MENAHBISKAN

WARNET

Pukul setengah dua siang. Matahari sedang ganas-ganasnya hingga hampir membakar kulit, seakan benda langit maha besar itu tengah meluapkan kemarahannya pada jagat semesta yang semakin hari semakin sesak oleh entitas manusia. Tidak ada yang spesial di hari ini selain harus mengerjakan tugas Geografi dari Pak Bimo, dimana para siswa diwajibkan untuk mencari proses revolusi bumi yang cukup menyulitkan sebab materi itu belum ada di perpustakaan umum. Mungkin ada, tetapi buku itu kosong (stoknya tidak ada) dan sedang dipinjam oleh rombongan belajar mahasiswa UGM yang membutuhkan materi itu untuk mengerjakan tugas. Jika tahu akan seperti itu, aku akan menyimpan satu buku diam-diam di sebuah tempat rahasia agar bisa kugunakan untuk mengerjakan tugas.

Predeksi dan asumsi tak sesuai realita, lantas Pak Bimo menyuruh anak-anak untuk mencari materi tersebut di warung internet. Katanya kita bisa menemukan apa saja yang diinginkan melalui mesin pencarian. Keingintahuanku semakin tergugah, mengingat ini kali pertamanya aku mengetahui adanya warung internet di dekat sekolah. Bersama Radit dan Bayu, kami berdua pergi menuju salah satu warung internet (usai mendapatkan info warnet termurah dari Mas Dion) untuk mengerjakan tugas.

“Oh, ngene to seng jenenge warnet. Apa bisa nyari kayak gitu dari komputer?”

“Yo iso wae, Dit. Mosok koe gak percoyo karo Mas Dion?”

Tiga orang berseragam abu-abu dengan wajah ingin tahu dan bingung yang berpadu menjadi satu itu berjalan memasuki sebuah rumah bercat putih dengan pintu terbuka di bagian depan menampilkan papan sederhana bertuliskan Warnet 24/7. Kata orang-orang, tempat ini buka full 24 jam dan setiap hari, mungkin itulah makna 24 sebagai jumlah jam dalam sehari dan angka 7 sebagai jumlah hari dalam tiap minggunya. Aku tidak bisa membayangkan betapa lelahnya sang pengelola warnet yang terus berjaga tanpa jeda, belum dengan aliran listrik yang digunakan. Bisa dipastikan tagihannya akan membengkak setiap bulan dan rawan anjlok.

Keriuhan yang didominasi oleh tawa nan cekikik para remaja berseragam abu-abu itu saling bersahutan dengan lagu Dear God yang mengalun dari speaker berukuran besar. Kami bertiga memilih bilik nomor dua yang memiliki ukuran luas dengan dua komputer dalam satu bilik.

“Eh, sopo sing iso nganggo komputer? Aku sering lihat Mas Tama pake, tapi saiki wes lali. Masku yo saiki wes kuliah neng luar kota.”

Aku, Radit, dan Bayu saling melempar pandang. Mungkin kedua temanku itu mengira akulah yang paling pandai, padahal sebetulnya sama saja. Dengan sigap Bayu mengambil posisi dudukku dan berada di tengah, menekan tombol melalui mouse saat layar menampilkan gambar lumba-lumba serta penghitung waktu.

“Ini tuh langsung klik aja, masukin namanya di sini.” ucap Bayu begitu kalem dan bergegas untuk login. Layar menampilkan halaman mesin pencarian yang bertuliskan Yahoo, aku mengambil inisiatif untuk membuka buku Geografi dan membacakan tugas untuk dicari, sementara Radit membeli minuman Okky Jelly Drink untuk pengganjal perut selama mengerjakan tugas.

Setelah mempelajari beberapa trik dari Bayu, aku mengajukan diri untuk gantian membantu dan mencari informasi di mesin pencarian. Kami mencatat beberapa potongan informasi pada artikel, sementara sebagian akan di print untuk dijadikan makalah. Baru saja aku menekan tombol save, suara gaduh kembali mengusik konsentrasiku. Aku beranjak berdiri dan mengntip dari balik bilik, mencari sumber suara yang membuat fokusku buyar. Tidak ada yang mencurigakan selain sepasang muda-mudi beseragam putih abu-abu (tidak mungkin dari Kolese De Britto) yang rupanya tengah bercumbu di bilik sebelah.

“Asu! Ono seng ambung-ambungan!”

BRUK! Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku hingga tubuhku jatuh saat kaki merasa kesemutan. Bayu dan Radit menjadi korban dimana tubuhku limbung hingga mengenai mereka.

“Ndeso koe, Ndu. Neng warnet ki wes biasa nggo pacaran. Paling yo bar nonton bokep kui.” Radit berbisik hingga membuatku memukul mulutnya yang berbicara menggebu-gebu.

“Yo koe kui seng tukang pacaran neng warnet.” selorohku tak mau kalah.

“Pacaran piye su, sekolahane dewe isine batangan kabeh. Hahahaha, wes ayo ngeprint tugas!” Radit berkilah dan membantuku untuk berdiri tatkala kaki sebelah kiri masih merasa kesemutan. Dasar aku, lima belas tahun sudah hobi kesemutan. Seperti nenek-nenek saja!

