MENAHBISKAN

KESEMPATAN KEDUA

Belajar untuk hidup, hidup untuk belajar

Kata-kata Bapak yang sempat diucap saat saya berusia delapan tahun begitu tertancap di hati hingga saat ini. Bahkan saya tidak pernah membayangkan akan menjadi mahasiswa untuk kedua kalinya di usia dua puluh tujuh dimana sebagian orang akan lebih sibuk dengan karir hingga masalah jenjang hidup yang lebih lanjut. Bagi saya, selama saya memiliki kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan tidak mempengaruhi kerja, saya akan menjalankannya dengan penuh totalitas.

Ada yang berbeda antara kuliah di jenjang sarjana dan pasca sarjaa, sebagian besar bahkan seluruh mahasiswanya sudah bekerja sehingga mereka hanya akan fokus dengan tugas-tugas di kelas. Bercakap dan bertemu seperlunya, tidak sampai nongkrong atau main seperti saat sarjana sebelumnya. Tidak mungkin 'kan saya mengajak Pak Ferdinan, salah satu mahasiswa pascasarjana berusia lima puluh tiga tahun untuk kongkow di warmindo sambil mengerjakan tugas? Bisa-bisa kami akan disangka anak dan bapak yang sedang nyasar.

Mata kuliah Sosiologi Hukum yang diampu oleh Profesor Widjatmoko membuka kelas pertama di semester ini. Kami menyimak dengan saksama setiap penjelasan yang terucap, terutama buku-buku referensi yang digunakan mengingat tidak begitu banyak yang diterangkan saat kelas. Pada pertemuan saja langsung diberi studi kasus, hal itu membuat saya langsung tersenyum kecut dan segera membuat kelompok sesuai yang telah ditentukan. Sesuai dugaan, saya adalah anggota termuda di kelompok sedangkan sisanya adalah mahasiswa yang berusia tiga puluh sampai empat puluh lima tahun. Meskipun begitu, saya bersyukur mereka tetap aktif dan tidak segan memberikan ilmu baru kepada saya yang terbilang masih anak bawang.

Pertemuan pertama selesai pada pukul lima sore di akhir pekan bagi saya cukup mengesankan. Saya tidak akan pernah menyia-nyiakan kesempatan kedua yang diberikan oleh Tuhan untuk terus belajar supaya bisa menjadi lebih baik lagi.

JAKARTA, 2015

GEMPA BUMI

Setiap orang yang lahir di bumi ini memiliki hal yang disukai maupun tidak disukai. Hal yang bagi mereka menyenangkan ataupun hal yang ingin dihindari atau memicu trauma. Ada yang takut ketinggian, gelap, air, hewan tertentu, sampai dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Bagi saya, ketakutan-ketakutan itu merupakan perasaan tidak nyaman yang ingin divalidasi dan tidak ingin diremehkan. Jika membahas hal yang menakutkan atau hal traumatis di keluarga, saya bisa menyebutkannya satu persatu secara rinci hingga membuat kalian terperangah dan berpikir: kok bisa ya takut sama kayak gituan?

Bapak tidak suka dengan durian dan nangka, karena beliau pernah sakit dan muntaber saat kecil sehingga sampai dewasa dan memiliki empat anak, beliau tidak pernah menyentuh dua buah itu. Jangankan menyentuh, menghirup aromanya saja bisa membuat beliau langsung sesak napas. Ibu takut dengan cicak. Jika ada cicak di rumah, ibu akan menggunakan apapun yang ada di sekitarnya untuk menghantam hewan melata tersebut. Mas Tama takut dengan donat, Tanya takut dengan sawi, dan Mentari takut dengan bau obat pel yang menyengat. Sedangkan hal yang saya takutkan adalah peristiwa gempa bumi hingga pernah membuat saya muntah dan pingsan. Saya akan menceritakan salah satu kejadian di kantor yang saat itu membuat teman-teman saya tahu jika saya memiliki trauma dengan gempa bumi.

Pukul sembilan pagi di Jakarta terlihat cerah dibanding biasanya. Matahari tidak terlalu panas namun tidak mengembuskan udara dingin seperti pukul tiga atau empat sore. Saya masih beraktivitas seperti biasa dengan memeriksa dokumen klien yang baru masuk serta membantu melayani konsultasi bagi mereka yang membutuhkan. Saat itu kantor masih cukup sepi, sebab sebagian pengacara sedang ada kegiatan di luar kantor termasuk persidangan. Mengingat sidang yang akan saya hadiri masih beberapa jam lagi, saya turut mempersiapkan semua berkas salinan pendaftaran sidang serta bahan lain yang menunjang persidangan nantinya.

Dalam keheningan yang sesekali disisipi oleh suara keyboard dan tombol mouse saya merasa ada sesuatu yang aneh ketika isi cangkir kopi milik saya tiba-tiba bergoyang. Maka dari itu saya memeriksa bagian bawah meja untuk melihat apakah ada benda jatuh atau sesuatu yang membuat isi cangkir saya turut bergerak. Tidak mungkin hal ini dilakukan oleh makhluk tak kasat mata seperti yang kerap dibicarakan oleh teman-teman kantor saya 'kan? Saya bergegas menepis anggapan itu, menggeser cangkir kopi agar letaknya lebih dekat dengan laptop sehingga saya bisa mengawasi apa yang akan terjadi nantinya.

“Mas Lindu, ada gempa ya?” Suara Natasha, salah seorang pengacara yang baru saja tiba di ruangan membuat saya beranjak berdiri dan menutup laptop. Saya kembali memperhatikan sekitar termasuk letak benda-benda yang ada di meja kerja, tidak ada yang berubah kecuali isi cangkir tadi yang membuat saya sempat tidak fokus.

“Masa, Nat? Eh, bukannya lo ada vertigo 'kan? Kumat kali, udah minum obat belum?” Pertanyaan Natasha saya bantah dengan sebuah pernyataan: sakit vertigo. Rekan kerja saya yang satu itu memang kerap mengeluhkan sakit kepala hingga pandangannya berputar seperti saat gempa, hal itu bisa mereda jika sudah minum obat.

