saya mau konsul sama Bapak. Deal?“Deal!

DEPOK, 2008

SELIDIK KASUS

Ini adalah pertama kalinya kelas Hukum Pidana diselenggarakan di aula yang biasa digunakan untuk diskusi skala sedang hingga besar. Tiap mahasiswa terlihat antusias mengikuti mata kuliah bimbingan Ibu Mulyani yang terkenal akrab dengan mahasiswa meskipun usianya sudah menginjak kepala lima.

Bersama Ryan, Hilman, dan Widi aku mengambil deretan kursi nomor dua mengingat aku belum membeli kacamata minus yang bisa membantuku melihat tulisan dalam jarak jauh. Seperti biasa sang ketua kelas memimpin doa sebelum mata kuliah dibuka oleh Ibu Mulyani.

“Seperti yang sudah saya katakan di minggu lalu, pertemuan kali ini kita akan belajar menganalisa atau menyelidiki sebuah kasus. Baik itu hukum pidana maupun perdata. Masih ada yang ingat apa itu perbedaan hukum pidana dan perdata?”

Ibu Mulyani melemparkan pandangan ke seluruh penjuru arah hingga beberapa mahasiswa seperti Devi, Kristian, hingga Yanuar mengangkat tangan. Aku belum memiliki kepercayaan diri untuk menjawab pertanyaan pada bagian pembukaan kelas.

“Hukum pidana itu menitikberatkan kepentingan umum, sedangkan hukum perdata menitikberatkan kepentingan pribadi, Bu.” Devi mulai menjawab dengan penuh percaya diri.

“Kalau dalam keterikatan hakim pada alat pembuktian, pada hukum pidana hakim tidak semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, tetapi juga harus terikat pada keyakinannya sendiri atas kesalahan terdakwa atau beyond reasonable doubt. Sedangkan di hukum perdata hakim hanya semata-mata terikat pada alat bukti yang sah atau preponderance of evidence.” Tanpa diduga Hilman ikut angkat suara yang menghasilkan seluruh tatapan tertuju padanya.

Ibu Mulyani kembali menenangkan kondisi kelas yang mulai ricuh dengan setiap mendapat yang dilontarkan. Kepalanya mengangguk lirih, mengiyakan jawaban dari setiap mahasiswanya yang tidak salah.

“Semuanya benar. Namun pada sifat hukum pidana dan perdata sendiri itu beda. Dalam hukum pidana, hukuman diberikan guna membebankan nestapa kepada si pelaku. Sedangkan dalam hukum perdata, hukuman ditujukan untuk melindungi subjek hukum lain di luar si pelaku.” pungkasnya lagi sebelum membacakan contoh kasus diskusi. Rasa penasaran dan antusias kembali menyelimuti hingga menghasilkan bisik hingga ricuh pada setiap sudut ruangan aula. Bagaimana tidak? Beberapa mahasiswa di luar jurusan Ilmu Hukum turut menyaksikan proses perkuliahan kami.

Aku kembali berkonsentrasi dan memperhatikan Ibu Mulyani yang kembali menerangkan mata kuliah mengenai hukum pidana dengan fasih. Bahkan beliau menghiraukan presentasi yang sudah terpampang pada layar proyektor dan mengeluarkan seluruh isi kepalanya tanpa ada cela maupun keliru sedikitpun.

“Kita langsung ke kasus pertama kalau begitu, ya.” Ibu Mulyani memberi jeda beberapa saat, pertanda contoh soal yang akan dibacakan sangat panjang sehingga kami tidak boleh melewatkan setiap detail yang terucap.