Setelah membayar untuk sewa internet dan print, kami pulang ke rumah masing-masing. Peristiwa barusan tidak membuatku kapok, justru aku ingin mencari lebih banyak lagi melalui benda ajaib itu untuk belajar hal-hal yang baru. Semoga saja Ibu memberikanku uang saku lebih atau aku harus menabung tiga hari untuk sewa internet selama satu jam.

YOGYAKARTA, 2003

SINOLEWAH

Ada yang bilang jika bumi selalu bersanding dengan matahari dalam keadaan yang baik-baik saja, menyinari hamparan tanah secukupnya──seperlunya. Bukan membuat gersang atau kepanasan hingga hampir terpanggang, memberikan efek kepala pusing hingga haus berlebihan. Sayangnya, tidak ada negosiasi antara ciptaan Tuhan di alam semesta ini sehingga mereka hanya melakukan tugas sesuai fungsinya tanpa memandang efek dari milyaran manusia di bumi.

Sebagaimana manusia yang hanya bisa berpasrah, aku menikmati guyuran terik matahari hingga keringat bercucuran mulai dari pelipis hingga sebagian baju warna cokelat susu yang kini melekat di badanku. Sudah dua hari lamanya aku mengenakan baju yang sama, kecuali saat olahraga atau senam pagi atau sebelum tidur. Bayangkan, berapa jenis aroma yang bercampur aduk pada tiap jengkal kain cokelat dengan badge tunas kelapa di tubuhku. Bahkan aku sendiri tidak bisa mendeskripsikannya meskipun tetap rajin mandi dua kali sehari selama di bumi perkemahan.

Ini adalah hari ketigaku di Sinolewah, salah satu bumi perkemahan di Sleman yang terkenal luas dan asri meskipun tidak sedikit kisah horor yang mulanya hanya didengar dari mulut ke mulut alias kakak kelas. Asumsi pertamaku, mereka ingin menakuti adik kelas mereka agar tidak mengikuti kemah atau menangis duluan sebelum melihat perwujudan hantu jadi-jadian yang diperankan oleh para kakak pembina. Entah hatiku yang memang sudah membatu atau tidak berperasaan, saat renungan malam yang memperdengarkan kisah kematian orang tua tidak membuatku menangis. Aku mengantuk, sungguh! Rasanya ingin berteriak di depan mereka: tolong kembalikan delapan jam alias waktu tidurku.

“Posisi berdirinya yang benar, Dek. Kamu kenapa bungkuk gitu, kaya orang tua aja.” “Ini kenapa badgenya gak lengkap? Kenapa gak ada nama regunya? Kamu, push up sepuluh kali!” “Kamu, yang paling tinggi di barisan belakang. Hafalin Dasa Darma tanpa buka buku saku pramuka!”

Kak Dion, salah satu kakak pembinaku tengah 'melucuti' anggota kelompok kami satu persatu saat tiba di pos baris berbaris. Entah sengaja mencari-cari kesalahan atau tidak, mereka selalu melontarkan kalimat yang seharusnya tidak diucapkan dengan dalih melatih mental. Cukup beruntung karena aku hanya menghafalkan Dasa Darma tanpa harus push up sebab tidak bisa membayangkan aroma bajuku akan seperti apa. Bisa-bisa di hari keempat alias tiba di rumah, Ibu akan menghakimiku dengan serentet pertanyaan seperti yang ia lakukan saat memberikan pertanyaan pada terdakwa, atau memilih untuk diam dan memberikanku air kembang untuk berendam selama dua jam seperti yang ia lakukan pada Mas Tama saat pulang dari kegiatan mendaki gunung.

Di antara beberapa kawanku yang tengah push up atau melakukan posisi sikap sempurna, aku melantangkan Dasa Darma Pramuka dengan hati-hati supaya bisa menyelamatkan ketiga temanku yang terlihat kelelahan. Di baris kedua, aku memberi jeda beberapa saat hingga salah satu kakak pembina perempuan mendatangiku dan menatap dari dekat.

“Kenapa kamu? Gak hafal Dasa Darma Pramuka? Kok bisa jadi wakil ketua?

Kepalaku menggeleng lemah, kemudian melanjutkan mengucap baris ketiga hingga sepuluh dengan vokal yang tak kalah keras. Baru pos dua sudah membuat tenagaku hampir habis, untungnya Radit membawa dua liter air botol untuk diminum bersama.

Lima menit, sepuluh menit akhirnya berlalu. Setelah mendapatkan nilai dan tanda tangan oleh sang kakak pembina, mereka memberikan kami makanan dalam kotak kardus serta minuman gelas plastik untuk dinikmati bersama di pos berikutnya, mengingat lokasi pos kedua cukup terjal dan tidak cocok untuk digunakan beristirahat. Aku tersenyum, dalam hati mengucap syukur karena pos yang dibilang 'paling menakutkan' ini bisa kami lalui meskipun harus menahan sabar dan mengeluarkan banyak tenaga. Masih banyak tempat yang harus kami lalui sebelum pukul tiga sore dan kembali ke perkemahan untuk mandi dan mengikuti kegiatan selanjutnya.

SLEMAN, 2002

TANYA DAN GIAN

Selama dua belas tahun menghirup udara di bumi, baru pertama kali aku merasakan gaduhnya pagi selain dengan teriakan suara lengking Tanya yang selalu menanyakan letak barang atau merengek meminta sesuatu. Ibu bukanlah sosok wanita yang suka memerintah dengan suara tinggi atau meneriaki anaknya seperti yang dilakukan para Ibu kebanyakan, beliau selalu mengasihi kami tanpa meninggalkan rasa tegas yang membuatku selalu patuh dan sungkan pada Ibu.