“Gue emang belum minum obat sama sarapan. Iya kali, ya?” Natasha menyangsikan perasaan yang sempat membuatnya khawatir dan bergegas menyantap sarapan berupa bubur ayam yang ia bawa dari kantin depan kantor lalu meminum obat. Dalam hati saya ikut meragukan, apakah yang dikatakan Natasha benar adanya? Lalu mengapa isi kopinya sempat bergerak seperti ada yang mengguncang dari bawah?

Menit demi menit berlalu, kami kembali ke aktivitas semula dan sesekali mengobrol dari meja masing-masing mengenai kegiatan yang akan dilakukan di hari ini. Baru saja saya merapikan isi tas, sebuah guncangan keras membuat tubuh saya sempat limbung dan terjatuh. Saya bersembunyi di bawah meja, sementara Natasha dan dua rekan lainnya keluar dari kantor untuk menyelamatkan diri. Kaki maupun tubuh saya tidak bisa bergerak, rasanya begitu kelu dan sakit. Perasaan tidak karuan kembali hingga, ada rasa sedih dan takut yang berlebihan hingga membuat saya hampir menangis tanpa suara sementara kedua tangan saya memegangi kaki meja hingga gempa mereda.

Saya lemas sejadi-jadinya. Seluruh isi perut saya keluar dalam bentuk muntahan sebelum kesadaran saya menurun dan jatuh pingsan dalam perasaan gamang dan kalut yang membalut sanubari. Mas Hendra dan Toni mengangkat tubuh saya dan bergegas membawa ke rumah sakit, namun tidak ada penyakit fisik berbahaya yang sedang saya derita. Katanya, kejiwaan saya terguncang karena teringat masa lalu yang memilukan: lahir disaat bencana gempa.

Sejak saat itu, teman-teman saya begitu mewanti-wanti jika ada bencana gempa. Mereka akan selalu siaga dan akan langsung menolong jika saya tiba-tiba tidak bisa jalan atau melakukan apapun, alias ngefreeze. Sebuah pengalaman tak terlupakan hingga rasanya ingin mengganti nama, ingin marah dan protes pada Ibu, mengapa harus memberikan nama akan hal yang membuat saya ketakutan setengah mati? Dari situ Ibu menceritakan, jika kelahiran saya di tengah-tengah musibah merupakan sebuah berkat tak terkira dan patut disyukuri. Ketakutan saya berangsur berkurang dan kini saya lebih mensyukuri, menerima trauma saya dan bahkan begitu bangga dengan nama yang diberikan oleh Bapak dan Ibu.

JAKARTA, 2013

SIDANG PERTAMA

Semasa kecil saya sering bertanya pada Ibu yang sedang disibukkan dengan berkas-berkas tuntutan yang kerap membuat beliau lembur sampai pukul dua pagi: apa itu hukum? Apa fungsinya? Apa akibatnya jika orang tidak dihukum?

Ibu yang saat itu mendengarkan deretan celotehan saya menjawab dengan satu kata yang tidak dimengerti hingga saat menginjak usia lma belas tahun. Katanya, hukum itu ada untuk menegakkan keadilan. Memberikan keadilan bagi orang yang bersalah agar menerima konsekuensi atas apa yang dilakukan, memberikan rasa lega dan nyaman meskipun perasaan sebelumnya tidak akan kembali sepenuhnya bagi para korban.

Setelah mengenyam pendidikan profesi dan menjalani serangkaian test sebelum disahkan menjadi seorang pengacara, ini adalah pertama kalinya saya menghadiri sebuah persidangan setelah hampir dua minggu disibukkan mempelajari kasus pembunuhan, yang mana saya berada di pihak korban untuk membantu dalam menuntut keadilan. Meskipun nyawa sang korban tidak akan pernah kembali, setidaknya keluarga yang ditinggalkan memperoleh rasa nyaman dan lega atas hukuman yang kelak akan diberikan oleh pihak pengadilan, sama persis dengan yang Ibu katakan belasan tahun lalu.

Kedatangan hakim yang masuk ke dalam ruang sidang membuat semua orang yang hadir segera berdiri untuk memberikan hormat, dilanjut dengan suara ketukan palu sebanyak tiga kali berturut-turut sebagai pertanda bahwa sidang akan segera dimulai. Tibalah giliran saya untuk membacakan tuntutan kepada terdakwa sesuai kasus dan tuntutan yang (menurut saya) pantas diberikan untuknya.

“Berdasarkan barang bukti yang ada di TKP beserta kesaksian orang-orang di sekitar korban maupun terdakwa, juga menindaklanjuti tuntutan dari Jaksa, saya meminta terdakwa dijatuhi pasal 338 KUHP dengan hukuman pidana lima belas tahun penjara. Demikian yang bisa saya sampaikan.”

Ada rasa lega setelah berhasil mengucapkan kalimat yang saya hafal belasan bahkan puluhan kali dari semalam lantaran tidak ingin salah dalam mengucapkan tuntutan. Namun bagi saya, apakah lima belas tahun cukup untuk mengobati kesedihan keluarga maupun teman-teman dari korban yang ditinggakan?

Dari ekor mata, saya dapat menangkap keluarga korban yang kembali terisak saat potretnya ditunjukkan pada layar LCD ketika pengacara dari pihak terdakwa membacakan pembelaannya. Ada amarah serta sumpah serapah yang terucap, bahkan tak jarang beberapa di antara keluarga korban menyumpahi sang pengacara dengan kalimat kotor. Saya tidak bisa membayangkan jika ada di posisinya, namun suatu saat pasti saya akan ada di posisi itu.