Pada tanggal 7 Januari 1982, Karl LaGrand dan Walter LaGrand, dua orang warga negara Jerman yang telah tinggal di Amerika Serikat sejak berusia 3 tahun, melakukan sebuah perampokan bersenjata yang menewaskan 1 orang warga Negara Amerika dan melukai 1 orang lainnya. Berdasarkan putusan yang dibuat oleh Lembaga Peradilan Amerika Serikat, LaGrand bersaudara dijatuhi hukuman mati dengan dakwaan tindakan terorisme. LaGrand bersaudara tidak diinformasikan sehubungan dengan adanya hak pendampingan konsuler berdasarkan Vienna Convention of Consular Relation (VCCR) 1963, dan pemerintah Amerika Serikat pun tidak memberitahukan Kantor Konsuler Pemerintah Jerman di wilayahnya (Marana, Arizona) akan tertangkapnya dan diadilinya 2 orang warga Negara Jerman. LaGrand bersaudara pun mengajukan permohonan asistensi konsuler agar mendapatkan keringanan putusan. Namun pemerintah Amerika Serikat tidak menggubris permohonan ini. Karl LaGrand dieksekusi dengan menggunakan metode suntik mati pada 24 Februari 1999. Sedangkan Walter LaGrand dieksekusi dengan metode gas chamber pada 3 Maret 1999. Beberapa jam sebelum eksekusi Walter LaGrand, pemerintah Negara Jerman mengajukan permohonan ke ICJ untuk mendapatkan Provisional Court Order untuk menunda eksekusi Walter LaGrand, namun US Supreme Court menyatakan bahwa ICJ tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus ini dan tetap menajalankan eksekusi Walter LaGrand.

“Silakan keluarkan pendapat kalian tentang kasus ini. Tidak perlu terburu-buru dan harus berhati-hati dalam menganalisa, ya.” ucap Ibu Mulyani lagi yang kini memperhatikan setiap mahasiswanya dengan saksama. Mereka nampak sibuk berdiskusi dengan teman maupun pikirannya sendiri, termasuk diriku yang kembali mencatat setiap detail yang terucap.

Dengan penuh kepercayaan diri aku mengangkat tangan, masa bodoh kalau salah. Yang penting aku mendapatkan poin dan bisa turut berpartisipasi dalam diskusi ini secara lisan.

Kalau menurut saya, dalam kasus ini dapat ditemukan adanya pelanggaran dalam salah satu pasal dari Konvensi Wina oleh Amerika Serikat, yaitu Amerika Serikat tidak memberitahukan terlebih dahulu baik kepada warga Negara asing yang diadili maupun kepada kantor konsuler Negara yang bersangkutan bahwa ada warga negaranya yang terjerat dalam proses hukum. Padahal dalam Konvensi Wina tentang hubungan konsuler tahun 1963 memberikan hak kepada individu berdasarkan makna yang jelas, dan bahwa hukum yang berlaku di suatu negara tidak bisa tidak bisa membatasi hak-hak terdakwa di bawah konvensi, tetapi hanya menentukan dimana hak-hak tersebut dilaksanakan dan berlaku.

Ibu Mulyani nampak mengernyitkan dahi saat menyimak jawabanku barusan, “Itu sudah bagus, Ndu. Cuma ada yang kurang. Ada yang bisa menambahkan?”

Yanuar kembali mengangkat tangan dan membaca catatan pada bukunya.

Apabila ada warga negara asing dari Sending State yang terjerat proses hukum, maka Receiving State juga harus memberitahukan kepada warga negara asing yang bersangkutan mengenai haknya untuk didampingi oleh perwakilan konsuler dari negaranya. Inilah alasan bahwa Amerika Serikat telah melanggar Konvensi Wina tahun 1963 yang telah disepakati bersama itu.

“Nah, kalau begini jawabannya sudah lengkap. Terima kasih untuk Lindu dan Yanuar. Setelah ini saya akan memberikan tugas analisa kasus perdata yang sudah saya tampikan di proyektor, ya. Deadlinenya sebelum kelas saya minggu depan, dikumpulkan melalu surel saya.” ucap Ibu Mulyani lagi setelah menuliskan poin berupa angka pada daftar nama siswa yang selalu dibawa. Ada rasa puas meskipun jawabanku tadi tidak lengkap.

Tidak terasa kelas berakhir dengan diskusi kasus pidana tanah air yang sempat menciptakan perdebatan sengit di kelas. Kini saatnya aku bersama Hilman dan Adit pergi ke kantin dan perpustakaan untuk mengisi perut sebelum mengerjakan tugas.