Sudah setahun lebih rumah kami ramai dengan suara tangisan bayi atau celotehan Tanya yang seolah tak pernah berhenti dua puluh empat jam ibarat radio rusak. Kehadiran adik perempuanku yang kedua—Giandra Mentari Danumaya—atau yang sering kupanggil dengan Gian atau Dek Tari (jujur, aku masih labil untuk menentukan panggilan) membuat suasana rumah semakin hangat usai kepergian Bapak yang sedang dinas ke luar kota. Jika membicarakan Mas Tama, ada atau tidaknya dia tidak memengaruhi ramai atau tidaknya rumah sebab dirinya larut dengan buku-buku atau manga yang sering dibeli di toko awul-awul tiap akhir pekan.

Sudah lama sekali aku ingin menggendong Gian yang sudah mulai bisa berjalan. Aku memandangi wajah bulat dengan matanya yang cerah, senyum dengan gigi yang baru tumbuh beberapa biji, serta tangannya yang mungil, lebih kecil dari tangan Tanya yang sering kuperhatikan saat menggenggam pensil warna dan menyoretkannya pada kertas buram. Dengan hati-hati aku membopong tubuh mungilnya, kedua tanganku memegang tubuh bgaian bawah serta bahu dengan hati-hati. Bagai bunga sakura di musim semi, senyum ini kian merekah kala memandangi wajahnya yang lucu dan cantik. Ia mewarisi mata bulat Ibu dan rambut kecokelatan dari Bapak, berbeda dengn Tanya yang memiliki bentuk wajah berbeda dari Bapak maupun Ibu. Kebahagiaanku bertambah dua kali lipat ketika tangannya menarik ujung baju dengan sapaan pertama kali yang membuat hatiku sangat gembira, hingga jantung ini hampir melompat dan jatuh dari tempatnya.

“Mas .. Mas Ndu!”

URIP IKU URUP

Saya tiba-tiba teringat dengan pembicaraan bersama Bapak saat tengah menikmati secangkir kopi bersama pisang godhog di teras rumah eyang kakung beberapa bulan lalu. Saat itu cuaca cukup deras, rinai mengguyur bumi Yogyakarta begitu derasnya hingga kami khawatir jika akan adanya air bah yang datang tanpa permisi seperti kejadian sepuluh tahun lalu. Menurut cerita dari Bapak, bunyi kentongan terdengar di mana-mana dengan ketukan berulang kali sebagai pertanda jika kondisi desa sedang tidak aman. Sebagai orang yang merasa memiliki ikatan batin dengan daerah tersebut, saya langsung menelepon Bapak dan Ibu untuk memastikan apakah daerah sekitar rumah aman atau tidak. Beruntung air tidak sampai wilayah rumah, namun tidak ada yang lebih mending sebab lebih baik tidak terjadi sama sekali. Musibah yang menimpa seseorang maupun sebuah wilayah tidak patut dijadikan sebuah kompetisi atau persaingan.

Ada sebuah kalimat yang merupakan filosofi Jawa yang terdengar asing di telinga. Kata Bapak, tidak heran jika di era modern seperti ini manusia semakin melupakan bahasa daerah dan memilih untuk mengikuti perkembangan arus globalisasi yang berkembang tiada henti, meskipun ujung-ujungnya beliau akan menggerutu; wong Jowo sing ora njawani.

“Urip iku urup, Le. Kita sebagai manusia harus hidup dengan baik dan berperilaku baik, maka berkat baik akan datang otomatis ke kita.”

Saya justru teringat akan hukum tabur tuai yang mana memiliki aturan tak tertulis: apa yang kamu lakukan, kelak kamu akan menunaikan hasilnya, entah itu baik maupun buruk. Rupanya dua kalimat itu memiliki kaitan sebagai salah satu falsafah atau pedoman hidup manusia dari zaman ke zaman.

Jika diartikan secara harfiah, urip iku urup memiliki makna hidup itu menyala. Ibarat cahaya api yang menerangi kegelapan, sebagai manusia yang dikaruniai akal dan budi pekerti serta struktur tubuh yang sempurna dibanding makhluk ciptaan Tuhan lain, baiknya kita memberikan manfaat sekecil apapun bagi orang-orang sekitar. Bara api yang berkobar di tengah gulita bukan berarti ia kelak akan memusnahkan atau membungihanguskan sesiapa di sekitarnya, namun cahaya yang terpancar dari bara api tersebut sebagai penerang, penunjuk jalan ketika kita tengah tersesat di kegelapan.

Saya kembali merenungkan kalimat tersebut dengan segala pergumulan pikiran yang berkumpul di benak. Dengan fase hidup serta profesi yang saya emban saat ini, sudahkah saya memberikan manfaat bagi orang-orang di sekitar? Sudahkah saya menjadi penerang di tengah gelapnya orang-orang yang membutuhkan pertolongan? Sudahkah kalian melakukan satu kebaikan yang bermanfaat bagi orang sekitar di hari ini?