Pemeriksaan silang usai. Hakim akan mengumumkan hasil sidang satu minggu kemudian setelah mendapatkan laporan tertulis maupun pembacaan pembelaan seperti yang diucapkan barusan. Saya bergegas menghampiri keluarga korban dan menjabat tangannya, berusaha menguatkan mereka meskipun saya tidak memiliki kapasitas untuk melakukan hal itu. Kata salah seorang rekan senior saya: tunjukkanlah sisi kemanusiaanmu meskipun kamu tidak bisa menunjukkannya karena pengacara harus objektif, tidak terlibat oleh perasaan secara emosional. Kedua orang tua korban lantas memeluk saya dan mengucap terima kasih, perasaan hangat kembali menjalar hingga tanpa sadar saya tersenyum saat kembali menjabat tangan mereka.

Sekarang saya paham akan makna kalimat Ibu (lagi). Hukum memberikan rasa lega dan nyaman kepada keluarga korban yang ditinggalkan, meskipun hal itu tidak bisa membuat korban hidup lagi.

JAKARTA, 2013

PEMBEGALAN

TW//Kekerasan fisik, umpatan bahasa kasar Dimohon kebijakan pembaca sebelum membaca kisah ini

Sinar oranye keemasan yang berada di ufuk barat perlahan menghilang, bersamaan dengan hamparan gelap beserta gumpalan awan sebagai pertanda jika malam ini cerah. Sebab malam tanpa awan maupun bulan merupakan alamat hujan akan segera mengguyur bumi pertiwi seperti dua hari lalu. Aku basah kuyup usai menuruni angkutan umum disaat motorku sedang masuk bengkel.

Berbeda dengan dua malam sebelumnya, kini aku pulang kantor dengan motor yang baru saja diperbaiki akibat mesin yang mulai termakan usia. Tabunganku belum cukup untuk membeli motor baru, sehingga kadang aku harus berdamai dengan keadaan yang mengharuskanku merawat motor dengan hati-hati. Usai bertemu dengan kekasihku yang masih menyelesaikan pekerjaan di kantor, kini saatnya aku kembali ke rumah untuk beristirahat dan melepas penat. Aku tidak segigih Karenina yang rela dan bahkan cenderung bahagia bermalam di kantor hanya demi sebuah kasus yang belum terpecahkan. Bahkan ia jarang bermalam di rumahnya sendiri maupun asrama yang disediakan kantornya untuk para karyawan. Gaji tidak seberapa, namun dedikasi setinggi langit.

Jalanan Jakarta masih nampak ramai dengan deretan kendaraan roda empat maupun dua yang memenuhi setiap sisi jalan. Lampu penerangan mulai dinyalakan, berpadu dengan kerlip lampu tiga warna yang mengingatkanku pada masa silam: jangan terburu-buru jika ingin selamat berkendara. Aku lebih bisa menahan keinginanku untuk mengebut jalanan usai insiden terakhir semasa kuliah. Kini aku memperhatikan lampu merah yang masih menyala disaat dari arah jalan yang berlawanan sudah mulai jalan. Kendaraan roda dua terlihat berlomba menyusup kendaraan besar lainnya agar lekas tiba di bagian jalan yang lebih longgar, sehingga mobil maupun kendaraan umum harus mengalah. Mungkin mereka belum pernah kecelakaan, atau ada keluarga yang kecelakaan sehingga bisa seanarkis itu, batinku.

Lampu kuning yang menyala beberapa detik disusul dengan warna hijau langsung membuatku bergegas tancap gas, menyusuri jalanan kecil menuju kawasan Jagakarsa yang merupakan daerah kontrakanku. Kini jalanan nampak lebih sepi, hanya ada beberapa motor yang bisa dihitung saat berpapasan denganku. Aku melirik ke arah jam tangan, masih pukul setengah sembilan malam namun suasana sudah cukup mencekam seperti ini. Motor semakin cepat melaju dan menekan klakson berkali-kali saat berpapasan dengan kendaraan ataupun belok ke arah lain.

Dari kejauhan, nampak dua orang begal sedang melancarkan aksinya untuk merampok dua orang mahasiswi dengan jas almamater hijau yang melekat pada badannya. Tatapan tajam yang dilemparkan itu selaras dengan ujung belati yang ia acungkan ke arah salah seorang mahasiswi hingga membuat dirinya mematung bak manekin di toko. Aku segera menepi dan mengunci motor, kemudian berjalan ke arah dua preman itu yang sedang mengambil ponsel serta dompet milik mahasiswi malang itu.

“Ngapain lo ikut campur? Ini wilayah gue, mau mati lo?”

“Kak, tolong kak!

Dua kalimat dengan nada kontras itu berhasil membuat emosiku mendidih, Tangan kiriku mengepal dengan kewaspadaan dua kali lipat, sebab jumlah mereka lebih banyak. Dua lawan satu, tidak mungkin aku melibatkan dua mahasiswi itu untuk membantuku 'kan?

“Lepasin mereka, atau gue telepon polisi sekarang.” Aku mengancam mereka tanpa senjata beserta kaki yang sudah membentuk kuda-kuda. Pelajaran bela diri yang sempat diambil semasa SMA rupanya baru berguna sekarang, namun sepertinya mustahil jika aku mempraktekan gerakan yang sudah lama tidak dilakukan.

“Bacot, mati lo sekarang!” Pisau belati itu melesat cepat ke arahku, namun aku berhasil menghindarinya dengan sempurna. Jarak dua sentimeter dari telinga, jika aku lengah sedikit sudah pasti aku akan terluka. Aku memerintahkan kedua mahasiswi itu untuk kabur dan meminta pertolongan, sementara tugasku menghabisi dua cecunguk yang mengganggu pandanganku saat ini.

“Heh, asu! Wani opo koe karo aku? Bapakku tentara, mati koe nek gelut ambek aku!”