DEPOK, 2008

UJIAN SEMESTER

Ruangan kelas nampak lebih sunyi dibanding biasanya meskipun diisi oleh tiga puluh lima mahasiswa yang sedang bercokol dengan pikirannya masing-masing. Bagaimana tidak? Mata kuliah Hukum Administrasi Negara yang dikenal memiliki banyak hafalan dan penalaran dibanding mata kuliah yang sudah kami geluti sampai tiga semester. Bahkan Hilman, ketua kelas yang terkenal memiliki nilai tertinggi pada tiap mata kuliah masih terlihat terpaku dengan lima soal pada selembar kertas yang diagihkan oleh Pak Budiono, dosen mata kuliah HAN (Hukum Administrasi Negara) yang terkenal lebih sering memberikan diskusi dibanding materi. Menurut beliau, ilmu berupa materi tertulis bisa didapatkan dimanapun, mulai dari buku perpustakaan hingga internet dengan sumber yang kredibel. Namun sebagai mahasiswa Ilmu Hukum, kita harus dilatih untuk berdiskusi dan memecahkan sebuah masalah dalam sebuah kasus dibanding menghafal sederetan pasal—yang mana hal itu menjadi sebuah stereotipe jika: jurusan hukum banyak hafalannya, pusing.

Padahal kau saja yang malas belajar. Di mana-mana, semua jurusan pasti ada hafalannya!

Aku masih berusaha memecahkan soal nomor dua tentag deviasi perbuatan pemerintah yang dimulai dari pelanggaran hukum, detournement de pouvoir, daad van willekiur, sampai dengan sanksi administratif serta kumulatif yang dicontohkan pada sebuah kasus. Bagaimana aku harus menjabarkan enam puluh persen hafalanku di dalam otak untuk menjelaskan ini semua? Belum lagi dengan istilah bahasa Latin yang tidak boleh salah sehurufpun atau satu nomor akan salah semua.

“Tiga puluh menit lagi. Kala sudah, silakan letakkan lembar jawaban di atas meja saya!”

Ingin rasanya aku melontarkan umpatan maupun sumpah serapah yang tidak mungkin dikeluarkan saat ini. Dua nomor saja belum dikerjakan, waktunya sudah mau habis? Bagaimana waktu bisa berlalu secepat ini? Atau kami saja yang sedari tadi buang-buang waktu dengan menatap pada nomor tertentu saja? Padahal jika sulit, aku bisa melompatinya dengan mengerjakan soal nomor empat yang meminta penjabaran Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), sebab bagian itu masuk dalam hafalanku semalam.

Jika aku sedang berada di layar kaca televisi, animasi berupa lampu bohlam benderang akan muncul seketika di atas kepala beserta senyum sumringah. Aku segera menuliskan jawaban pada soal nomor empat dalam waktu singkat, mengingat waktu yang kami miliki sudah hampir habis.

“Pak, nggak ada perpanjangan waktu?”

Galilea, salah satu siswa penerima beasiswa yang memiliki indeks prestasi tertinggi ketiga setelah Hilman dan diriku mengacungkan tangan disaat kami sedang menumpahkan seluruh fokus pada lembar jawaban. Sontak seluruh pandangan—tiga puluh lima raut wajah termasuk Pak Budiono tertuju padanya tanpa ekspresi yang bisa dideskripsikan.

“Ya sudah, sepuluh menit lagi. Jangan lama-lama, ya. Habis ini saya ada pertemuan dekan.”

Pak Budiono menjawab tanpa menoleh ke arah Galilea dan memilih untuk berkutat dengan buku HAN miliknya yang nampak usang termakan oleh waktu dan rayap pada bagian ujung sampul. Sedangkan diriku kembali berkutat pada soal nomor dua setelah empat nomor berhasil diselesaikan dengan cepat.

Kini aku menggunakan jurus the power of kepepet dan menuangkan seluruh isi pikiranku ke dalam selembar kertas HVS yang mulai nampak lusuh oleh tinta berserta cairan pengoreksi (Tipe-X) pada lembar bagian belakang, sehingga kadang menimbulkan aroma yang kuat dan seakan berhasil membiusku. Katanya, itu sejenis narkoba murah.

Empat puluh menit berlalu. Seluruh mahasiswa mengumpulkan lembar jawaban termasuk diriku yang sudah pasrah dengan keadaan. Aku hanya berharap semoga nilaiku tidak turun, atau semisal stuck juga tidak masalah. Aku hanya tidak ingin beasiswaku dicabut hanya karena satu mata kuliah saja.

Semoga Tuhan mendengarkan doa hamba sahaya yang sudah bersusah payah dan berjuang untuk ujian semester hari ini.