Jakarta, 2022

PACAR SEWAAN

Aroma minyak wangi yang berasal dari lipatan tangan dan leher begitu menyengat hidung dengan setelan semi formal yang kini membalut tubuhku. Jam tangan pemberian Bapak sewaktu kelulusan menjadi simbol kebangaan yang selalu kupakai kemana-mana, termasuk dalam acara ulang tahun yang akan kukunjungi bersama Vera, salah seorang rekan seangkatan yang akan menjadi pacarku hari ini. Bukan tanpa sebab, penampilanku yang nampak rapi dibanding biasanya ini akan menentukan berapa banyak wanita itu akan menilaiku dengan pundi-pundi rupiah yang akan masuk ke dalam rekeningku.

“Mau manas-manasin siapa lagi? Mantan yang mana?” selorohku pada Vera yang terkenal hobi gonta-ganti pasangan. Pasalnya wanita itu kerap disakiti oleh kaum pria yang mana kisahnya selalu berakhir tragis, perselingkuhan dan putus sepihak.

“Kakak tingkat kita yang habis exchange dari Malaysia tuh, Kak Darren. Gue mau liat reaksi dia aja pas gue bawa cowok ke acara ulang tahunnya Lidia.” ucap Vera santai seakan tak memikirkan betapa gugupnya diriku yang akan berhadapan dengan salah satu kakak tingkat yang disegani. Aku menepis keraguan itu jauh-jauh dan meyakinkan diri ini, hanya dua jam saja bermesraan setelah itu pulang dan mendapatkan lima ratus ribu yang bisa kugunakan untuk biaya hidup selama dua minggu. Begitulah caraku dan Arjuna, salah satu rekan seperjuanganku untuk bertahan hidup selain mengandalkan uang saku beasiswa dan menjadi tutor les privat.

“Oh, oke. Ntar sampai sana, lo gandeng tangan gue. Tapi, Ver. Gue kesannya kaya cowok yang demen gonta-ganti pasangan. Bukan lo, anjir.” Tanpa sadar diriku mengumpat atas kekhawatiran yang menyelimutiku sejak tiba di depan gedung kafe daerah Depok Barat. Berkali-kali aku menghela napas panjang dengan telapak tangan yang berkeringat. Aku bukan Arjuna yang sudah sampai delapan kali menjadi pacar sewaan sehingga ia bisa bersikap santai.

“Yaelah, Ndu. Kalau ada yang naksir sama lo beneran, gak bakal mikirin lo kayak gitu kok. Udah, gue gandeng dari sini biar aktingnya meyakinkan. Gue panggil lo ... Beb. Beb aja ya, biar meyakinkan? Soalnya Kak Darren dulu manggil gue gitu juga.” pinta Vera dengan wajah memohon yang tak bisa kutolak sama sekali. Dengan merapalkan nama Bapa di dalam hati, kini aku menggenggam tangan kecil itu dengan wajah bahagia, sesekali menyapa beberapa teman Vera dan memperkenalkan dirinya sebagai pacar. Lagi-lagi aku meyakinkan diriku agar menikmati momen ini dan tidak menyalahkan diri atas patah hatinya seseorang yang dibuat atas kepentingan pribadi. Tibalah saat dimana sosok pria bernama Darren itu mendekatiku dengan wajah datar, namun aku dapat menangkap kerutan pada kening yang memperlihatkan rasa heran dan kaget. Simulasi sidang beberapa kali di mata kuliah Hukum Pidana II rupanya melatihku untuk membaca ekspresi dan gelagat seseorang setelah latihan berkali-kali.

“Ver, kamu kok ... Loh, Lindu? Kok bisa kenal──tapi selamat, ya. Jagain si Vera, soalnya tahun depan gue udah mau sebar undangan.” Pria bernama Darren itu berucap dengan nada pongah yang langsung tertangkap maksudnya. Aku hanya membalas dengan senyum simpul beserta anggukan kepala, sesekali diriku menatap ke arah Vera yang nampak patah hati. Rupanya bukan pria itu yang hancur hatinya akan sandiwara kami berdua, justru Vera yang setelah itu menangis hebat. Mau tak mau aku menenangkannya.

“MBA dia, Ver. Ngapain lo nangisin cowok begituan, untung pas sama lo gak sampai bablas gitu.” ucapku berusaha memvalidasi perasaan sang puan yang kini nampak tersedu-sedu. Lantas aku memberikan selembar sapu tangan yang sudah kusiapkan dari rumah (re: kos-kosan) untuk berjaga-jaga. Hanya ada tetes air mata tanpa suara dengan wajah semerah tomat, aku bergegas membawa dirinya untuk pulang ke rumah agar temanku yang satu itu bisa beristirahat.

Terkadang Tuhan menyelamatkan kita dengan cara yang paling menyakitkan. Kendati demikian, nikmati saja rasa sakit itu hingga semuanya baik-baik saja dan kamu tidak merasakan apa-apa lagi.

Depok, 2010

MENANGKAP AYAM

MENANGKAP AYAM

Ada yang bilang jika perayaan hari besar agama merupakan salah satu kesempatan untuk berkumpul dan bersilaturahmi antara keluarga yang sudah lama tidak bersua, saling bertukar kabar hingga memperkuat koneksi untuk keperluan bisnis. Tak sedikit pula yang menjadikannya sebagai ajang pamer keberhasilan anggota keluarga, terutama anak-anak mereka yang sukses mengenyam pendidikan tinggi atau menjabat profesi dengan tingkat yang tak main-main.

