
Ini adalah pertama kalinya kelas Hukum Pidana diselenggarakan di aula yang biasa digunakan untuk diskusi skala sedang hingga besar. Tiap mahasiswa terlihat antusias mengikuti mata kuliah bimbingan Ibu Mulyani yang terkenal akrab dengan mahasiswa meskipun usianya sudah menginjak kepala lima.
Bersama Ryan, Hilman, dan Widi aku mengambil deretan kursi nomor dua mengingat aku belum membeli kacamata minus yang bisa membantuku melihat tulisan dalam jarak jauh. Seperti biasa sang ketua kelas memimpin doa sebelum mata kuliah dibuka oleh Ibu Mulyani.
“Seperti yang sudah saya katakan di minggu lalu, pertemuan kali ini kita akan belajar menganalisa atau menyelidiki sebuah kasus. Baik itu hukum pidana maupun perdata. Masih ada yang ingat apa itu perbedaan hukum pidana dan perdata?”
Ibu Mulyani melemparkan pandangan ke seluruh penjuru arah hingga beberapa mahasiswa seperti Devi, Kristian, hingga Yanuar mengangkat tangan. Aku belum memiliki kepercayaan diri untuk menjawab pertanyaan pada bagian pembukaan kelas.
“Hukum pidana itu menitikberatkan kepentingan umum, sedangkan hukum perdata menitikberatkan kepentingan pribadi, Bu.” Devi mulai menjawab dengan penuh percaya diri.
“Kalau dalam keterikatan hakim pada alat pembuktian, pada hukum pidana hakim tidak semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, tetapi juga harus terikat pada keyakinannya sendiri atas kesalahan terdakwa atau beyond reasonable doubt. Sedangkan di hukum perdata hakim hanya semata-mata terikat pada alat bukti yang sah atau preponderance of evidence.” Tanpa diduga Hilman ikut angkat suara yang menghasilkan seluruh tatapan tertuju padanya.
Ibu Mulyani kembali menenangkan kondisi kelas yang mulai ricuh dengan setiap mendapat yang dilontarkan. Kepalanya mengangguk lirih, mengiyakan jawaban dari setiap mahasiswanya yang tidak salah.
“Semuanya benar. Namun pada sifat hukum pidana dan perdata sendiri itu beda. Dalam hukum pidana, hukuman diberikan guna membebankan nestapa kepada si pelaku. Sedangkan dalam hukum perdata, hukuman ditujukan untuk melindungi subjek hukum lain di luar si pelaku.” pungkasnya lagi sebelum membacakan contoh kasus diskusi. Rasa penasaran dan antusias kembali menyelimuti hingga menghasilkan bisik hingga ricuh pada setiap sudut ruangan aula. Bagaimana tidak? Beberapa mahasiswa di luar jurusan Ilmu Hukum turut menyaksikan proses perkuliahan kami.
Aku kembali berkonsentrasi dan memperhatikan Ibu Mulyani yang kembali menerangkan mata kuliah mengenai hukum pidana dengan fasih. Bahkan beliau menghiraukan presentasi yang sudah terpampang pada layar proyektor dan mengeluarkan seluruh isi kepalanya tanpa ada cela maupun keliru sedikitpun.
“Kita langsung ke kasus pertama kalau begitu, ya.” Ibu Mulyani memberi jeda beberapa saat, pertanda contoh soal yang akan dibacakan sangat panjang sehingga kami tidak boleh melewatkan setiap detail yang terucap.