Sebuah umpatan berbahasa daerah tanpa sadar terucap di tengah napasku yang tersengal, menghindari serangan dengan tangkisan serta tangan kiri yang memegang sebuah kayu balok untuk memukul mereka. Tendangan yang mengarah ke atas dada mengenai preman pertama berambut gondrong, dua pukulan dilayangkan ke atas kepala hingga membuat pria itu mengeluarkan darah dari mulutnya. Sementara preman bertubuh gempal dengan tato naga di lengan kiri itu masih bermain dengan belatinya, berkali-kali berusaha menghujamkan mata pisau ke arahku.

SRET. Permukaan jas hitam itu sobek, disusul dengan rasa ngilu serta darah yang mengucur dari lengan kiri. Aku berusaha menangkis hujaman itu lagi dengan tangan kanan agar pisau tersebut terpental dari genggaman sang preman. Usahaku berhasil, namun pria itu berhasil pula menghujani satu tinjuan pada lengan dan mukaku yang sontak membuat tubuhku terpental jatuh.

Sayup-sayup sirene polisi terdengar bersamaan langkah beberapa detektif yang langsung membawa dua preman tersebut. Sementara aku dan dua korban lain dibawa oleh petugas polisi wanita menuju sebuah klinik untuk diobati.

“Bu, motor saya gimana?” Pikiranku tertuju pada motor yang kuletakkan di tepi jalan saat hendak menolong mahasiswi tersebut.

“Biar nanti dibantu sama petugas. Kamu serahkan kunci sama kami, ya. Besok saya periksa SIM dan STNK kamu.” ucap polisi wanita tersebut saat pandanganku mulai berkunang-kunang. Kepalaku begitu nyeri, seiring dengan nyeri yang tak terelakan dari lengan kiriku.

Sebuah pengorbanan yang setara dengan prinsip yang dipegang: menolong yang lemah meskipun harus mengorbankan diri sendiri.

JAKARTA, 2013

KALI PERTAMA

Sudah beberapa kali aku mondar-mandir sampai buang air kecil setelah tiba di salah satu firma hukum kawasan Jakarta Pusat. Bukan lantaran aku akan melakukan test wawancara, hal itu sudah dilakukan seminggu yang lalu, dengan kata lain ini adalah hari pertama aku bekerja sebagai staf legal. Kata salah seorang seniorku (lagi-lagi aku menyebut Bang Ali), pekerjaan staf legal merupakan salah satu batu loncatan untuk menjadi seorang pengacara. Tidak mungkin juga seorang pengacara yang baru lulus sarjana langsung dipercaya untuk menangani sebuah kasus hingga menghadiri persidangan. Maka dari itu, aku yang katanya memiliki kualifikasi sesuai langsung diterima setelah satu kali wawancara dan test. Bersama dua staf baru lainnya, kami masih menunggu di lobi sebelum diperbolehkan naik ke ruangan lantai dua.

Di hari pertama ini aku diperkenalkan dengan pekerjaan staf legal serta contoh pekerjaan yang bisa dilakukan di hari ini. Mengelola dan memisahkan dokumen lama dan baru, hingga mempelajari kasus baru yang baru saja masuk ke firma hukum dan akan diberikan oleh pengacara yang bertugas. Kali ini aku berkesempatan untuk mengelola dokumen perizinan bangunan serta sengketa tanah yang akan kuberikan kepada salah satu pengacara bidang perdata yang akan tiba pukul sebelas siang nanti. Namanya Pak Yudi, beliau tengah menghadiri persidangan dengan kasus yang sama dan tugasku adalah melakukan review apakah kasus ini bisa ditangani oleh pengacara firma di sini atau tidak.

“Pak Yudi ini sudah pegang tiga kasus, apa perlu saya beri lagi ke beliau, Mbak?” Aku bertanya pada salah seorang senior yang ditugaskan untuk mengawasi staf baru. Mbak Lona meraih dokumen yang baru saja dirapikan dan menurutku syarat-syaratnya sudah memenuhi kriteria kasus. Tinggal menunggu kapabilitas dari Pak Yudi sendiri, apakah beliau akan mengambil kasus ini atau tidak.

“Pak Yudi orang sibuk, dia juga ngajar sama jadi jurnalis. Biar saya aja yang pegang kasusnya, nanti kita belajar sama-sama ya, Lindu. Biar kamu tahu caranya megang kasus, siapa tahu nanti kamu bisa jadi pengacara juga.” ucap ibu satu anak itu yang begitu membesarkan hatiku. Aku tidak dapat menahan senyum serta rasa antusias di dalam dada, rasanya sudah tidak sabar ingin mempelajari kasus dan bertindak sebagai seorang pengacara meskipun hanya membantu sebagian saja.

*“Siap, Mbak. Saya nanti ke ruangan?” tanyaku usai membereskan dokumen lainnya.

“Iya. Nanti di ruang tengah. Bareng Ajeng sama Vino. Kalian bisa makan siang dulu ya, kantinnya ada di lantai bawah dekat lobi.” Mbak Lona menyahutiku sambil menunjuk dari jendela, dimana beberapa staf bahkan karyawan dari gedung lain baru saja beristirahat untuk makan siang. Setengah hari yang cukup melelahkan, namun aku harus tetap memompa tenaga dan semangat untuk melanjutkan pekerjaan yang tidak akan pernah usai. Satu pekerjaan selesai, sepuluh pekerjaan menunggu.

JAKARTA, 2012

WISUDA

Di masa kecil, ada beberapa cita-cita yang kuimpikan hingga berganti beberapa kali. Dokter, guru, wartawan, hingga anggota TNI demi mengikuti jejak Bapak atas dasar keinginanku. Pada masa itu, cita-cita yang kusebutkan merupakan profesi yang 'bagus' dan sering diidamkan oleh sebagian anak-anak. Bagaimana tidak? Sederet profesi itu terdengar lebih elit dan berkelas. Bergaji tinggi, disegani oleh masyarakat luas, bahkan sampai anak maupun cucu kita akan lebih dikenal dengan nama plus profesi. Pak Dokter Tama, Bu Polisi Astuti. Aku hanya mencontohkan dua nama itu jika disandingkan dengan panggilan yang kerap digunakan di masyarakat. Tidak begitu buruk ... namun untuk apa?