DEPOK, 2008

TERUNTUK TANYA PURNAMA DANUMAYA

SELAMAT ULANG TAHUN, TANYA

Dua puluh satu Februari tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh empat. Pada saat itu, cuaca sedang tidak bersahabat dengan jatuhnya rinai hujan yang membasahi bumi pertiwi sepanjang bulan Februari. Ada yang bilang itu salah satu rezeki yang tak terkira dari Tuhan, namun rupanya Ia memberikan berkat lebih pada sebuah keluarga kecil yang selalu digaduhkan dengan dua anak laki-lakinya yang setiap hari berebut mainan.

PRATAMA DAN LINDU. Dua anak laki-laki dengan celotehannya tengah menanti kedatangan sang adik baru dengan harap-harap cemas. Tidak ada keributan yang biasa mereka perdebatkan hingga membuat Ibu mengomel. Keduanya termangu di depan pintu teras sambil menghitungi berapa kali burung bercicit usai hujan mengguyur Yogyakarta sejak pagi.

“Kira-kira, adik kita bakal laki-laki atau perempuan ya, Mas?”

“Cowok aja lah, mengko ben iso di ajak bal-balan. Tapi kalau cewek ya nggak masalah. Seng penting sehat.”

“Kata Ibu, kalau cewek namanya Tanya. Kalau cowok ... nggak tahu deh, Mas. Tapi aku mau manggilnya Dek Tanya dulu!”

Lindu mengambil kertas kosong milik Ibu di atas meja dengan pena yang sudah dibuka penutupnya. Dengan segala kemampuannya, kini ia menorehkan huruf demi huruf tanpa sepengetahuan Mas Tama.

Bahkan aku tetap tegar tanpa diminta, meski ranting dan daun-daun kering meninggalkan batang dengan nelangsa mati terkapar di atas akar-akar, dan ruhnya memeluk kuat membantuku tumbuh kian besar aku bernyawa panjang daun dan bunga berlomba memberiku warna

Ada yang bilang jika di hari peringatan kelahiran, akan ada hal menakjubkan yang tidak pernah kita duga. Mungkin saat ini kita belum pernah saling bertatap muka, namun ikatan batin kita sangat kuat

Terima kasih sudah hadir dan lahir di dunia ini, Dek Tanya. Mas Lindu dan Mas Tama sayang sama Dedek. Sangat sayang. Semoga Tuhan selalu melindungi Dedek kapanpun dimanapun, dimudahkan setiap jalannya, dijauhkan dari hal-hal yang membuat hati duka, ditambahkan bahagia serta gembiranya, Tumbuhlah seperti pohon yang menjulang tinggi ke angkasa, Meskipun diterpa angin, kamu akan tetap tegar dan membahana

SALAM SAYANG

Kakak keduamu, LINDU AJI GASENDRA

MERANTAU

MERANTAU

Suara mesin kereta api yang bergesekan dengan rel kembali memekakan telinga, bersamaan dengan klakson sebagai penanda jika kereta akan segera berhenti di tempat tujuan selanjutnya. Puluhan orang berbondong-bondong masuk ke dalam gerbong dengan satu atau dua tas besar yang ada di genggaman tangan, sementara ada yang menggunakan jasa porter bagi mereka yang memiliki uang lebih.

Meskipun aku tinggal di Yogyakarta, kedatanganku ke Stasiun Lempuyangan bisa dihitung dengan jari. Keluargaku lebih memilih menggunakan Stasiun Tugu (sekarang namanya Stasiun Yogyakarta) sebab jarak dari rumah lebih dekat. Sesekali aku memerhatikan betapa canggihnya kereta yang bisa berjalan di atas besi pipih yang ditata sedemikian rupa hingga membentuk sebuah jalur khusus. Berterima kasihlah kepada kakek moyang kita di zaman penjajahan dulu yang mengerahkan seluruh tenaganya untuk membangun itu semua dan berguna bagi anak cucunya.

“Mas Ndu, kalau sudah sampai kos langaung sms Ibuk nggih”

“Kalau berasnya kurang, nanti biar Bapak kirimin.”

Ucapan dari kedua orang tuaku yang tengah mengantar kepergianku sontak membuatku tertawa. Untuk pertama kalinya anak keduanya merantau ke Depok guna melanjutkan pendidikan, mungkin ini kali pertamanya mereka harus 'melepas' putra mereka dari rumah, mengingat Mas Tama hanya berkuliah di UGM sehingga bisa tetap tinggal di rumah.