Ibu dan aku memilih untuk berada di dapur rumah eyang puteri alih-alih berkumpul dengan mereka, terlebih untuk membicarakan hal-hal yang berpotensi menyakitkan hati. Bagi beliau, asal sudah setor muka saja sudah lebih dari cukup. Tidak ada yang berani mencapnya sombong meskipun Ibu sengaja memberikan batasan agar tidak terlalu sering membicarakan hal pribadi, toh nantinya mereka akan mendatangi Ibu untuk diminati kemudahan dalam urusan sidang maupun hal-hal yang berbau tuntutan di pengadilan.

“Bu, opornya mau dimasak jam berapa? Nanti malam sudah ibadah, lho. Gereja saya beda sama yang lain, mesti antar ibu juga ke GKJ untuk urus persembahan. Punapa badhe dimasak sakniki?” (Apa mau dimasak sekarang?)

“Oh, kui arep tak masak saiki tapi iwak pitik'e kurang. Kudu lungo neng pasar sek tuku iwak.” (Oh, itu mau dimasak sekarang, tapi ayamnya kurang. Harus pergi ke pasar dulu buat beli ayamnya)

Sosok wanita berpakaian semi kebaya batik dengan rambut yang seluruhnya telah memutih itu sejenak membuang pandangan ke luar dapur usai meletakkan pisau di atas talenan. Seakan baru saja mendapatkan ide cemerlang, senyumnya nampak merekah pada paras penuh keriput yang memperlihatkan mata sipitnya.

“Kui ono pitik neng pekarangan. Mengko aku tak ngongkon Indra nyembelih iwak.” (Itu ada ayam di pekarangan. Nanti saya nyuruh Indra buat sembelih ayamnya)

Nama itu tak asing di telingaku mengingat istri dari Om Indra adalah adik dari Ibu. Maka aku menoleh ke ruang tamu untuk mencari nama yang diucap oleh eyang puteri, niatnya membantu memanggilkan. Namun hasilnya nihil, hanya ada budhe dan tante yang tengah bercengkerama dan memamerkan bisnis barunya.

“Gak ada, Mbah. Kayaknya tadi lagi pergi sama Atha dan Mbah Kakung.” ucapku bermaksud membantu eyang puteri yang akan meminta bantuan pada menantunya.

Hening kembali mengisi ruangan, kecuali suara api kompor yang tengah memasak lontong untuk disantap esok pagi. Sesaat eyang puteri memandangku dan memintanya untuk duduk lebih dekat. Ada firasat tak enak saat beliau menyuruhku tiba-tiba, padahal semula ia tak sadar akan keberadaanku yang sedari tadi membantu untuk mengupas bawang.

“Ndu, tangkep itu ayamnya pakai kurungan. Ayam jago, jangan yang babon, masih punya anak.”

Beberapa sekon napasku tercekat dan berhenti di tenggorokan, bersamaan dengan gerak tanganku yang mematung untuk beberapa saat. Sekarang aku tahu mengapa Mas Tama lebih suka mengurung diri di dalam kamar dengan komik Jepangnya atau Tanya yang bepergian ke luar untuk bermain betengan bersama anak-anak lain. Aku merasa terjebak di antara situasi pelik seperti ini. Hanya ada satu laki-laki di rumah yang bisa dimintai tolong, yang tak lain adalah aku. Namun jika aku menolak, mau ditaruh di mana mukaku? Rupanya aku memiliki gengsi yang tinggi untuk ukuran anak berusia sebelas tahun di saat itu.

“Nggih, Mbah.

Sebuah keputusan dibuat dengan seluruh keberanian dan tekad bulat. Aku bergegas untuk mencuci tangan dan meletakkan pakan ayam di dekat kurungan kandang untuk menjebaknya.

“Kur...kurr...”

Aku menirukan bagaimana eyang kakung memanggil peliharaan mereka saat hendak memberi makan. Meskipun tidak bisa sama persis, rupanya beberapa dari mereka datang mendekat ibarat masyarakat yang berbondong-bondong mengantre untuk mendapatkan bansos. Aduh, bukan yang ini. Mereka hanya ayam remaja nanggung yang gemar menyerobot jatah makanan temannya hingga kantong makanannya terlihat membesar hingga kesulitan berjalan.

“Hus ... hus! Lungo koe!” (Hus ... hus! Pergi kamu!)

Aku tidak suka menunggu lama hingga jatah kesabaranku semakin menipis. Kini kedua tanganku membawa kurungan ayam dan tempat makan untuk diletakkan di dekat seekor ayam jantan yang sedari tadi tidak mendengar panggilanku. Aku memberi jarak dengan mundur beberapa langkah agar ia lebih leluasa untuk mendekat dan masuk dalam perangkap. Ya Tuhan, semoga kali ini berhasil agar aku bisa langsung masuk dan mencicipi kue bolu buatan eyang puteri karena sudah merasa lapar.