Bukankah yang terpenting adalah ilmu yang didapat bisa menafkahi diri secara material dan batin, serta memberi manfaat bagi banyak orang?

Entah sejak kapan pergolakan pikiran itu muncul disaat aku menyimak sambutan dari rektor yang tengah menyampaikan sepatah dua kata serta memberi selamat bagi para wisudawan yang tengah memenuhi balairung. Hari ini adalah pembuktian hasil kerja kerasku selama lima tahun terakhir. Menimba ilmu di kota yang jauh dari tempat kelahiranku hingga harus beradaptasi dengan tempat yang memiliki kultur serta kebiasaan yang berbeda dibanding saat di Yogyakarta.

Sekilas aku memperhatikan deretan kursi yang digunakan untuk para pendamping wisudawan, mencari Bapak dan Ibu yang berada di urutan tengah. Sesuai dugaan, Ibu nampak serius menyimak sambutan sedangkan Bapak bercengkerama dengan salah seorang orang tua di sebelahnya dengan suara pelan. Mereka nampak berbahagia menyambut hari ini, mengenakan sandang terbaik serta riasan wajah yang dipoles sejak subuh. Ibu nampak seperti wisudawan S2 jika dilihat dari kejauhan karena dandanannya yang cukup mencolok, terlebih wajahnya yang begitu awet muda.

Acara demi acara berjalan dengan lancar hingga tiba saatnya pemindahan tali toga sebagai simbol kelulusan tiba. Aku masih bersantai hingga bisa bercengkerama dan berfoto ria dengan kamera milik Yanuar. Ada belasan potret yang nantinya aku tagih karena akan aku cuci cetak dan dimasukkan ke dalam foto album. Agak sayang foto berukuran besar itu tidak muat di dalam ponsel Blackberry yang saat itu masih memiliki tempat penyimpanan terbatas.

Hampir satu jam kami menunggu. Saat pengeras suara menyerukan nama 'Fakultas Hukum', kami langsung bergegas dan berdiri membentuk barisan yang sudah diatur sedemikian rupa. Langkah perlahan tercipta, tidak ada gurauan maupun tawa karena semua teman-teman termasuk diriku sedang dilanda gugup dan tegang. Satu persatu nama yang familiar di telinga beserta gelar Sarjana Hukum membuatku semakin gugup. Sudah siapkah aku menyandang gelar itu ... atau lebih tepatnya pantaskah?

“Lindu Aji Gasendra, Sarjana Hukum.”

Usai nama Kiara dipanggil, aku lekas menaiki panggung dan menjabat tangan rektor beserta dekan. Hatiku berdesir saat melihat posisi pita yang dipindah dari kiri ke kanan dengan tabung toga yang tanpa sadar kuterima dengan mata berkaca-kaca (yang berhasil ditahan). Beberapa kilat kamera dari berbagai sisi membuat diriku hampir hilang fokus, namun saat itu aku hanya mendengar ucapan selamat serta pesan dari Pak Kusnadi, sosok yang sempat kukenal. Beliau berpesan agar terus belajar dan memanfaatkan ilmu yang didapat untuk membantu orang. Aku hanya membalas dengan anggukan kepala beserta jawaban “Njih, Pak” guna mempersingkat waktu.

Aku bergegas menghampiri Bapak dan Ibu yang sudah menunggu, disusul dengan Tanya dan Tari yang baru saja datang dengan kebaya kasual khas anak muda. Ucapan selamat serta berbagai rencana sudah terlontar dari Ibu dan Bapak, mulai dari bantuan pekerjaan hingga tempat tinggal nanti. Aku tidak ingin ambil pusing dulu, aku ingin istirahat sejenak di rumah sebelum kembali ke dunia yang sesungguhnya. Bekerja, menghasilkan uang, dan membantu banyak orang dengan ilmu yang didapat.

DEPOK, 2011

ULANG TAHUN IBU

Bagi sebagian orang, merayakan ulang tahun merupakan peringatan sebuah momen dimana kita menghitung hari, bulan, hingga tahun secara mundur hingga tiba di waktu pertama kali kita meraup udara di dunia. Tangis yang memekakan telinga hingga menimbulkan cemas bercampur bahagia itu akan selalu dikenang sebagai kisah klasik yang diceritakan secara turun temurun hingga saat dewasa nanti: Kita akan turut menceritakan hal serupa kepada anak hingga cucu kita.

Aku masih ingat momentum kelahiranku bersamaan dengan bencana yang membuat nyawa-nyawa tak berdosa harus dikorbankan. Tanya yang lahir ketika Ibu sedang disibukkan dengan kasus hingga harus belajar bahasa Jerman dan Perancis, hingga kelahiran Mentari yang bisa dikatakan sedikit terlambat untuk ukuran wanita empat puluh tahun ke atas pada saat itu. Namun pernahkah kalian terlintas bagaimana orang yang melahirkan kita ke dunia ini lahir dengan kenangannya sendiri?

Ibu merupakan anak keempat dari enam bersaudara. Semuanya mengenyam pendidikan hingga kuliah terkecuali anak kedua yang dipaksa untuk mengalah dan hanya bersekolah hingga jenjang sekolah dasar saja. Pada saat itu, Ibu lahir di masa paceklik di mana beras serta bahan pangan lainnya sulit hingga harganya melambung tinggi. Jangankan susu formula, dulu Ibu hanya disusui dengan air tajin yang diberi gula, beras yang dibuat bubur dan dicampur dengan pisang, serta menggunakan perlak sebagai alas tidur hingga umur dua tahun. Boro-boro popok, celana dalam saja hanya memiliki sepuluh setel yang diwariskan dari kakak kedua dan ketiganya. Sesulit itu masa kecil Ibu, hingga perlahan ekonomi keluarga Ibu berangsur pulih dan mampu melanjutkan sekolahnya sampai sekolah menengah atas.