“Nanti beli aja di sana gak papa, Pak. Kalau udah mapan, nanti nyari kerja sambilan. Pakai uang saku beasiswa tok ya 'ndak cukup to, Pak, Bu.” sahutku saat itu dengan nada sungkan dan tidak ingin merepotkan mereka terlalu banyak.

“Ya sudah, kamu yang paham sama kondisimu. Ibu sama Bapak cuma mendukung aja, Le. Pokoknya jangan sungkan buat minta uang jajan atau kos, ojok kerja aneh-aneh lho ya di sana.” pinta Ibu lagi dengan satu tepukan pada bahu kanan sembari berjalan beriringan menuju batas pengantar yang berjarak beberapa meter saja.

Aku membalasnya dengan sebuah anggukan kepala sebelum melewati tanda pembatas di mana kedua orang tuaku mau tak mau menghentikan langkah mereka. Inilah kali terakhirnya aku melihat Bapak dan Ibu yang tengah melambaikan tangan dengan mengucap kata-kata perpisahan serta doa agar diriku selamat sampai tujuan.

Ada rasa sedih ketika aku harus meninggalkan rumah, berpisah dengan orang tua dan saudara untuk menggapai cita-cita. Namun jika aku tidak berani mengambil keputusan ini, aku tidak pernah bisa maju karena stuck di titik yang sama alias zona nyaman. Ada pula yang harus dikorbankan demi meraih sebuah kesuksesan, bukan?

Sebuah kereta melaju perlaham dari arah timur, bersamaan itu pula suara pengumuman dari pengeras suara berkumandang dan memberitahu jika kereta tumpanganku telah tiba. Dengan hati-hati aku masuk ke dalam gerbong dan mencari nomor kursi yang tertera pada tiket milikku. Rupanya tidak butuh waktu lama untuk mencaro nomor belasan dengan angka ganjil di belakang, aku segera meletakkan dua tas besar di rak atas dan memosisikan diri untuk duduk di pinggir jendela.

Samar-samar aku melihat pantulan bayangan Bapak dan Ibu yang masih menatap ke arahku dengan lambaian tangan. Aku membalasnya dengan melakukan ha serupa meskipun dalam hati agak enggan. Pasalnya, aku masih sedih dan tidak sanggup berpisah dari orang-orang rumah.

Yogyakarta, mari kita bertemu enam bulan lagi. Tolong jangan banyak berubah, sehingga ketika aku pulang, aku tetap mengenali sosokmu yang selalu membuatku rindu dengan rumah.

YOGYAKARTA, 2006

KEADILAN

Helaan napas gusar berkali-kali berembus dari belah bibir dengan segumpal pemikiran yang tidak kunjung menemukan solusi. Entah apa yang merasuki saya, ketika dalam kondisi sulit seperti ini justru saya memilih untuk menyaksikkan film dokumenter yang membahas tentang perjuangan warga Indonesia hampir dua puluh empat tahun silam.

Pada masa itu, saya sering melihat Bapak mondar mandir keluar kota bahkan jarang berpamitan kepada keluarga (mungkin hanya dengan Ibu saja) guna menunaikan tugasnya. Rupanya ia tengah menunaikan tugas negara yang tak bisa ditawar apalagi dihindari, mengingat sumpah yang telah terucap harus ditepati.

Bulan Mei, tahun seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan. Salah satu sejarah yang ditoreh oleh Bangsa Indonesia untuk memperjuangkan demokrasi dan keadilan, melawan pemerintahan yang saat itu bisa dibilang sebagai diktator.

Kalau A ya harus A, atau nyawamu nanti yang hilang.

Jika aku tahu konsekuensinya akan seperti itu, aku akan merengek kepada Bapak agar tidak keluar rumah dan bertugas. Apadaya pada saat itu yang aku tahu hanya di pertengahan bulan Mei, sekolah diliburkan dengan alasan belajar di rumah saja.

Bapak, ratusan tentara lain yang bertugas, mahasiswa yang turun ke jalan untuk menyuarakan keadilan adalah saksi hidup sejarah pada saat itu, di mana mereka saling bahu membahu untuk memperjuangkan satu kata: keadilan. Meskipun begitu, ada hal yang membuat saya miris hingga saat ini, bahwa keadilan tidak bisa dirasakan oleh semua orang. Kalau kata netizen Twitter: Keadilan sosial bagi rakyat goodlooking atau memiliki uang. Salah satu keresahan akan keadilan adalah keadilan akan hukum di negeri ini.