Dengan langkah mengendap-endap, aku langsung meraih kurungan ayam dan mengurungnya saat makan. Yes, berhasil! Namun ada yang janggal tatkala ada seekor anak ayam kecil yang ikut masuk ke dalam perangkap. Suara kotekan ayam menyapa rungu begitu kencang, beriringan dengan cuitan anak ayam yang kian memekakan telinga. Aku berbalik badan. Seekor ayam betina dengan wajah garang berlari mendekat ke arahku dengan bulunya yang nampak tebal dua kali lipat dibanding biasanya. Aku yang masih belum paham dengan keadaan hanya membisu bagaikan orang bodoh, hingga sebuah patukan mendarat tepat pada kakiku yang membuat aku langsung menangis terseduh-seduh.

“IBUUUUUUU! HUWAAA AYAMNYA NAKAL, BUUU!”

Persetan dengan ayam jantan di dalam kurungan beserta seekor anak ayam lainnya yang terus mencicit, aku langsung bergegas lari dan menghampiri ibuku dengan wajah memerah. Air mataku mengalir tiada henti, merasakan sakit dan ngilu meskipun lukanya tidak parah. Namun dari kejadian itu membuatku cukup trauma dengan ayam betina dan lebih berhati-hati; terlebih disaat mereka baru saja menetaskan anak ayam. Sungguh mengerikan, semoga hanya ayam betina saja yang bertingkah semenakutkan itu.

Yogyakarta, 1999


GLOSARIUM

Ayam babon : Ayam betina Ayam jago : Ayam jantan Iwak pitik : (lauk) ayam *(orang Jawa suka menyebut lauk dengan imbuhan kata iwak. Entah itu iwak tempe, iwak tahu, iwak sapi, dan lain-lain)

𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐊𝐄𝐃𝐔𝐀 𝐃𝐀𝐍 𝐒𝐄𝐋𝐀𝐋𝐔 𝐃𝐈𝐂𝐈𝐍𝐓𝐀

SAUDARA

Bumi Pratama Gasendra

Nama Lengkap: Bumi Pratama Gasendra Tempat, Tanggal Lahir: Yogyakarta, 16 Februari 1985 Pekerjaan: Anggota Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri) Jakarta FC : Kim Soo Hyun (NPC)

Giandra Mentari Danumaya

Nama Lengkap: Giandra Mentari Danumaya Tempat, Tanggal Lahir: Yogyakarta, 4 Juni 1999 Pekerjaan: Mahasiswi Profesi Kedokteran Universitas Padjajaran FC : Kim So Hyun (NPC)

𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐏𝐄𝐑𝐓𝐀𝐌𝐀 𝐃𝐀𝐍 𝐔𝐓𝐀𝐌𝐀

ORANG TUA

Yohannes Agung Gasendra

Nama Lengkap: Yohannes Agung Gasendra Tempat, Tanggal Lahir: Surabaya, 11 Desember 1960 Pekerjaan: Pensiunan TNI AD dengan pangkat Letnan FC : Lee Han Wi (NPC)

Tri Astuti Danumaya

Nama Lengkap: Tri Astuti Danumaya Tempat, Tanggal Lahir: Jakarta, 20 Juni 1963 Pekerjaan: Kepala Jaksa DIY (s/d sekarang) FC : Park Ji Young (NPC)

UPACARA BENDERA

Dersik angin kembali bersanding dengan hangatnya mentari yang mulai menumpahkan sinarnya ke bumi pertiwi. Hawa panas mulai tercipta hingga menimbulkan peluh yang membasahi dahi hingga lipatan baju, namun hal itu tidak melunturkan senyum serta semangat barisan anak-anak umur tujuh hingga delapan belas tahun yang kini menapakkan kakinya di sebuah lapangan luas. Seluruh siswa dari berbagai tingkat dan sekolah berkumpul di Lapangan Upacara Balaikota kota Yogyakarta.

Ini adalah kali pertamanya aku mengenakan seragam merah putih dengan dasi yang menggantung di leher, di tempat yang berbeda dari biasanya. Setiap tanggal tujuh belas bulan Agustus atau hari Senin, biasanya kami berkumpul di lapangan sekolah maupun kecamatan untuk melaksanakan upacara bendera atau peringatan Hari Kemerdekaan. Ornamen dengan warna merah putih menghampar hampir di sepanjang jalan, mulai dari bendera plastik atau kain, hingga gapura yang dicat dengan warna serupa.

“Duh, panas.. Aku arep semaput rasane.”

Ucapan yang menyiratkan sebagai keluhan itu terdengar dari barisan kelima disaat kami tengah memusatkan konsentrasi saat upacara. Pemimpin barisan yang merupakan beberapa siswa SMP berprestasi tingkat ibukota baru saja menyiapkan barisan sebelum pemimpin barisan memasuki lapangan upacara. Dalam hatiku ingin turut mengeluhkan hal yang sama, namun berada di barisan pertama sebab tinggi badan di atas rata-rata membuat tubuhku tak mampu berkutik. Kata Ibu Guru, sebagai sosok yang berada di barisan depan, kelak akan menjadi contoh adik-adik kelas lainnya yang berada di deretan belakang. Dalam hatiku, bukankah lebih mudah mengawasi adik kelas dari belakang? Justru merekalah dengan tinggi (di bawah) rata-rata akan terhalangi oleh postur tinggi para kakak kelasnya.