Ketika menduduki bangku kuliah, Ibu terkenal rajin dan ulet hingga lulus dengan predikat cumlaude. Beasiswa berdatangan dan Ibu meneruskan pendidikannya ke jenjang magister demi keperluan pekerjaannya sebagai asisten jaksa saat itu. Ibu merupakan salah satu anak yang berhasil jadi orang (kalau kata Mbak Kakung) dan banyak membantu saudara serta adiknya untuk berkuliah.

Aku mendengarkan kisah itu dari telepon sambil menahan isak tangis, air mataku mendahului dengan lancangnya dan membuat pipi serta leherku basah. Dalam keadaan seperti itu, aku tetap menanggapi alkisah ibu dengan nada terbata-bata serta suara serak yang diakibatkan oleh ingus (yang datang tanpa permisi). Kisah itu semakin memompa semangatku yang masih diterjang oleh skripsi bab dua.

Ibu saja bisa melakukannya, kenapa aku tidak bisa?

Di balik watak serta raut wajahnya yang menampilkan kesan galak, beliau adalah sosok yang baik hati dan terbuka dengan anak-anak. Tidak ada di antara kami yang tidak nyaman bercerita apapun kepada Ibu termasuk hal percintaan. Suara hangat di ujung sana kembali membuatku menangis tanpa suara ketika beliau mengucapkan doa serta harapan padaku di hari ulang tahunnya. Katanya, beliau baru saja memotong tumpeng di kantor dan mengucapkan doa satu persatu pada anak-anak tercintanya.

Harusnya yang berdoa itu aku, Bu. Aku yang berdoa buat Ibu.

Seketika aku dirundung rasa bersalah karena tidak menjadi orang pertama yang mengucap ulang tahun serta mendoakan kesehatan beliau. Aku meremas ujung kaus dengan napas yang masih tersengal lantaran rasa haru yang tak tertahankan. Doa dan kasih sayang Ibu begitu tulus. Tanpa batas, dan tak terbatas.

“Bu, sugeng tanggap warsa, nggih. Mas Lindu janji bakal selesaikan skripsi tahun depan biar bisa lulus. Semoga Ibu selalu sehat dan dimudahkan dalam setiap urusannya. Lindu sayang sama Ibu, selalu...”

DEPOK, 2010

KECELAKAAN MOTOR

TW//Kecelakaan, kecelakaan motor Dimohon kebijakan pembaca sebelum membaca kisah ini

Hampir setiap hari kota Depok mendeskripsikan betapa padat dan sesak kota kecil itu mulai dari matahari merangkak naik hingga kembali ke peraduan. Bahkan kata Bang Ali, salah satu seniorku, cuaca di sini tidak seberapa dibanding Jakarta atau Surabaya yang terkenal panas. Padahal setiap hari aku mengeluh gerah dan selalu berharap AC kelas bisa menyala dan mengeluarkan angin sejuk dengan maksimal. Apa jadinya jika aku berkuliah di salah satu kota itu? Bisa-bisa tekanan darahku semakin menaik hingga harus dilarikan ke IGD, sebuah kemungkinan yang bisa terjadi dan menimpa seorang mahasiswa semester enam yang disibukkan oleh proposal skripsi serta mengurus tempat magang yang tak kunjung beres.

Daerah Margonda selalu dipenuhi oleh kendaraan besar serta motor yang menyusup ke jalur trotoar yang semula difungsikan untuk pejalan kaki dan pengguna sepeda. Maka dari itu, aku memutuskan melalui jalan kecil untuk menuju sebuah kawasan mall dengan menggunakan kendaraan roda dua. Ajakan dadakan dari Yanuar dan Hilman tidak bisa ditolak lantaran mereka akan memberitahu secuil informasi mengenai beberapa firma hukum yang masih menerima mahasiswa magang. Sebagai salah satu mahasiswa yang tengah terombang-ambing di antara rasa putus asa, aku mengiyakan ajakan mereka dan langsung bergegas dari kelas usai menghadiri kelas Hukum Pajak.

Motor Yamaha Jupiter Z berplat AB itu melintasi sebuah jalan setapak yang menghubungkan dari kawasan Pondok Cina ke Margonda dengan kecepatan sedang. Beberapa kali aku harus menginjak rem akibat pejalan kaki serta anak-anak yang berkeliaran di jalanan. Hal mengejutkan itu membuat emosiku mulai naik dan mengeluarkan umpatan pelan mengingat aku sedang terburu-buru. Aku kembali tancap gas dan melewati beberapa tikungan serta jalan menanjak hingga akhirnya pandanganku bertemu dengan sebuah jalanan besar yang nampak lengang. Sebuah kebetulan jalanan nampak lengang hingga membuatku langsung menyusup di antara mobil sedan berkecepatan sedang untuk mendapatkan kesempatan melintasi lampu hijau. Dari kejauhan, lampu kuning baru saja berganti ke hijau sehingga aku tidak ingin menyia-nyiakan atau aku harus menunggu lima menit lebih untuk melewati perempatan jalanan tersebut.

Ketidaksabaranku membuahkan peluh yang saling berlomba untuk jatuh dari tepi pelipis hingga membuat kerah jaket basah. Dari ekor mata, sekilas aku memerhatikan speedometer dengan jarum merah yang kian merangkak naik, melampaui angka enam puluh demi melintasi lampu hijau yang sebentar lagi akan kembali ke kuning dan merah secara berurutan. Beberapa kali bunyi klakson sebagai tanda peringatan menyalak tepat di belakangku usai melewati kendaraan dengan kecepatan sedang ke tinggi, menggilas aspal yang sedang panas-panasnya hingga tujuanku tercapai.

Aku berhasil melintasi perempatan jalan dengan lampu hijau yang menyala dengan angkuhnya

Dibalik rasa sombong yang masih menyelimuti, ketakutan perlahan datang saat fokusku mulai tidak stabil. Debu-debu jalanan nampak menghalangi pandangan ketika aku gagal mengendalikan kecepatan motor. Masih di gigi tiga, aku berusaha menurunkannya karena lima puluh meter lagi motor akan melintasi sebuah tanjakan. Akan berbahaya jika aku mengemudi di kecepatan tinggi di medan yang tidak stabil seperti sekarang.