Faktanya kepastian hukum semakin hari hari semakin tidak menentu, keadilan yang segala-galanya menjadi segalau-galaunya. Yang berjuang mati-matian tidak mendapatkan apapun sedangkan yang biasa saja mendapatkan banyak. Hidup kadang selucu itu.

Tumpul keatas dan tajam menghujam kebawah. Layaknya sebuah permainna pada panggung sandiwara, keadilan dan hukum terus berjalan, yang salah bisa benar begitu pula sebaliknya. Jika seperti itu, apa guna Yang Terhormat Ibu atau Bapak Hakim, Jaksa, dan Pembela jika keadilan bisa ditukar dengan uang?

Sampai akhirnya saya berada di satu titik: apakah yang saya lakukan saat ini suda benar? Apakah saya bisa membantu mereka yang tak bersala atau bersalah untuk memperoleh keadilan hukum di negeri ini?

Jakarta, 2022. Sebuah pergumulan pikiran yang ditulis dengan secangkir kopi sambil menatap rak buku.

PENGUMUMAN

PENGUMUMAN

Biasanya orang-orang akan merayakan sebuah momen terpenting dalam hidupnya dengan berbagi kebahagiaan dan tawa, meskipun hanya sekadar minum kopi serta pisang goreng sebagai kudapan di warteg. Berbincang ngalor ngidul dengan disisipi jokes ala tongkrongan yang membuat suasana menjadi pecah. Jangan lupakan sebatang rokok meskipun hanya disesap sebentar untuk menikmati sensasi manis pahit pada kandungan lintingan tembakau.

Hari ini adalah pengumuman kelulusan. Bapak Kepala Sekolah mengumandangkan melalui pengeras suara usai doa pagi jika seluruh siswa kelas tiga lulus. Riuh tak terbendung, semuanya menumpahkan sukacita di dalam kelas hingga berhamburan ke kantin atau tempat makan terdekat. Tidak ada konvoi terlebih acara corat-coret baju seperti tahun lalu, sebab penjagaan yang dilakukan oleh petugas polisi lebih ketat dan kata Bapak Kepala Sekolah, “Kalian pilih corat coret atau tidak lulus?”. Ciutlah jiwa bebas beberapa di antara mereka yang sudah membeli pilok untuk memberikan kenang-kenangan berupa tanda tangan pada seragam bagian belakang atau kata mutiara (kau pikir kau ini artis?).

Sebuah kebetulan bahwa pengumuman kelulusan bertepatan dengan pengumuman masuk kampus; orang-orang menyebutnya dengan SNMPTN. Ada tiga kampus yang aku daftar, bayangkan saja betapa gugupnya diri ini yang sedari tadi menahan rasa penasaran yang hendak membuncah di dada. Bagaimana jika aku tidak lulus di tiga kampus itu? Apakah aku harus masuk kampus swasta, mengikuti ujian masuk lain, atau menunggu tahun depan? Jujur saja, mengandalkan nilai rapot dan beberapa piagam masih membuatku pesimis untuk mendaftarkan diri di kampus negeri yang memiliki reputasi terbaik di Indonesia. Kini aku hanya bisa berpasrah, berdoa sembari mondar-mandir di depan ruang BP untuk menunggu pengumuman bersama belasan siswa lainnya yang mengikuti ujian masuk kampus.

“Kamu daftar di UGM to? Di sana passing grade buat jurusan sosial lebih tinggi lho. Katane tahun ini cuma nerima 70 siswa aja.”

“Kayake kalau aku gak keterima, mau nunggu tahun depan aja. Ibuku pengen banget aku di ITB, biar sama kayak Bapak.”

Beberapa obrolan yang menyapa telinga semakin membuat perasaanku tidak karuan. Entah sudah berapa kali aku mengusap telapak tangan yang dingin dan basah akan keringat lantaran saking gugupnya.

Sosok Pak Budiman, guru BP kami keluar dengan selembar kertas yang ditempelkan di kaca. Seketika kami langsung mengerumuni kaca depan ruangan BP bagaikan semut yang baru saja menemukan gula. Pengumuman yang baru saja dicetak satu menit lalu langsung dipasang, menampilkan beberapa nama kami yang lolos masuk deretan kampus negeri di Indonesia.