Aku yang sedari tadi bergelut dengan pikiran sendiri refleks mengangkat tangan dengan menyerong untuk memberi hormat kepada sang pemimpin upacara. Badge cokelat dengan tulisan OSIS (yang jahitannya kurang rapi) itu menempel di bagian dada kiri dengan pin bendera serta nama di bagian kanan. Jika kami menonton siaran langsung upacara bendera dari rumah, Ibu akan menunjuk mereka yang mengenakan seragam dinas dengan bangga dan menyebut nama Bapak yang kerap ditugaskan untuk menjaga keamanan selama upacara. Atau lebih buruknya lagi, ia akan mengucap dengan penuh harap padaku atau Mas Tama agar suatu saat bisa menjadi pemimpin upacara di peringatan Hari Kemerdekaan.

Kini aku berada di tempat yang dimaksud oleh Ibu sebagai peserta upacara. Beberapa kamera video mengarah ke seluruh penjuru lapangan upacara yang berasal dari stasiun televisi swasta maupun nasional. Entah nantinya Ibu akan membandingkanku dengan si pemimpin barisan tersebut atau tidak, yang jelas aku sudah memenuhi kewajibanku untuk mengikuti upacara. Tidak perlu mengeluh atau membandingkan, toh semuanya sama saja. Semua orang yang berdiri di sini dengan tubuh tegap menghadap ke arah tiang bendera mendedikasikan diri untuk memperingati hari kemerdekaan serta mengenang jasa para pahlawan puluhan tahun lalu.

Kepada, Sang Saka Merah Putih. Hormat, grak!

Yogyakarta, 17 Agustus 1999

CITA-CITA

Bagi sebagian orang yang kerap menonton sinetron di televisi, masa remaja terlebih biru putih merupakan masa-masa terindah; peralihan dari anak-anak menuju remaja yang sulit mengendalikan rasa keingintahuannya. Mereka tidak malu untuk menanyakan sebab dan akibat sebuah peristiwa, bahkan cenderung kritis dan menanyakan hal-hal yang kadang tidak pernah kita pikirkan. Contoh ringan ketika Aditya tengah menanyakan kepada guru Sejarah, mengapa negara Indonesia ada atau Dito dengan segudang pertanyaannya tentang ekstrakurikuler pramuka—mengapa ada simpul ini dan itu, mengapa pasak tenda harus diikat seperti ini. Bagiku yang memiliki ketertarikan dengan sastra, aku lebih memilih untuk mencari tahu di perpustakaan sekolah atau Perpusda dengan sepeda milik Bapak, daripada bertanya kepada orang yang lebih tahu dengan maksud menguji. Toh, tidak semuanya harus dijawab, bukan? Ada pertanyaan yang bisa kita temukan jawabannya sendiri, tetapi ada juga yang perlu ditanyakan kepada ahlinya agar tidak salah arah.

Ketertarikanku pada menulis semakin terlihat ketika aku rajin mengikuti lomba menulis artikel dan cerpen tingkat kotamadya, meskipun waktu itu aku hanya mengantongi predikat lima besar, atau juara tiga seperti di kelas tujuh. Apakah cita-citaku menjadi seorang penulis atau wartawan? Aku sendiri belum pernah menetapkan cita-citaku semenjak duduk di bangku sekolah menengah pertama, sebab cita-citaku akan berubah dari tahun ke tahun. Di kelas empat sekolah dasar, aku ingin menjadi seorang anggota TNI. Namun di caturwulan berikutnya aku tertarik untuk menjadi seorang dokter dengan membaca buku 'Dasar-Dasar Pertolongan Pertama' yang ada di perpustakaan. Akhirnya aku menjalani semuanya mengalir begitu saja, jika ada yang sedang senang kulakoni, aku akan berusaha maksimal dan memberikan yang terbaik.

Tumpukan buku yang berisi kumpulan sajak Chairil Anwar bersanding dengan buku catatan yang telah digurat tiga paragraf tulisan tentang lingkungan. Untuk ketiga kalinya aku mengikuti lomba karya ilmiah atas dasar dorongan Bu Nani dan Ibuku. Beliau berkata, sebisa mungkin aku mengikuti berbagai lomba menulis baik itu puisi maupun karya ilmiah, disamping aku tetap aktif di ekstrakurikuler jurnalistik dan langsung menjadi senior setelah mengikuti pelatihan selama setengah tahun.

“Kamu yakin mau nulis ini, Ndu?” Aditya, dengan segudang rasa ingin tahunya berjalan mendatangiku, beberapa pasang mata menaruh atensi padanya dan diriku, sebagai penyebab Aditya harus berucap lantang di perpustakaan sekolah.

“Sst ... Mbok ya diam, kita lagi di perpus, lho.”

Aku menarik ujung seragam milik sang kawan, satu tangan memberi isyarat dengan telunjuk kanan berada di atas belah bibir agar temanku ini memelankan suaranya. Pulpen hitam segera kumasukkan ke dalam tempat pensil dan merapikan tumpukan buku kumpulan syair──yang entah akan kubaca kapan karena masih sibuk dengan karya tulis ilmiah.

“Oh iya, maaf. Tadi aku datang ke sini tuh mau ngapain, ya?”

Tangan Aditya mengusak anak rambutnya yang terlihat berantakan, paras rupawan itu selaras dengan nama yang disandang. Sayangnya ia tidak memiliki minat dan bakat yang sama denganku karena aku sangat ingin mengajaknya bersaing dalam hal literasi. Aku sendiri suka ndomblong ketika dia membahas tentang sejarah kerajaan dan era kolonial dengan menyebutkan tanggal dan tahun yang sangat rinci dan hanya menanggapi dengan angguk kepala dan senyum, seperti yang biasa kulakukan ketika mendengarkan dongeng Mbah Putri.