Ban depan kembali melintasi jeglongan sehingga membuyarkan konsentrasiku. Bunyi klakson yang semula lenyap, kini terdengar semakin nyaring hingga hampir memecahkan gendang telingaku. Semuanya datang secara beruntutan, seakan mereka tengah berlomba untuk membalaskan dendam saat aku mengebut di jalanan besar barusan. Dari jarak belasan meter, sebuah truk melintas dengan kecepatan tinggi hingga membuat diriku semakin buyar.

CEMAS, TAKUT, MARAH.

Menurunkan kecepatan dan menyingkir dari tengah jalan agaknya sia-sia, sebab motorku menghantam pembatas jalan bersama beberapa kendaraan lainnya. Perasaan campur aduk semakin menghampiriku bersama tubuh yang kini merasakan sakit yang tak terkira kecuali bagian kepala usai terpental di pinggiran trotoar. Pandanganku berubah menjadi suram, samar-samar kerumunan orang tertangkap oleh indra pendengaran dan penglihatanku yang semakin gelap. Detik demi detik aku berusaha untuk bangkit, namun yang aku dapatkan hanyalah kesia-siaan sebab tubuh ini tidak mampu bangkit berdiri. Kesadaranku semakin menurun, hingga akhirnya aku tidak sadarkan diri dengan beberapa luka tubuh serta nyeri hati yang masih membekas.

Nasi sudah menjadi bubur. Semuanya harus dilalui dengan ketabahan hingga aku harus absen selama dua minggu untuk pemulihan.

Jika aku bisa mengendalikan diri sedikit saja, kejadian ini tidak akan mungkin terjadi

DEPOK, 2010

SEBELAS YANG KE DELAPAN

Jakarta, 11 April 2022

Sepucuk surat ini hadir di tengah-tengah dinginnya malam yang kian merasuk tulang, namun anehnya hal itu tidak sanggup untuk membuat mataku terpejam untuk mengistirahatkan badan kendati tubuh kian remuk dan butuh rehat sejenak. Rupanya ada satu yang kurang sebagai pengantar tidurku: dekapan dan lirihnya suaramu yang menyahdu.

Rindu itu datang tanpa permisi, begitu kurangajarnya hingga memporak porandakan hatiku yang sedang dilanda gelisah

Kadangkala, aku selalu menyaksikan video yang tersimpan di gawai setiap aku sedang sendiri dan membayangkan jika aku berada di sisimu saat ini. Perasaan hangat itu akan muncul lagi pastinya hingga membuatku tertidur nyenyak di dalam dekapanmu yang selalu membuatku tenang dan teduh.

Tidak melulu perihal rindu ataupun cumbu. Aku selalu mengingat bagaimana kamu tersenyum hingga berceloteh tiada henti disaat menceritakan hal-hal yang menarik, atau ketika kamu sedang dilanda gundah dan risau kamu akan datang ke pelukanku disusul dengan berbagai macam omelan yang kadang membuatku turut sedih. Ada kalanya aku juga teringat ketika kamu memberikan petuah yang belum pernah kudengar atau mengingatkan aku untuk menjadi sosok yang arif dan tidak mudah terbawa emosi.

Semuanya tentang kamu, sebab kamulah duniaku.

Siapa yang menyangka jika sepasang om-om kasmaran ini telah memasuki bulan ke delapan dalam hubungan yang dijalin? Bahkan hingga detik ini, aku selalu berhasil dibuat senyum tanpa henti bahkan terharu dengan setiap apa yang kamu lakukan hingga membuat hatiku tersentuh. Kasih sayang dan cintamu begitu tulus, nomor dua setelah Bapak dan Ibu yang membuatku hadir di dunia ini.

Terima kasih sudah menyayangiku dan menjadikanku sebagai om-om paling bahagia sedunia di usiaku yang sudah kepala tiga. Terima kasih sudah mendukung setiap hal positif yang aku lakukan dan menjadi guru, sahabat, partner (hidup) yang baik. Sangat baik. Aku tidak henti-hentinya mengucap syukur atas hadirnya dirimu di dalam hidupku.

Bahkan aku sering berpikir ... apakah dulunya aku seorang pahlawan yang menyelamatkan dunia, sehingga di masa depan mendapatkan berkat serta kebahagiaan yang tak terkira dari Tuhan?

Doa dan harapku biar aku dan Tuhan yang mengetahui, namun yang pasti aku selalu berdoa untuk kebahagiaanmu dan juga kita. Biarlah Tuhan menuntun kita ke jalan terbaikNya. Masih banyak tanggal sebelas yang harus kita arungi, bukan? Dan aku ingin melaluinya bersama kamu. Satu tahun, sepuluh tahun, seratus tahun, hingga seribu tahun lagi bersamamu.

Dari yang tersayang dan yang selalu menyayangimu

LINDU AJI GASENDRA ㅤ

SIMULASI SIDANG

Sebuah pemandangan tak biasa menjadi pembuka di awal pekan ketika kelas kami mendapatkan giliran simulasi sidang di gedung baru yang difungsikan sebagai ruang praktik persidangan mahasiswa jurusan Ilmu Hukum. Beberapa di antaranya nampak tengah mematut diri di depan cermin, memastikan riasan maupun jubah yang dikenakan tidak miring. Sementara sisanya berperan sebagai pengunjung sidang serta beberapa saksi.

Semilir angin pendingin ruangan nampaknya gagal berfungsi sedemikian rupa pada pagi hari ini, sebab bulir keringat seukuran biji jagung itu tetap menetes melalui tepi kening dan rambut yang mulai basah. Peranku sebagai seorang jaksa akan lebih menuntutku untuk berbicara cukup banyak dan menghafalkan dialog template di luar kepala dan selebihnya adalah improvisasi. Jika tidak menggantikan Hilma atau Arya, mungkin aku akan mendapatkan peran pengacara atau penyidik yang memiliki role lebih menantang.