Jantungku bekerja semakin keras hingga hampir saja lompat dari tempatnya. Rasa sesak yang menggumul sedari tadi di dada seketika membuat diriku menitikkan air mata tanpa suara. Aku tidak bisa membayangkan betapa bangganya Ibu dan Bapak jika melihat pengumuman ini secara langsung. Anak kedua—anak yang memiliki stigma jarang diperhatikan dan semaunya sendiri kini berhasil membuat keluarga bangga akan hasil kerja keras selama tiga tahun.

Tuhan, terima kasih atas berkat dan pengasihanMu yang tak terkira serta sukacita yang tiada putusnya pada hari ini. Semua ini tidak akan terjadi tanpa campur tanganMu, dan aku percaya apa yang Engkau berikan akan menjadi berkat bagi diri sendiri dan orang-orang di sekitar.

Lindu Aji Gasendra, dinyatakan diterima di Universitas Indonesia pada program studi Ilmu hukum melalui jalur SNMPTM dan mendapatkan beasiswa bidik misi jalur prestasi.

YOGYAKARTA, 2006

PENENTUAN

Ada yang bilang jika Ujian Nasional merupakan sebuah penentuan hasil belajar kita selama tiga tahun di sekolah dengan empat mata pelajaran. Namun tidak sedikit pula mereka yang merasa takut dan menjadikan hal-hal tersebut menjadi momok, membuat beberapa siswa insyaf dadakan, lebih dekat dengan Sang Pencipta agar diberikan kemudahan serta hasil dengan tulisan LULUS. Jika Tuhan bisa protes seperti manusia, mungkin Ia akan berkata, “Bagaimana bisa kau mendatangiku dengan kalimat permohonan yang diselipkan puji-pujian untuk meminta kelulusan? Apakah Aku sosok yang hanya didatangi saat dibutuhkan saja?”

Pagi yang syahdu di Senin pertama dipenuhi oleh siswa kelas tiga dengan seragam abu-abu. Separuh dari mereka naik ke lantai dua, sebagian di lantai pertama dengan kelas yang diisi dua puluh siswa. Rasa gugup dan antusias bercampur menjadi satu mengingat hari pertama adalah ujian pelajaran Bahasa Indonesia yang membutuhkan penalaran serta hafalan (sedikit).

Deg-degan banget, ini soalnya kayak yang di bimbel gak ya?

Eh, mengko nek aku rak iso nggarap, aku nyonto yo.

Nanti seng ngawasin dari sekolah lain ya? Ada yang kenal nggak?

Celotehan demi celotehan para siswa menyapa rungu tatkala mataku masih mempelajari soal-soal ujian di tahun lalu. Sebagian ada yang membutuhkan ketelitian dalam membaca, namun tidak sedikit yang membutuhkan penalaran serta logika. Jika tidak ada yang mirip, setidaknya aku akan memilih jawaban yang paling mendekati.

Halah Bahasa Indonesia ki gampang. Mosok ambek bahasane dewe ora iso?

Celetukan dari salah satu siswa yang duduk di deretan depan lantas membuatku memijit dai. Bukan karena aku terlalu ambisius atau egois, ada satu dua hal yang ingin aku gapai jika pada ujian ini aku bisa lulus dengan nilai yang tinggi. Teruntuk Beni—siswa yang baru saja membuatku geleng-geleng kepala akan omong besarnya, awas saja dia membuat gaduh lantaran meminta bantuan atau jawaban pada teman-temannya.

Bel berbunyi melalui pengeras suara, disusul dengan doa pagi yang dilantunkan oleh Pak Roro, salah satu guru bagian kesiswaan. Seketika suasana hening dengan sedikit bisik-bisik yang diucap oleh mereka kepada Tuhannya. Bersamaan itu pula, seorang pengawas yang merupakan guru pria dari sekolah tetangga datang dengan dua amplop cokelat yang dibagikan usai membaca doa. Berbagai ekspresi terpampang pada paras, ada rasa puas ketika sebagian besar soal begitu familiar di otak. Ternyata tidak sulit juga, ya.

Dengan penuh kemantapan, aku membulatkan huruf demi huruf usai membulatkan nama dan nomor ujian, berharap agar rasa senang ini selalu lekat sampai soal terakhir.

Semoga hari pertama yang penuh sukacita ini adalah awal yang baik hingga hari terakhir ujian.