“Oh, ini ... kamu dipanggil sama Bu Nani di kantor. Suruh ikut lomba lagi kali, Ndu?” Ia berbisik di dekat telingaku dan sempat membuat ekspresi wajahku menjadi tidak karuan. Satu lomba saja belum selesai, apakah beliau tidak memikirkan hal akademis yang mana lebih penting dibanding mencari predikat yang diatasnamakan menggali potensi?

“Karya tulisku ini belum selesai lho, Dit. Baru tiga paragraf tok, terus suruh ngumpulin besok ... Ya Tuhan...”

Aku memijat pelipis yang mulai merasakan penat dan tegang pada otot sekitar. Barang sejemang, tanganku meraih selembar kertas folio dengan tulisan karya ilmiah yang sudah ditulis ulang. Baru satu paragraf, sedangkan dirinya masih butuh sekitar delapan puluh kata untuk melengkapi minimal kata yang sesuai persyaratan.

“Kamu mau lihat?”

Aditya berdecak kagum tatkala membaca tulisanku yang begitu teoritis namun ringan, sedangkan aku menampik pujian yang dilontarkan sang kawan berkali-kali karena masih merasa kurang dan belum mendapatkan koreksi dari Bu Nani.

“Bagus banget, Lindu. Harusnya kamu masuk Social Club, yang ngajarin Mbak Icha, lho. Cantik anaknya!” Aditya berucap dengan antusias. Ujung-ujungnya, ia promosi ekstrakurikulernya lagi.

“Kapan-kapan, deh. Aku udah ikut dua ekskul, nanti aku ngebul gimana?” Aku merapikan tiga tumpuk buku perpustakaan yang baru saja kupinjam dengan sampul Krawang-Bekasi pada tumpukan paling atas, sebelum beranjak dari kursi dan merapikannya. “Aku mau ke Bu Nani dulu, suwun yo sudah dikasih tau.”

Degup jantung bekerja dua kali lipat dari sebelumnya, peluh keringat membasahi pinggir dahi hingga anak rambutku ikut basah dan lepek. Berulang kali aku mengatur napas sambil memerhatikan kertas folio yang masih berisikan satu paragraf karya ilmiah. Ada apakah gerangan? Benakku membayangkan beberapa skenario seperti Bu Nani memberikan informasi lomba baru, memberikan tugas untuk keperluan ekstrakurikuler, atau menagih karya ilmiah yang sedang kukerjakan.

Pintu kuketuk tiga kali sebelum memasuki ruang guru. Berpapasan dengan beberapa pengajar yang hendak masuk ke kelas, refleks membuatku memberi salam dan memberi hormat dengan anggukan kepala. Aku langsung menuju meja Bu Nani yang berada di barisan ketiga, tepat di belakang Pak Ahmad, guru Matematika yang terkenal galak dan killer.

“Bu Nani cari saya? Ini tulisannya belum selesai, Bu.. Mungkin saya kasih besok..”

Belum selesai berucap, Bu Ratri memberikan amplop cokelat dengan logo dan cap Dinas Pendidikan Yogyakarta yang ada di bagian depan. Sudah kuduga, lomba lagi lomba lagi.

“Lolos, Ndu. Dua minggu lagi kita ke Semarang buat lomba, ya. Nanti Ibu jelasin habis ngajar,”

Hah ... lolos? Apanya? Apakah aku pernah mengikuti ... Oh, Lomba Cipta Puisi Nasional? Terlalu banyak lomba yang kuikuti sampai aku lupa, karya apa saja yang sudah pernah kukirimkan.

Telapak tanganku seketika mendingin, detak jantung yang sedari tadi membuatku resah hampir saja membuncah dengan berteriak. Aku langsung membuka isi amplop dan membaca sekilas surat yang isinya belum bisa kupahami. Intinya, aku lolos! Aku harus segera pulang dan memberikan kabar baik ini kepada Bapak dan Ibu supaya mereka merasa bangga atas jerih payahku selama ini. Mungkin ini langkah awal bagiku untuk menjadi seorang penulis atau jalan menuju bidang jurnalistik, mengikuti langkah Om Nano yang merupakan salah satu wartawan di kantor redaksi KORAN TEMPO, Jakarta.

𝐋𝐈𝐍𝐃𝐔 𝐀𝐉𝐈 𝐆𝐀𝐒𝐄𝐍𝐃𝐑𝐀, 𝐣𝐮𝐚𝐫𝐚 𝟏 𝐋𝐨𝐦𝐛𝐚 𝐂𝐢𝐩𝐭𝐚 𝐏𝐮𝐢𝐬𝐢 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐨𝐧𝐚𝐥 𝐭𝐢𝐧𝐠𝐤𝐚𝐭 𝐊𝐨𝐭𝐚𝐦𝐚𝐝𝐲𝐚 𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐧 𝐣𝐮𝐝𝐮𝐥 𝐊𝐞𝐥𝐚𝐦 𝐌𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐘𝐨𝐠𝐲𝐚𝐤𝐚𝐫𝐭𝐚, 𝟐𝟎𝟎𝟏