Mulanya aku cukup memandang sebelah mana profesi jaksa, terlebih aku cukup mengetahuinya dari kisah yan sering diceritakan oleh Ibu. Mereka hobi mencecar dan memojokkan, bahkan ada juga yang sengaja membuat barang bukti demi tidak mempermalukan nama Kantor Kejaksaan. Salah satu sisi gelap yang belum ada apa-apanya dibanding yang sudah dialami oleh Ibu.

Kini aku telah menempati kursi jaksa bersama Firda. Dengan volume suara lirih, kami kembali mendiskusikan apa yang hendak disampaikan kepada Hakim maupun Terdakwa. Sesekali aku mengoreksi bagian dialog yang dirasa kurang pas untuk diucapkan dan menggantinya dengan kata lain.

“Majelis Hakim memasuki ruang sidang, hadirin dimohon berdiri.”

Suara dari panitera yang tak lain adalah Arya menggema ke seluruh ruang sidang. Seluruh mahasiswa yang berperan sebagai pengunjung, terdakwa, saksi, penyidik, hingga jaksa berdiri untuk memberikan hormat kepada Hakim yang diperankan oleh Pak Dadang. Beberapa saat kemudian seluruh peserta di ruangan duduk di tempat masing-masing setelah dipersilakan kembali.

“Pada hari ini akan dilaksanakan Sidang Perkara Lingkungan Hidup atas nama terdakwa Malik Hermawan, maka dari itu diingatkan kepada seluruh peserta sidang untuk menonaktifkan segala alat komunikasi dan tidak melakukan hal-hal yang dapat mengganggu jalannya persidangan.” Sang hakim memberikan peringatan untuk mematikan ponsel dan tidak mengabadikannya dalam bentuk video, kecuali dua videografer yang memang sudah ditugaskan untuk keperluan dokumentasi.

Sidang dibuka dengan ketukan palu sebanyak tiga kali. Hampir saja Firda mengeluarkan tepuk tangan hingga aku menepis tangannya agar tidak menimbulkan kegaduhan dari meja jaksa. Dalam keheningan, seorang pria yang memerankan terdakwa memasuki ruangan dan didampingi oleh dua orang polisi. Sementara sang pengacara tetap berada di mejanya untuk menyampaikan pembelaan.

Gugup dan tegang semakin melanda, namun aku berusaha fokus dengan apa yang disampaikan pembela atau pengacara yang diperankan oleh Bima. Setelah dipersilakan, aku dan Firda melakukan pemeriksaan silang dengan menunjukkan barang bukti yang ditampilkan di proyektor. Memastikan alibi terdakwa adalah tugas Firda, sementara diriku mengajukan beberapa pertanyaan untuk mengonfirmasi agar tidak terjadi kesalahan.

“Apakah Anda yakin pada pukul 14.15 tidak berbicara melalui telepon seperti yang diungkapkan barusan? Rekaman telepon pada hari dan jam yang sama menunjukkan nomor telepon Anda sedang melakukan panggilan pada seseorang yang Anda suruh. Berikut adalah percakapannya.”

Hampir saja aku mengucap “Jika pengacara merasa keberatan, silakan mengajukan eksepsi.” namun berhasil ditahan karena gugup yang sedai tadi menyelimuti belum hilang juga. Kendati demikian, seduai dugaanku pihak terdakwa mengajukan keberatan dengan membacakan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan yang diberikan oleh pihak jaksa.

ADUH, MAMPUS! Yang kutakutkan ternyata terjadi juga

“Penuntut Umum, apakah ada tanggapan mengenai nota keberatan yang telah dibacakan oleh pengacara dari terdakwa?” Suara Pak Dadang kembali mengintimidasi serta mengacak-acak keberanianku yang sedikit demi sedikit terkumpul. Aku dan Firda terdiam beberapa saat sebelum berdiskusi dengan saling memberikan kode.

“Ada, Pak—maksud saya Hakim. Saya akan membacakannya jika dipersilakan.” ucap Firda sebelum menyuruhku untuk berdiri. Astaga anak ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi kali ini. Aku berdeham beberapa saat sebelum maju ke depan untuk membacakan tanggapan yang telah ditulis secepat kilat.

“Menanggapi nota keberatan dari pengacara pihak terdakwa, kami berpendapat bahwa surat dakwaan kami sudah memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 143 KUHAP mengenai syarat sahnya penyusunan surat dakwaan. Maka dari itu kami tetap pada dakwaan kami.” Aku berucap dengan mimik wajah tenang meskipun dalam diri ini rasanya ingin protes hingga menggelindingkan diri di depan. Tanganku meremas ujung jubah sembari memperhatikan perubahan mimik wajah Hakim yang sama sekali tidak bisa dibaca. Mereka nampak berunding setelah menjauhkan mikrofon sebelum melanjutkan ucapan.

“Berdasarkan hasil musyawarah majelis Hakim, sidang akan dilanjutkan 7 hari ke depan yaitu pada hari Senin tanggal 2 Maret 2009 dengan agenda sidang Pembacaan Putusan atas nota keberatan oleh Hakim. Untuk itu diingatkan kepada jaksa penuntut umum untuk hadir dan menghadapkan terdakwa pada sidang berikutnya, begitu pula dengan penasihat hukum. Pemberitahuan ini merupakan panggilan resmi dan tidak untuk dipanggil kembali.”

Sidang ditutup dengan ketukan palu sebanyak tiga kali sebelum hakim meninggalkan ruangan. Riuh tepuk tangan tak terelakkan, bahkan beberapa di antara kami bersorak hingga melepaskan jubah di tempat lantaran rasa senang dan bahagia yang tak terkira...

Sebab Pak Dadang memberikan kami semua nilai A pada simulasi sidang hari ini

DEPOK, 2009