Pada tanggal 7 Januari 1982, Karl LaGrand dan Walter LaGrand, dua orang warga negara Jerman yang telah tinggal di Amerika Serikat sejak berusia 3 tahun, melakukan sebuah perampokan bersenjata yang menewaskan 1 orang warga Negara Amerika dan melukai 1 orang lainnya. Berdasarkan putusan yang dibuat oleh Lembaga Peradilan Amerika Serikat, LaGrand bersaudara dijatuhi hukuman mati dengan dakwaan tindakan terorisme. LaGrand bersaudara tidak diinformasikan sehubungan dengan adanya hak pendampingan konsuler berdasarkan Vienna Convention of Consular Relation (VCCR) 1963, dan pemerintah Amerika Serikat pun tidak memberitahukan Kantor Konsuler Pemerintah Jerman di wilayahnya (Marana, Arizona) akan tertangkapnya dan diadilinya 2 orang warga Negara Jerman. LaGrand bersaudara pun mengajukan permohonan asistensi konsuler agar mendapatkan keringanan putusan. Namun pemerintah Amerika Serikat tidak menggubris permohonan ini. Karl LaGrand dieksekusi dengan menggunakan metode suntik mati pada 24 Februari 1999. Sedangkan Walter LaGrand dieksekusi dengan metode gas chamber pada 3 Maret 1999. Beberapa jam sebelum eksekusi Walter LaGrand, pemerintah Negara Jerman mengajukan permohonan ke ICJ untuk mendapatkan Provisional Court Order untuk menunda eksekusi Walter LaGrand, namun US Supreme Court menyatakan bahwa ICJ tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus ini dan tetap menajalankan eksekusi Walter LaGrand.
“Silakan keluarkan pendapat kalian tentang kasus ini. Tidak perlu terburu-buru dan harus berhati-hati dalam menganalisa, ya.” ucap Ibu Mulyani lagi yang kini memperhatikan setiap mahasiswanya dengan saksama. Mereka nampak sibuk berdiskusi dengan teman maupun pikirannya sendiri, termasuk diriku yang kembali mencatat setiap detail yang terucap.
Dengan penuh kepercayaan diri aku mengangkat tangan, masa bodoh kalau salah. Yang penting aku mendapatkan poin dan bisa turut berpartisipasi dalam diskusi ini secara lisan.
Kalau menurut saya, dalam kasus ini dapat ditemukan adanya pelanggaran dalam salah satu pasal dari Konvensi Wina oleh Amerika Serikat, yaitu Amerika Serikat tidak memberitahukan terlebih dahulu baik kepada warga Negara asing yang diadili maupun kepada kantor konsuler Negara yang bersangkutan bahwa ada warga negaranya yang terjerat dalam proses hukum. Padahal dalam Konvensi Wina tentang hubungan konsuler tahun 1963 memberikan hak kepada individu berdasarkan makna yang jelas, dan bahwa hukum yang berlaku di suatu negara tidak bisa tidak bisa membatasi hak-hak terdakwa di bawah konvensi, tetapi hanya menentukan dimana hak-hak tersebut dilaksanakan dan berlaku.
Ibu Mulyani nampak mengernyitkan dahi saat menyimak jawabanku barusan, “Itu sudah bagus, Ndu. Cuma ada yang kurang. Ada yang bisa menambahkan?”
Yanuar kembali mengangkat tangan dan membaca catatan pada bukunya.
Apabila ada warga negara asing dari Sending State yang terjerat proses hukum, maka Receiving State juga harus memberitahukan kepada warga negara asing yang bersangkutan mengenai haknya untuk didampingi oleh perwakilan konsuler dari negaranya. Inilah alasan bahwa Amerika Serikat telah melanggar Konvensi Wina tahun 1963 yang telah disepakati bersama itu.
“Nah, kalau begini jawabannya sudah lengkap. Terima kasih untuk Lindu dan Yanuar. Setelah ini saya akan memberikan tugas analisa kasus perdata yang sudah saya tampikan di proyektor, ya. Deadlinenya sebelum kelas saya minggu depan, dikumpulkan melalu surel saya.” ucap Ibu Mulyani lagi setelah menuliskan poin berupa angka pada daftar nama siswa yang selalu dibawa. Ada rasa puas meskipun jawabanku tadi tidak lengkap.
Tidak terasa kelas berakhir dengan diskusi kasus pidana tanah air yang sempat menciptakan perdebatan sengit di kelas. Kini saatnya aku bersama Hilman dan Adit pergi ke kantin dan perpustakaan untuk mengisi perut sebelum mengerjakan tugas.
DEPOK, 2008