YOGYAKARTA, 2006

KALI PERTAMA

Bel berbunyi tiga kali, dengan jeda dua detik pada setiap bunyinya. Derap langkah siswa laki-laki dengan balutan seragam putih abu-abu keluar dari kelas berhamburan ke berbagai arah, ada yang berbelok ke perpustakaan untuk mengembalikan buku, sebagian ada yang pergi ke kantin Bu Wagiman yang terkenal akan soto ayamnya. Waktu itu, dengan harga seribu rupiah kita sudah bisa menikmati seporsi soto ayam berukuran besar dan es teh, ditambah dengan satu sate usus dan gorengan yang berupa tahu isi.

Entah ada angin apa kali ini aku tidak merasa lapar, justru suntuk menerpa setelah pelajaran Matematika yang begitu menguras otak. Sebagai orang yang lemah dalam mata pelajaran hitung-hitungan, aku selalu berharap setiap detiknya akan berlalu dengan cepat. Namun empat puluh lima menit bukanlah waktu yang sebentar, mengingat sebagian waktu diisi dengan mengerjakan soal dan diskusi mengenai rumitnya mencari determinan dan invers matriks. Suara menguap saling bersahutan di deretan kursi belakang, justru salah satu temanku di bangku paling pojok bisa menyenderkan kepala di atas meja sekitar sepuluh menit hingga meninggalkan air liur pada LKS nya.

“Edan, nguantuk banget. Pengen mbolos rasane.” Tanpa sadar aku meloloskan kekesalanku di hadapan Radit beserta Bima yang keluar dari kelas, kemudian mengayunkan tungkai dengan langkah gontai menuju pojokan kelas X-B.

“Mending ngudud bareng. Pas razia rokok kemarin tak umpetin di kaos kakiku lho.” ucap Radit dengan bangga sembari memperlihatkan satu bungkus rokok berwarna merah beserta pemantik dengan warna senada. Dahiku mengernyit kala rasa heran menghinggapi. Dalam hati, apa yang bisa kita nikmati dari sebatang rokok? Namun bukan namanya Lindu Aji Gasendra alias diriku jika tidak memiliki rasa penasaran yang tinggi. Aku sendiri tidak pernah melihat Mas Tama atau Bapak merokok di hadapan, meskipun beberapa kali aku kerap mendapati abu rokok atau aroma bakaran tembakau di teras rumah.

“Ayo lah, nyoba satu tok. Mesti langsung enteng tuh kepalamu.” Bima menambahkan dengan bangga. Sebagai sosok yang dikenal perokok aktif, ia sudsh terbiasa dengan rokok dan kopi di umur belasan tahun.

Perlahan keyakinanku mulai goyah dengan godaan yang muncul dari Radit atau Bima. Bahkan Bapak atau kakakku sendiri mungkin melakukan hal yang sama. Memangnya sebagai seorang laki-laki aku tidka boleh melakukan hal serupa?

Atau mungkin merokok adalah salah satu cara menunjukkan kemaskulinan seorang pria di hadapan keluarga dan lingkungan masyarakat?

Aku tidak banyak bicara dan lekas memberikan anggukan kepala. Pojok kelas X-B yang berdekatan dengan juntaian pohon bambu membuat sinar matahari terhalang sehingga tempat ini terlihat lebih gelap. Sebatang rokok telah terapit di antara jari telunjuk dan tengah, kemudian Radit membantuku untuk menyalakan korek api gas sebelum kuhirup asap dan aromanya yang sangat asing di indera penciuman.

“Uh—uhuk! Aduh, kok rasane ngene yo?” Hampir saja aku membuang lintingan tembakau dan menginjaknya, namun aku menghargai pemberian Bima yang dibeli dengan uang.

“Coba mbok sesep meneh. Alon-alon, Ndu.” Bima membantuku dan memberikan contoh bagaimana menghisap rokok, menikmati setiap aromanya yang membuat paru-paruku hampir terbakar.

Aku kembali terdiam sebelum menirukan apa yang dilakukan oleh Bima dan Radit. Perlahan aku menyesap batang dengan gabus di bagian ujung yang memiliki rasa manis. Aroma tembakau yang sudah mulai bersahabat dengan anggita tubuhku perlahan menyusup masuk dari mulut menuju tenggorokan, kepulan asap kecil keluar dari celah bibir dengan senyum bangga di hadapan kedua temanku.

Akhirnya aku merokok juga, untuk pertama kalinya.